Aktivis Desak Kepolisian Hentikan Kriminalisasi Masyarakat Adat di Kalteng

Walhi: masyarakat adat tidak pernah dimintai persetujuan pemerintah untuk menyerahkan lahan mereka.
Ronna Nirmala
2020.08.27
Jakarta
200827_ID_PalmOil_1000.jpg Foto tertanggal 13 Februari 2017 ini memperlihatkan pekerja memasukkan biji sawit ke sebuah truk di kawasan perkebunan sawit di Kendawangan, Kalimantan Barat. Sengketa tanah antara masyarakat adat dan perusahaan sawit terus mewarnai banyak wilayah yang lahannya digunakan untuk industri.
AFP

Sebuah video ditangkap paksanya seorang kepala masyarakat adat di Kalimantan Tengah oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu yang beredar viral, atas tuduhan perampasan gergaji mesin di lahan sawit milik sebuah perusahaan swasta, memperlihatkan bagaimana masyarakat adat masih terus menjadi korban kriminalisasi dalam sengketa antara kelompok adat dan pemilik industri, demikian aktivis hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup

“Kami meminta pemerintah pusat dan daerah untuk selalu melindungi masyarakat adat dari paksaan apapun dalam pengambilan keputusan, bukan malah mengkriminalisasi mereka,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Kamis (27/8).

Organisasi tersebut mencatat sebanyak 29 pembela hak masyarakat adat yang mendapat serangan baik berupa penangkapan, kekerasan fisik dan intimidasi sepanjang periode Januari hingga 27 Agustus 2020.

Sehari sebelumnya, ketua komunitas adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, pada Rabu (26/8) dibawa paksa aparat kepolisian dari kediamannya di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Adegan penolakan penangkapan oleh aparat yang berlangsung dramatis tersebut terekam dalam sebuah video dan beredar luas di media sosial.

Selain menangkap Buhing, sepekan sebelumnya kepolisian juga menangkap empat anggota masyarakat adat lainnya Riswan, Semar, Embung dan Teki atas tuduhan serupa.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan penangkapan para masyarakat adat dianggap tidak proporsional karena kepolisian tidak pernah mengirimkan surat pemanggilan pemeriksaan.

“Lalu terjadi tuduhan Beliau tidak kooperatif saat akan hendak dibawa oleh aparat. Padahal sikap Buhing menolak ditangkap dengan alasan untuk didampingi pengacara, adalah benar,” kata Rukka dalam telekonferensi yang sama.

“Polda harus proporsional dalam mengatakan kebenaran ini,” tambahnya.

Walaupun kelima anggota masyarakat adat tersebut telah dibebaskan dari penahanan merujuk informasi dari Amnesty International, kelompok aktivis HAM mendesak kepolisian untuk menghentikan kasus hukum kelimanya yang masih berstatus sebagai tersangka karena tuduhan perampasan gergaji mesin di lahan sawit milik PT Sawit Mandiri Lestari (SML), di Kalteng.

Para aktivis HAM dan lingkungan hidup menduga penangkapan berhubungan dengan konflik masyarakat dengan perusahaan swasta tersebut yang pada 2018 melakukan perluasan kebun sawit dengan menggusur sebagian lahan di desa tersebut.

Usman Hamid, menilai penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan adalah bentuk pembungkaman atas upaya pembelaan hak masyarakat adat yang selama ini belum dilindungi maksimal.

Usman mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengedepankan interaksi dengan masyarakat adat dan secara aktif mengambil langkah nyata untuk melindungi mereka dari segala bentuk perampasan hak.

“Dialog dan pengakuan akan hak masyarakat adat juga menjamin keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hak dan kesejahteraan mereka,” kata Usman kepada BenarNews.

Sementara itu, sebuah video memuat klarifikasi insiden penangkapan Effendi Buhing juga beredar di YouTube. Dalam video yang diduga dilakukan di kantor polisi tersebut Effendi mengatakan telah terjadi kesalahpahaman dari insiden penangkapan kemarin.

“Berkaitan dengan masalah kemarin, ada miss komunikasi sedikit, dan itu situasional sifatnya. Dan saya memaklumi,” kata Effendi.

“Bagi saya ini merupakan pengalaman dan pelajaran untuk kita semua. Kita ambil hikmahnya saja,” tambahnya.

Efffendi juga meminta semua pihak, termasuk masyarakat adat Kinipan, untuk tidak terpancing membuat tindakan yang merugikan banyak pihak, “karena saya sehat saja”.

Polisi: ‘tidak ada kriminalisasi’

Kepala Polda Kalteng, Irjen Dedi Prasetyo, menyatakan penangkapan kelima masyarakat adat tidak terkait dengan konflik lahan dengan perusahaan sawit, melainkan murni tindakan pidana.

“Tidak ada kriminalisasi, murni tindakan pidana,” kata Dedi melalui pesan singkat.

Polisi mengatakan, penangkapan Effendi dilakukan karena laporan dugaan pencurian dengan kekerasan yang terjadi di lahan sawit milik PT SML tertanggal 9 Agustus 2020.

