Kisah Pengikut Gafatar: 'Semua Terbakar, Tak Ada yang Terselamatkan'
2016.01.26
Malang
Bima Pandi Darma, 3 tahun, tergolek lemah di ranjang Unit Pelaksana Teknis Loka Bina Karya, Banjar Rejo, Pakis, Kabupaten Malang. Suhu tubuh Bima panas dan sesekali mengalami diare. Bima merupakan anak semata wayang pasangan Edi Priono dan Yuli Maenten, bekas anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) asal Desa Kromengan, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang.
Bersama 17 pengikut Gafatar yang lain, mereka tiba pukul 22.00 WIB, Senin 25 Januari 2016. Mereka terdiri dari 11 orang dewasa dan enam anak yang berasal dari empat keluarga. Tiga diantaranya, dua balita dan seorang dewasa, mengalami gejala flu dan demam.
Petugas Dinas Kesehatan dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang mengobati ketiganya. Relawan PMI, Amirul Yasin, menjelaskan bahwa kondisi kesehatan mereka menurun sejak berada di Asrama Transito Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Mereka ditampung selama dua hari setelah barak permukimannya Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, habis dibakar massa 19 Januari lalu. “Semoga kondisinya berangsur membaik setelah beristirahat,” ujar Yasin.
Raut wajah mereka tampak lelah. Tak banyak barang yang mereka bawa, hanya beberapa lembar pakaian dan sejumlah barang yang bisa terselamatkan. Bahkan, Edi Subagyo mengaku tak membawa pakaian ganti. Hanya tersisa sepasang sandal, sepotong kaos dan celana panjang yang melekat di tubuh.
Sedangkan semua barang berharga sudah ludes terbakar. Uang, telepon genggam dan komputer jinjing ikut terbakar. “Semua barang habis terbakar,” ujarnya.
Sempat berkemas sebelum dibakar
Semua barang miliknya telah dibungkus dalam kardus, diletakkan di dalam rumah. Aksi massa membakar barak permukiman tak bisa dicegah, sehingga turut hangus terbakar. Mereka telah berkemas sejak tiga hari sebelum pembakaran setelah tersebar kabar bakal terjadi aksi unjuk rasa memprotes aktivitas para pengikut Gafatar di sana.
Edi mengatakan, mereka berencana untuk meninggalkan permukiman. Namun keterbatasan armada kendaraan menghambat proses evakuasi pengikut Gafatar. Mereka sempat meminta perlindungan warga lokal setempat, sehingga sempat beberapa hari tak ada aksi unjuk rasa.
Namun belakangan terjadi aksi unjuk rasa memprotes aktivitas Gafatar dan mengusirnya. Awalnya hanya segelintir orang, lambat laut bertambah menjadi ribuan. Massa datang mempersenjatai diri dengan pentungan dan senjata tajam. “Mereka berhasil menerobos barikade polisi yang berjaga,” kata Edi.
Edi dan sejumlah lelaki dewasa juga membuat pagar hidup untuk menghalau massa dan melindungi perempuan dan anak-anak. Namun massa terus masuk hingga merusak dan membakar rumah pengikut Gafatar.
“Semua terbakar. Tak ada yang bisa diselamatkan. Alhamdulillah tak ada yang terluka,” ujarnya.
Edi bersama kedua orang tua dan tiga adiknya bersama-sama menyelamatkan diri. Dia tak menghiraukan telepon seluler dan komputer jinjing yang terbakar. Padahal kedua barang elektronika tersebut dibutuhkan untuk kegiatan belajar home schooling selama ini. “Harta benda masih bisa dicari,” ujarnya.
Edi terus bertanya-tanya kenapa massa membakar rumah dan harta benda bekas anggota Gafatar. Dia juga mempertanyakan dasar tudingan sesat yang dialamatkan kepada pengikut Gafatar. Sebab, organisasi Gafatar telah bubar, sedangkan di tengah barak itu ada sebuah bangunan musala yang digunakan beribadah. “Ada musala, meski belum ada atap. Karena masih tahap pembangunan. Ada juga Al-Quran,” ujar Edi.
