Kominfo: Raksasa teknologi hapus lebih dari 12 juta postingan disinformasi Pemilu 2024

Kementerian sebut bahwa hampir 92 persen hoaks disebarkan oleh buzzer.
Arie Firdaus and Tria Dianti
2024.03.19
Jakarta
Kominfo: Raksasa teknologi hapus lebih dari 12 juta postingan disinformasi Pemilu 2024 Foto tertanggal 1 Februari 2024 ini menunjukkanmlayar komputer dari Aribowo Sasmito, spesialis cek fakta dan salah satu pendiri Mafindo, organisasi pendeteksi hoaks, di kantornya di Jakarta.
Bay Ismoyo/AFP

Platform media sosial dan raksasas teknologi menghapus jutaan postingan hoaks menjelang pemilu bulan lalu, kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Selasa (19/3) .

TikTok berada di garis terdepan dengan menghapus 10,8 juta postingan, dan Google, pemilik platform YouTube, menghapus sekitar 2 juta postingan dari Juli tahun lalu hingga saat ini, kata Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi.

"Tahapan pemilu kan sudah mulai 17 Juli (2023). TikTok sudah melapor ke kami (bahwa) selama pemilu sudah men-take down 10,8 juta hoaks. Ini secara mandiri, tanpa kami minta," kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta.

Kementerian mengidentifikasi 3.235 unggahan sebagai hoaks, menghapus 1.923 unggahan, dan menandai sisanya sebagai berita bohong walaupun memilih untuk tidak menghapus unggahan tersebut karena dianggap tidak berbahaya.

"Judulnya yang enggak masuk akal, seperti Pak Hadi (Tjahjanto, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) mau nyapres. Ini kan hoaks dong. Itu cukup ditempel 'hoaks' saja," ujar Budi, tanpa memerinci isu-isu lainnya.

Kementerian tersebut mengatakan dalam sebuah laporan bulan lalu bahwa ada perubahan dalam jenis hoaks terkait pemilu tahun ini dibandingkan dengan tahun 2019.

Perbedaan isu, antara lain, informasi yang tidak benar terkait program kerja presiden dan koalisi suatu partai dengan China dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang muncul pada Pemilu 2019, tapi tidak terdapat pada 2024, ungkap dia.

Sementara isu hoaks yang muncul pada Pemilu 2024, tapi tidak bertebaran pada lima tahun lalu, meliputi isu pembatalan bakal calon presiden, dukungan aparat penegak hukum, dan hoaks dukungan pejabat negara kepada bakal calon presiden tertentu.

Hasil resmi pemilu yang diharapkan keluar pada Rabu (20/3) kemungkinan akan mengkonfirmasi kemenangan Prabowo Subianto dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka, putra tertua Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mengalahkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Berdasarkan pantauan kementeriannya, Budi menyebut mayoritas kabar bohong terkait pemilu disebarluaskan oleh para pendengung (buzzer) yang berafiliasi dengan kelompok tertentu. Budi tak memerinci afiliasi kelompok-kelompok tersebut.

"Yang agak vital adalah bahwa hampir 92 persen kebisingan di ruang digital kita ini ternyata diisi para buzzer. Platformnya merata, mulai dari Google, Meta, sampai TikTok," kata Budi.

Prevalensi misinformasi selama pemilu merupakan kekhawatiran yang semakin meningkat secara global, dan Indonesia tidak terkecuali.

Dewan Pengawas Meta bulan lalu mendesak perusahaan tersebut untuk memperjelas pendekatannya dalam melawan disinformasi pemilu online di platform-platformnya seperti Facebook dan Instagram.
Dewan Pengawas Meta bulan lalu mendesak perusahaan tersebut untuk memperjelas pendekatannya dalam melawan disinformasi pemilu online di platform-platformnya seperti Facebook dan Instagram.

Peneliti dari Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito berpendapat perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) turut memperparah penyebarluasan kabar bohong di tengah masyarakat.

"Seperti contoh menggunakan clone AI, meniru suara tertentu seperti presiden yang telah wafat,” kata Aribowo kepada BenarNews, merujuk pada video menyerupai Presiden Suharto yang mengajak memilih Partai Golkar pada Pemilu 2024 yang diunggah politikus partai tersebut, Erwin Aksa, lewat akun Instagram-nya.

Aribowo menilai tren kabar hoaks Pemilu 2024 juga bergeser seiring waktu. Dia merujuk perubahan tren sejak Januari yang tak lagi banyak menyerang kandidat, tapi beralih menyasar penyelenggara pemilu.

"Tren hoaks 2024 ini mengikuti tahapan pemilu dan politik. Saat kampanye, misalnya, hoaks soal kampanye atau siapa mendukung siapa," kata Aribowo.

Pakar dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan bahwa hoaks di media sosial menyasar semua kandidat pada Pemilu 2024.

"Hoaks beredar di internet berkembang rata di seluruh calon presiden melalui berbagai kanal dan media sosial," kata Pratama kepada BenarNews.

Mengenai siasat agar hoaks tak kian bertebaran di media sosial di masa mendatang, Pratama menyarankan pemerintah untuk bekerja sama lebih intens dengan platform media sosial untuk melakukan self-censoring sehingga platform bisa langsung menghapus konten yang masuk ke dalam kategori hoaks sebelum diminta oleh Kementerian.

Selain itu, kata dia, memperketat patroli dengan meningkatkan kemampuan mesin pengais konten negatif (AIS) sehingga tidak hanya bisa mengenali teks atau keterangan foto, tapi juga mengenali teks pada sebuah foto dan video.

"Kominfo juga harus membuka kerja sama dengan berbagai organisasi yang juga menyediakan layanan cek fakta sehingga informasi aktual dari isu hoaks yang beredar bisa selalu ter-update," ujar Pratama.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai jumlah hoaks terkait Pemilu 2024 sejatinya lebih besar dari yang disampaikan pemerintah. Oleh karena itu, “pemerintah harus melakukan literasi digital dan edukasi publik."

“Menghalangi hoaks itu enggak mungkin. Benteng itu dari tiap orang, supaya mereka tidak terpengaruh dan provokasi terhadap hoaks yang ada."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.