Kasus ini bermula saat gergaji mesin yang dipakai dua karyawan PT SML untuk memotong kayu dirampas oleh empat tersangka pada akhir Juni 2020.

“Saudara Riswan, Teki, Embang, Semar, ini datang dengan membawa masing-masing satu buah Mandau (pisau tradisional) yang diikat di bagian pinggang, serta menggunakan ikat kepala merah yang menandakan persiapan untuk perang,” kata Dedi.

Lalu keempatnya merampas gergaji mesin pekerja dengan alasan keduanya memotong kayu di wilayah Desa Kinipan. “Dan sampai saat ini (gergaji mesin) belum dikembalikan,” tambah Dedi. Polisi mengatakan, Effendi diduga sebagai otak di balik insiden perampasan tersebut.

Kepolisian telah menetapkan Effendi dan empat warga lainnya sebagai tersangka kasus dugaan perampasan dan terancam dengan hukuman paling lama sembilan tahun karena melanggar Pasal 365 KUHP.

Kronologi versi perusahaan

Juru Bicara PT SML, Wendy Soewarno, membantah adanya upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat dari laporan perampasan yang diajukan perusahaan ke kepolisian.

Menurut Wendy, kasus antara PT SML dengan Effendi sudah dimulai sejak 8 Oktober 2018. Ketika itu, Effendi menuntut ganti rugi hasil garapan lahan hutan adat sebanyak Rp5 miliar.

Perusahaan menilai tuntutan Effendi tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena dalam perizinan pengelolaan lahan yang dimiliki perusahaan tidak tercantum adanya hutan adat seperti yang diklaim Effendi.

Karena tuntutan tidak dipenuhi, masyarakat menggelar aksi unjuk rasa pada 3 Desember 2019. Saat itu, terjadi perampasan alat gergaji mesin dan mobil milik karyawan oleh orang yang diduga sebagai warga desa tersebut.

“Para pelaku perampasan juga meminta tebusan berupa uang,” kata Wendy, dalam keterangan tertulisnya, Kamis. Pihak perusahaan sudah melaporkan kasus tersebut ke kepolisian namun tidak mendapat tindak lanjut.

Pada 10 Maret 2020, tiga karyawan perusahaan juga mengaku menerima ancaman dari orang-orang yang disebut perusahaan sebagai kaki tangan Effendi.

Setelah insiden perampasan pada 23 Juli 2020, perusahaan kembali mengalami gangguan dari warga saat pos pantau di salah satu areal lahan PT SML dibakar.

Wendy tidak menyebut Effendi sebagai pelaku pembakaran, namun mengaku telah melaporkan kasus tersebut ke Polda Kalteng.

“Kronologi ini kami buat berdasarkan kejadian yang dilakukan Effendi Buhing Cs dan oleh tim manajemen PT SML telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib,” kata Wendy.

PT SML berdalih, bahwa penggusuran dan perambahan hutan dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2015 dan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) pada Agustus 2019.

PT SML dimiliki oleh Abdul Rasyid, pengusaha nasional yang juga diketahui memiliki hubungan keluarga dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Dimas Hartono, mengatakan masyarakat adat tidak pernah dimintai persetujuan pemerintah menyerahkan lahan mereka kepada perusahaan. Hal tersebut yang menjadi alasan penolakan sehingga muncul sejumlah konflik antara masyarat dengan perusahaan.

“Konflik masyarakat dengan perusahaan terjadi karena aturan-aturan cacat hukum yang dikeluarkan pemerintah,” kata Dimas, Kamis.

Kekerasan yang terus terjadi

Sengketa tanah antara pengusaha industri dan masyarakat adat masih terus terjadi. Pekan lalu masyarakat adat Pubabu, Nusa Tenggara Timur, diusir dari kampungnya sendiri karena menolak rencana pembangunan di hutan adat mereka.

Aparat bahkan melakukan intimidasi dengan mendatangi kamp pengungsi masyarakat dan membawa beberapa anak ke kantor Brimob untuk diperiksa.

“Kami meminta pemerintah pusat dan daerah untuk selalu melindungi masyarakat adat dari paksaan apapun dalam pengambilan keputusan, bukan malah mengkriminalisasi mereka,” kata Usman.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 279 konflik agraria pada lahan seluas 734.239,3 hektar terjadi sepanjang 2019.

Konflik tersebut melibatkan 109.042 kepala keluarga (KK) di 420 desa di 34 provinsi Indonesia. Kasus tertingginya terjadi di sektor perkebunan dengan 87 konflik, disusul sektor infrastruktur 83 konflik, properti 46 konflik, pertambangan 24 konflik, dan kehutanan 20 konflik.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan konflik kekerasan yang menimpa masyarakat adat adalah momentum untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang sudah 15 tahun terkatung-katung.

“Meski masuk prolegnas (program legislasi nasional), tapi ini tidak sungguh-sungguh menjadi prioritas DPR dan pemerintah,” tukas Rukka.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.