Selama ini, kata Edi, mereka tak pernah mengajak warga setempat untuk mengikuti Gafatar. Dia menduga aksi massa terjadi karena salah paham, lantaran tanah yang ditempati permukiman dan lahan garap bekas pengikut Gafatar merupakan tanah sengketa. “Lahan itu dibeli oleh investor, kami diminta mengelola,” ujar Ayah Edi, Santoso.
Selama tiga bulan, Edi beserta pengikut Gafatar lain bekerja mengolah lahan pertanian sebagai perwujudan salah satu misi organisasi tersebut, yaitu ketahanan pangan. Mereka menanam aneka sayuran dan buah nanas. Namun hasil kerja keras mereka mengolah lahan belum bisa dinikmati karena terlanjur terjadi aksi massa membakar permukiman.
Bingung Mau Kemana
Bekas anggota Gafatar ditatar wawasan kebangsaan sekembalinya ke Malang oleh polisi dan TNI, 26 Januari 2016. (BeritaBenar).
Edi sekeluarga mengaku bingung, menatap masa depan. Setelah dikembalikan ke Malang mereka tak memiliki rumah maupun pekerjaan. Rumah dan asetnya sudah lama dijual sebelum bergabung bersama pengikut Gafatar lain di Mempawah. Namun saat ini dia beruntung ada saudara yang bersedia menampung mereka sementara. Para pengikut Gafatar menuntut pekerjaan atau lahan garapan karena kini mereka tidak punya apa-apa, termasuk tempat tinggal.
"Kami sekeluarga belum ada gambaran, kira-kira akan usaha apa?” katanya. Semua uang dan harta benda ikut terbakar.
Edi juga berharap bisa menamatkan Sekolah Menengah Atas. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Malang, Sri Wahjuni Pudji Lestari mengatakan akan membantu mereka untuk mendapat pekerjaan sesuai potensinya. “Mereka berpotensi mengembangkan pertanian,” ujarnya.
Selama belum memiliki penghasilan mereka akan mendapat bantuan bahan makanan. Segala kebutuhan hidup, katanya, akan dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Malang. Selain itu, mereka juga akan diawasi untuk mencegah gesekan dan penolakan warga.
Dibina aparat dan MUI
Mereka akan ditampung sementara selama dua hari tiga malam. Selama di penampungan mereka mendapat wawasan kebangsaan dan agama dari TNI, polisi, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kantor Kementerian Agama.
Kepala Bagian Operasional Polres Malang, Komisaris Deky Hermansyah menjamin warga setempat menerima kembali bekas anggota Gafatar ke kampung halaman. “Tokoh masyarakat dan tokoh agama menilai mereka sebagai korban,” ujar Deky.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Choirul Fathoni mengaku mengetahui Gafatar sejak lama. Mereka bergerak dalam kegiatan sosial seperti pemugaran rumah, donor darah dan pengobatan gratis. Pengikut Gafatar tersebar di Kepanjen, Pagelaran, Dampit dan Kromengan.
"Perkembangan Gafatar sebetulnya sudah sejak lama, mereka melakukan kegiatan sosial. Pengurusnya minta didaftarkan, saya minta bikin surat dan proposal tapi sampai
sekarang tidak ada," ujarnya.
Sebagian pengikut Gafatar telah berpindah ke Kalimantan Barat sejak dua tahun lalu. Sebagian telah memiliki KTP Kalimantan Barat. Mereka juga menjual rumah dan perabot rumah tangga walaupun secara ekonomi mereka sudah mapan bekerja sebagai petani, guru honorer dan
PNS.
Sementara Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Malang Hasan Abadi menuturkan bekas pengikut Gafatar harus dilindungi. Sehingga seluruh elemen masyarakat harus menerima mereka kembali. “Mereka ketakutan ingin kembali. Ansor akan berdiri melindungi mereka,” ujarnya.
Hasan mengajak ulama untuk mengubah cara berdakwah, dengan melakukan pola pendekatan yang diterima segala lapisan masyarakat. Ansor juga akan menjadi bagian untuk berdakwah dan berdialog dengan bekas pengikut Gafatar. Selain itu, katanya, Ansor juga menyediakan beasiswa pendidikan untuk anak-anak pengikut Gafatar. “Beasiswa untuk pendidikan lebih baik,” ujarnya.