Konferensi Deradikalisasi: Masyarakat, Kunci Berantas Ekstremisme
2016.01.25
Komunitas lokal harus lebih aktif dalam menjalankan berbagai program bertujuan untuk mengakhiri ekstremisme dengan kekerasan, demikian kata pejabat pemerintah yang menghadiri konferensi internasional di Kuala Lumpur untuk melawan pandangan radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Melalui kerjasama dengan komunitas masyarakat, pemerintah dapat mengakhiri dengan cepat kekerasan yang dilakukan oleh ISIS pada tahap awal dan mempercepat rehabilitasi para militan yang dipenjara karena aksi fatal mereka, ujar para pejabat tersebut saat pembukaan Konferensi Internasional Deradikalisasi dan Penanggulangan Kekerasan Ekstremisme yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia selama dua hari.
David Gersten, seorang pejabat senior Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat menghimbau para delegasi untuk lebih mendalami " bagaimana kita dapat bekerja lebih efektif dengan masyarakat untuk mencegah dari awal agar tragedi-tragedi seperti ini tidak terjadi."
Dia memberikan contoh bahwa komunitas lokal harus lebih dilatih untuk melihat "tanda-tanda peringatan yang jelas terlihat mengindikasikan bahwa seorang individu memiliki pandangan yang berubah menjadi ekstrim ke arah kekerasan”.
"Ini bisa termasuk menolong anggota masyarakat dan orangtua untuk mengetahui bagaimana anak muda yang membenarkan aksi kekerasan berdasarkan propaganda teroris, mengumpulkan uang untuk membiayai perjalanan ke luar negeri dengan misalnya menjual barang-barang eletroniknya atau membuat paspor agar dapat bepergian ke wilayah yang dikuasai teroris," ujar Gersten.
Tanda-tanda adanya perubahan perilaku seperti ini mungkin dilihat oleh teman dekat dan anggota keluarga sebelum seseorang terseret ke arah kekerasan ekstrim, ujarnya.
"Ketika keluarga dan teman sudah merasakan kekhawatiran, sebaiknya mereka melapor pada pihak yang berwenang, termasuk aparat penegak hukum," ujar Gersten dalam pertemuan di Kuala Lumpur.
Malaysia: Menyusun Daftar Ulama dan Mantan Radikal
Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah menteri dan pejabat dari negara anggota Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) dan 10 negara mitra strategis mereka yang terdiri dari Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Arab Saudi, Uni Arab Emirat, Jepang, Cina dan Italia.
Wakil Perdana Menteri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi mengatakan kepada para delegasi bahwa selain hukuman, "solusi pencegahan" dengan keterlibatan komunitas secara lebih dalam juga diperlukan untuk membatasi penyebaran pandangan ekstrim kaum militan.
Hamidi mengatakan bahwa Malaysia melibatkan para ulama dan mantan teroris dalam sebuah program terpadu untuk merehabilitasi mereka yang ditangkap dan ditahan tanpa pengadilan di bawah undang-undang yang ketat.
Para ulama "punya pengaruh lebih besar di komunitas dan dianggap lebih berwenang dalam memberikan penjelasan yang tepat mengenai konsep jihad dari perspektif agama" sementara para mantan teroris "dapat menjadi contoh yang dapat dirujuk oleh mantan teman-teman seperjuangan untuk meninggalkan perjuangan yang didasarkan oleh paham yang salah."
Zahid mengatakan bahwa komunitas-komunitas lokal juga harus kritis terhadap reintegrasi mantan tahanan militan ke dalam masyarakat.
"Kita harus memastikan selama proses reintegrasi bahwa resiko menjadi radikal kembali sudah jauh berkurang atau sudah tidak ada sama sekali."
Pejabat-pejabat Australia mengatakan bahwa program-program untuk menghalau kekerasan ekstrim yang mereka lakukan salah satunya bertujuan untuk mengurangi kerawanan masyarakat akan pengaruh-pengaruh ekstrim seperti itu.
Mereka mengatakan Australia telah menyusun sejumlah proyek pendidikan dan pelatihan untuk keluarga, sekolah, komunitas dan institusi serta para profesional di bidangnya untuk meningkatkan kesadaran akan radikalisasi.
"Kami sangat percaya bawah komunitas yang diberdayakan, terdidik dan kuat adalah kunci untuk pencegahan dan bila perlu, kunci untuk rehabilitasi," demikian menurut salah satu presentasi delegasi Australia di konferensi tersebut.
‘Informasi Menjadi Kunci"
Selain keterlibatan masyarakat, para pejabat yang hadir juga mengatakan bahwa berbagi informasi dan kerjasama intelijen antar negara juga menjadi kunci pemberantasan ancaman ISIS.
"Semakin kita bekerjasama dan berbagi informasi intelijen kita mengenai aktivitas para militan dan ekstrimis, akan semakin mudah bagi kita untuk menekan ekstremisme yang berbahaya dan mencegah kekerasan yang dapat terjadi di masa depan," ujar Menteri Dalam Negeri Thailand Anupong Paojinda.
Dia mengatakan bahwa intelijen menjadi penting untuk kesiapan dan respons pejabat pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menghadapi ancaman ideologi-ideologi radikal.
"Kami percaya bahwa informasi adalah kuncinya," ujar Anupong.
Perwakilan Jepang untuk kontraterorisme dan kejahatan terorganisasi, Tsukasa Kawada, mengatakan dalam konferensi bahwa komunitas-komunitas Muslim harus menjalankan peran yang lebih efektif dalam memberantas ancaman ISIS.
Kawada mengatakan ketika ISIS menawan dua warga negara Jepang tahun lalu, kaum Muslim di Jepang, yang kebanyakan berasal dari Asia, memohon agar keduanya dilepaskan dan mengadakan doa bersama di mesjid-mesjid agar keduanya dapat kembali dengan selamat.
"Sebagian masyarakat Jepang terkesan akan sikap baik itu dan ikut bersimpati dengan mereka setelah melihat tindakan tersebut di televisi. Sebagian besar orang Jepang jarang mengadakan kontak dengan komunitas Muslim yang keberadaannya relatif terbatas di masyarakat Jepang," ujar Kawada.
Sejak itu, dia mengatakan bahwa interaksi antara kaum Muslim dan masyarakat lokal di Jepang menjadi meningkat dan hal-hal seperti itu dapat menciptakan "masyarakat yang inklusif" dan "kontribusi dalam mencegah radikalisasi."
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak juga menekankan perlunya untuk menanggulangi ancaman ISIS melalui media sosial.