KontraS: Terpidana mati di Indonesia alami penyiksaan fisik dan mental
2022.10.10
Jakarta
Terpidana mati di Indonesia mengalami penyiksaan fisik dan psikologis serta perlakuan buruk lain selama masa tunggu eksekusi, menurut studi kelompok hak asasi manusia KontraS yang dirilis Senin (10/10).
Penyiksaan fisik yang dilaporkan biasanya dilakukan aparat untuk mendapatkan informasi tertentu dari terpidana mati, kata laporan yang diluncurkan pada peringatan Hari Anti-hukuman Mati Dunia.
“Kelebihan kapasitas serta kurangnya penjaminan hak dasar bagi terdakwa jelas bertentangan dengan DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia),” ujar laporan KontraS.
“Deklarasi itu menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”
Selain itu, penyiksaan secara psikologi dialami para terpidana mati dengan adanya “deret tunggu” yang panjang, yaitu waktu menunggu eksekusi mati yang berkepanjangan, kata KontraS.
“Terpidana mati di Indonesia juga tidak mendapatkan perhatian soal kesehatan mentalnya,” ujar peneliti KontraS, Helmi Hidayat Mahendra, pada BenarNews.
KontraS menyusun laporan ini dari hasil investigasi, pantauan media dan pantauan sidang pada kurun waktu Oktober 2021 hingga September 2022.
Dalam laporan KontraS berjudul “Hari Anti Hukuman Mati Internasional 2022: Hukuman Mati dan Penyiksaan” disebutkan bahwa fenomena deret tunggu yang diakumulasi dengan kondisi buruk fasilitas penahanan menciptakan tekanan bertubi-tubi pada para terpidana mati.
Kondisi buruk tersebut antara lain sel dengan penerangan yang rendah, kelebihan penghuni, diskriminasi dan perundungan, perlakuan kejam dan kekerasan yang tidak proporsional, kekurangan gizi hingga kurangnya penjaminan hak dasar bagi terpidana hukuman mati.
Menurut laporan KontraS, pada periode Oktober 2021 – September 2022 ada 31 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia.
Vonis mati terbanyak ada di Aceh dengan total tujuh vonis dengan 27 terdakwa kasus pidana narkotika. Sumatra Utara di tempat kedua dimana ada enam vonis mati dengan 13 orang terdakwa.
“Kami melihat bahwa belum ada komitmen secara penuh Indonesia dalam moratorium vonis hukuman mati,” ujar pernyataan KontraS.
Laporan KontraS juga menyoroti kurang dipatuhinya prinsip pengadilan yang adil (fair trial) dalam penjatuhan hukuman mati di Indonesia.
Menurut KontraS, karena orang yang dihukum mati tidak bisa hidup lagi, penjatuhan vonis hukuman mati haruslah menghormati segala bentuk restriksi yang diatur oleh standar hak asasi manusia internasional.
“Tetapi, sayangnya dalam pelaksanaan konteks hukuman mati di Indonesia, masih kerap kali menihilkan prinsip-prinsip fair trial,” ujar laporan tersebut.
Dari kondisi itu, KontraS merekomendasikan agar pemerintah berkomitmen menetapkan moratorium vonis maupun eksekusi hukuman mati secara formal.
“Indonesia juga harus berkomitmen menghapus segala bentuk penyiksaan yang terjadi serta menjamin hak-hak dasar terpidana hukuman mati dapat dipenuhi baik,” ujar KontraS.
Selain itu pemerintah juga diminta meninjau ulang semua pasal yang mengatur hukuman mati dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Peradilan sesat
Direktur Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma Indonesia) Gabriel Goa menuduh vonis mati pada para pekerja migran dijatuhkan dalam peradilan sesat yang dipengaruhi oleh konspirasi jaringan perdagangan manusia dan narkotika.
“Bukan aktor intelektualnya yang dihukum, tapi pekerja migran perempuan. Mereka memang rentan jadi korban perdagangan manusia dan narkotika,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Komnas Perempuan.
“Misalnya para pekerja migran ini bawa koper yang isinya mereka tidak tahu. Tiba-tiba di dalamnya ada narkotika. Mereka jelas bukan pelaku, tapi jaringan besar yang bermain,” lanjut dia.
Gabriel merujuk pada kasus yang dialami terpidana mati Merry Utami, pekerja migran yang dijatuhi hukuman mati atas kepemilikan 1,1 kilogram heroin di dalam tasnya.
Merry sudah menjalani penjara selama 20 tahun dan hingga kini belum ada kepastian soal eksekusinya. Keluarga dan para pendamping percaya bahwa Merry dijebak oleh bandar narkotika global dan kini sedang berjuang untuk mendapatkan grasi dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rika Aprianti, mengatakan pemerintah telah memenuhi setiap hak para terpidana mati.
“Semua penghuni lapas dan rutan diberikan pelayanan dan perawatan yang sama sesuai dengan aturan,” ucap Rika kepada BenarNews.
Tidak relevan
Manunggal Kusuma Wardaya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah mengatakan sebagian masyarakat percaya bahwa pidana mati mampu memberi efek jera, dan membuat hukuman tersebut menjadi pembalasan.
“Itu persoalan keyakinan, Masih ada juga legitimasi dari agama, misalnya pembunuh harus dibunuh, utang nyawa dibayar nyawa. Itu untuk membayar rasa keadilan sebagian masyarakat,” ujar dia kepada BenarNews.
Namun kata dia dilihat dari tujuan pemasyarakatan modern, hukuman ini tidak relevan karena pelaku yang seharusnya dibina sudah meninggal karena hukuman mati.
Hukuman mati, menurut dia juga menunjukkan perilaku negara yang tengah cuci tangan karena gagal melakukan pembinaan masyarakat hingga muncul kejahatan serius.
Hukuman mati makin tidak relevan karena ada semangat internasional untuk menghapus hukuman ini dari sistem hukum.
“Secara internasional itu ada aspirasi untuk penghapusan hukuman mati, Indonesia sudah cukup bagus merespons,” ujar dia.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disebutkan bahwa pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana.
RUU KUHP merumuskan masa percobaan selama 10 tahun bagi para terpidana mati, artinya jika dalam masa tunggu tersebut mereka menyesal dan berkelakuan baik, maka hukuman mati bisa dianulir dan diganti penjara seumur hidup.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Supardji Ahmad mengatakan di Indonesia hukuman mati adalah bentuk suatu pertahanan sosial untuk menghindari ancaman kejahatan besar.
“Kejahatan besar mengancam membuat masyarakat berusaha membela diri, salah satunya dengan ancaman adalah pidana mati,” ujar dia.
Menurut dia, Indonesia harus menjatuhkan hukuman mati secara lebih selektif, alih-alih menghapuskannya.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi pada artikel ini.