Keberhasilan KKR Aceh Ditentukan Ketika Mengungkapkan Kebenaran
2015.12.30
Banda Aceh
Keberhasilan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sangat ditentukan ketika para komisioner, yang kini sedang dalam proses rekrutmen, mampu mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi di Aceh saat dilanda konflik bersenjata hampir 30 tahun.
Selain itu, harus ada jaminan pemulihan dan perlindungan keamanan terhadap para korban sehingga bersedia memberi testimoni tentang apa yang mereka alami karena sebagian masyarakat di daerah pedalaman masih trauma meski perdamaian telah 10 tahun terwujud di provinsi paling barat Indonesia itu.
Demikian kesimpulan diskusi publik “Menyongsong Kebenaran dan Keadilan Melalui KKR Aceh” di Banda Aceh, Rabu sore. Diskusi yang digagas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dihadiri sekitar 100 peserta dari masyarakat korban hampir seluruh Aceh, kalangan aktivis, akademisi dan mahasiswa.
“Tahapan paling penting dan krusial adalah ketika proses pengungkapan kebenaran karena inilah kunci KKR. Jika ini dapat dilalui dengan baik, maka tahapan rekonsiliasi dan reparasi korban lebih mudah,” tutur Koordinator Kontras Aceh, Hendra Saputra, yang menjadi salah seorang pembicara.
Ia menambahkan bila pengungkapan kebenaran gagal, KKR Aceh tak berhasil seperti harapan puluhan ribu korban yang telah lama menantikan komisi itu. Untuk itu tujuh komisioner yang bakal direkrut harus betul-betul profesional untuk mengungkapkan apa yang terjadi di Aceh ketika konflik yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang, umumnya warga sipil.
“Ini tantangan besar sebab para korban sudah mulai apatis dan tidak percaya kepada pemerintah. Selama ini pemerintah hanya mendata para korban, tapi janji mendapat bantuan tidak pernah terealisasi,” ujar Hendra.
“10 tahun lebih korban menanti. Jadi wajar saja akan timbul kecurigaan-kecurigaan saat komisioner mulai bekerja. Apalagi setelah mereka memberikan kesaksian, para korban tak otomatis mendapat reparasi. Bisa jadi setahun atau dua tahun kemudian reparasi baru diberikan,” tambahnya.
Beberapa masyarakat korban sempat mempertanyakan syarat untuk menjadi bakal calon komisioner. Mereka khawatir apabila mantan TNI/Polri atau bekas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mencalonkan diri sebagai komisioner karena bisa jadi pernah terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Bagaimana jika sampai ada intervensi dari penguasa agar memasukkan saudaranya sebagai komisioner,” ujar Firdaus, seorang korban. Untuk itu, ia menyarankan semua kekuatan aktivis dan komunitas-komunitas korban untuk membantu kinerja panitia seleksi.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Faisal Hadi – seorang panitia seleksi bakal calon komisioner KKR yang juga menjadi pembicara diskusi publik itu – menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja secara profesional. Dia juga menyambut baik keterlibatan dari masyarakat korban mengawal kinerjanya.
Faisal yang merupakan bekas Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh menjelaskan tentang syarat untuk dapat menjadi calon komisioner KKR. Syarat itu antara lain para bakal calon tak pernah melanggar HAM, memiliki visi untuk mengungkap kebenaran.
“Sebelum diputuskan 21 orang yang akan diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), panitia seleksi juga membuka kesempatan uji publik agar masyarakat memberikan masukan atau saran tentang track record kandidat,” tutur Faisal.
Perjuangan panjang
Hendra menyebutkan bahwa KKR adalah perjuangan panjang tanpa kenal lelah yang dilakukan masyarakat korban bersama kalangan aktivis. Perjuangan itu diawali tahun 2008 yang ditandai dengan menyiapkan draf qanun (peraturan daerah).
Kemudian pada 2010, perjuangan ditempuh melalui konfrontatif dengan pengerahan massa beberapa kali agar DPRA mengesahkan Qanun KKR. Akhirnya baru tahun 2013, Qanun KRR disahkan. Tapi terjadi kevakuman selama dua tahun karena qanun tidak pernah diimplementasikan.
Dalam dua tahun terakhir, kalangan aktivis dan masyarakat korban terus mendesak Pemerintah dan DPRA agar melaksanakan qanun itu. Perjuangan diubah melalui lobi dengan menjumpai anggota dan pimpinan parlemen Aceh. Mereka menggalang pertemuan informal dengan tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh.
“Yang aneh ketika kami bertemu anggota dewan, ada dari mereka mengaku tak tahu Qanun KKR sudah disahkan. Memang mereka hasil Pemilu 2014, tapi seharusnya kan tahu apa yang sudah disahkan dewan,” jelas Hendra.
Murtala, seorang korban dari Kabupaten Aceh Utara, menyatakan dia dan komunitas masyarakat korban setempat senang karena perjuangan panjang mulai menunjukkan setitik harapan.
“Tetapi masyarakat korban di daerah pedalaman masih belum paham dan bertanya-tanya apa itu KKR karena sosialisasi kurang. Kami hanya menuntut keadilan kendati saya meragukan keadilan itu ada. Masyarakat korban sangat berharap mereka yang duduk di KRR adalah orang-orang yang jujur,” katanya.
M. Isa, seorang aktivis HAM, juga mengkhawatirkan kalau sampai KRR akan diduduki orang tak profesional karena “pengalaman saat Badan Reintegrasi Aceh membangun rumah tidak tepat sasaran”. “Malah ada rumah untuk korban konflik yang dibangun hanya fondasi sementara dana dicairkan 100 persen,” ujarnya seraya menambahkan ia memiliki bukti kasus yang ditemukan di Kabupaten Aceh Tamiang.
Seorang perempuan yang ayahnya diculik saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar tahun 2001, Raudhatul menyatakan bahwa untuk mengungkapkan kebenaran sangat sulit karena masyarakat di pelosok masih trauma.
“Belum lagi selama ini mereka merasa hanya dimanfaatkan dengan janji, tetapi tidak ada realisasi dari pemerintah,” katanya sambil berharap perlidungan dan pemulihan trauma kepada para korban setelah memberikan testimoni.
Banyak kendala
Fuad Mardhatillah, seorang akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh meyatakan KKR Aceh akan banyak menghadapi kendala karena “banyak orang tidak senang lembaga ini dapat dilaksanakan di Aceh. Itu terlihat dari berlarut-larut implementasi Qanun KRR padahal sudah disahkan dua tahun lalu.”
Dia juga mempertanyakan apakah pemahanan tentang KKR sudah jelas. Masalanya, tutur Fuad, beberapa lembaga yang hanya ada di Aceh sebagai wujud keistimewaan tidak berjalan sebagaimana mestinya karena terjebak pada rutinitas semata.
“Misalnya Badan Dayah atau Dinas Syariat Islam tidak jelas indikatornya apa. Mereka tak ngerti mau ngapain karena tidak jelas konsep diarahkan kemana. Jangan sampai KKR setelah dibentuk nanti bernasib sama seperti lembaga-lembaga itu,” ujarnya.
Fuad menyarankan agar KRR dapat menjadi lembaga yang dapat meluruskan sejarah apa sebenarnya terjadi selama hampir 30 tahun konflik bersenjata di Aceh dengan mengungkapkan seluruh kebenaran.
“Ada semacam penulisan sejarah kekerasan di Aceh sehingga kita tidak lagi terjebak dalam siklus kekerasan yang sering terjadi di Aceh. Saya berharap KRR menyiapkan konsep yang jelas,” pungkasnya.