KNKT: Pilot yang terlalu mengandalkan pada otomatisasi pesawat berkontribusi pada jatuhnya Sriwijaya Air
2022.11.03
Jakarta
Pilot yang terlalu mengandalkan kepercayaan pada sistem otomatisasi yang menyebabkannya kurang memperhatikan instrumen kokpit diyakini berkontribusi terhadap kecelakaan pesawat Sriwijaya Air pada awal tahun 2021 yang menewaskan keseluruhan 62 orang penumpang dan awaknya, kata Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Kamis (3/11).
Pesawat Boeing 737-500 Sriwijaya Air - SJ-182 jurusan Jakarta -Pontianak jatuh di Laut Jawa dekat Kepulauan Seribu di Jakarta pada 9 Januari 2021 setelah terbang sekitar 13 menit.
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan penyelidik mengasumsikan bahwa pilot terlalu “berpuas diri” dengan sistem autopilot pesawat.
“Sehingga kondisi ini mungkin berdampak pada pengurangan monitor (perhatian) pada instrumen dan kondisi yang terjadi,” ujar Nurcahyo dalam rapat dengan Komisi V DPR di Jakarta.
Nurcahyo mengatakan ada kerusakan dengan sistem auto-throttle yang mengontrol tenaga mesin pesawat secara otomatis. Kerusakan sistem auto-throttle ini, tambah Nurcahyo sudah dilaporkan pada beberapa penerbangan sebelum penerbangan nahas itu dan beberapa komponen telah diganti.
“Normalnya, auto-throttle akan menggerakkan kedua tuas mundur untuk mengurangi tenaga mesin. Dalam penerbangan ini, auto-throtlle tidak dapat menggerakkan tuas kanan, dan tim investigasi meyakini adanya gangguan sistem sebelah kanan ini adalah gangguan sistem mekanikal, bukan pada sistem komputernya,”
“Tidak berkurangnya tenaga mesin sebelah kanan, menjadikan tuas sebelah kiri mengurangi tenaga mesin untuk mengkompensasi kebutuhan tenaga mesin sesuai kebutuhan autopilot,” lanjut dia.
Kondisi ini menimbulkan kondisi asimetri, yaitu perbedaan tenaga antara sisi pesawat kiri dan kanan, yang makin membesar menjelang ketinggian 11.000 kaki. Kondisi asimetri ini membuat pesawat bergeleng ke kiri dan seterusnya mengalami roll atau berguling.
"Dalam penerbangan ini, menjelang ketinggian 11.000 kaki, pesawat yang tadinya sedang berbelok ke kanan karena berkurangnya tenaga pada mesin sebelah kiri membuat pesawat tidak bergerak dan tidak berbelok. Baru setelah itu, berbelok ke kiri,” ujar dia.
Menurut Nurcahyo dalam penyelidikan ditemukan bahwa perubahan kondisi pesawat selama penerbangan itu tidak disadari oleh pilot yang diduga terlalu mengandalkan kepercayan terhadap sistem auto-throttle.
"Adanya rasa percaya terhadap sistem otomatisasi atau informasi yang mendukung opini telah berakibat dikuranginya monitor pada instrumen. Sehingga tidak disadari terjadi asimetri dan terjadi penyeimbangan penerbangan," kata Nurcahyo.
Flight data recorder mencatat bahwa empat detik pertama pemulihan yang dilakukan pilot adalah membelokkan pesawat ke kiri, karena mengira pesawat berbelok ke kanan dengan melihat posisi kemudi, “padahal pesawatnya sedang (berbelok) berlebihan ke arah kiri,” ujar dia, "sesuai prosedur Boeing dalam Aircraft Maintenance Manual perbaikan yang dilakukan saat itu belum sampai pada bagian mekanik, karena masih dalam proses penggantian komponen."
Investigasi ini menurut aturan seharusnya berlangsung dalam 12 bulan sejak terjadinya kecelakaan. Namun menurut Nurcahyo kondisi pandemi Covid-19 membuat penyelidikan tidak berjalan dengan baik.
Dalam rekomendasinya, KNKT meminta Sriwijaya Air berkonsultasi dengan direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebelum melakukan perubahan prosedur terbang dan meminta no technical objection (NTO) dari pabrikan pesawat sebelum melakukan perubahan prosedur yang sudah ada dalam buku panduan.
KNKT juga meminta Sriwijaya Air meningkatkan jumlah pengunduhan Flight Data Analysis Program agar bisa meningkatkan pemantauan operasi penerbangan serta menekankan pelaporan bahaya pada seluruh pegawai.
Kompensasi kepada korban
Direktur Utama Sriwijaya Air Anthony Raymond Tampubolon mengatakan pihaknya berkomitmen menjalankan rekomendasi yang disampaikan KNKT, selain sudah membayar kompensasi pada keluarga korban.
Menurutnya mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan kompensasi yang diberikan sebesar Rp1,25 miliar, namun maskapainya menambah Rp250 juta untuk membantu keluarga korban.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, 35 ahli waris sudah menerima ganti rugi, sementara 27 orang lainnya belum.
Menurut Anthony hal itu terjadi karena perusahaan harus melakukan proses administrasi secara cermat agar tidak menjadi permasalahan hukum di kemudian hari.
"Proses administrasi penting, karena pemberian kompensasi tersebut dari kami dan prudent sehingga tidak terjadi dispute atau gugatan dikemudian hari," kata Anthony, sambil menambahkan bahwa ada juga keluarga korban yang belum sepakat terkait pemberian hak waris.
Ada 17 ahli waris yang sampai saat ini belum mau menandatangani penyelesaian dokumen hak waris.
"Sekitar 17 orang menolak untuk menerima kompensasi tersebut karena sudah mengajukan gugatan di pengadilan AS, dan karena gugatan tersebut mereka belum mau menerima kompensasi sedianya yang kami siapkan," kata Anthony.
Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama mengatakan pemerintah perlu membuat aturan hukum yang bisa menjangkau proses penyetelan sistem otomatisasi pesawat sehingga kecelakaan yang serupa dengan Sriwijaya Air tidak terjadi.
“Kalau pesawat dari luar negeri dan akan dioperasikan di Indonesia tapi tidak dilakukan penyetelan ulang ini bagaimana. Jangan-jangan semua pesawat di Indonesia, penyetelannya tidak seimbang antara kiri dan kanan,” ujar dia.
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan laporan KNKT selalu memberi rekomendasi untuk mencegah terulangnya kecelakaan serupa
“Laksanakan saja rekomendasi KNKT,” ujar dia.
Pizaro Gozali Idrus turut berkontribusi dalam laporan ini.