Polisi tangkap “Menteri Pendidikan” Khilafatul Muslimin
2022.06.13
Jakarta
Polisi pada Senin (13/6) menangkap orang yang disebut sebagai “Menteri Pendidikan” Khilafatul Muslimin, kelompok pendukung kekhalifahan Islam yang menurut otoritas anti-terorisme merupakan ancaman bagi kasatuan bangsa.
Polisi menangkap tokoh yang hanya disebut dengan inisial AS di Mojokerto, Jawa Timur, atas tuduhan melakukan indoktrinasi paham khilafah di sekolah terafiliasi melalui perannya yang menetapkan bahan ajar atau kurikulum, kata juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan.
AS "bertanggung jawab melakukan indoktrinasi sehinga meyakinkan orang lain bahwa khilafah bisa menggantikan ideologi Pancasila," ujar Endra dalam keterangan kepada wartawan.
Terduga menjadi tokoh kelima dari kelompok itu yang ditangkap polisi.
Selasan pekan lalu, polisi menangkap pemimpin sekaligus pendiri Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, di Lampung atas tuduhan penyebaran berita bohong.
Penangkapan Abdul Qadir menyusul sejumlah konvoi sejak akhir bulan lalu di beberapa daerah oleh pengikut organisasi tersebut dengan mengibarkan bendera dan poster bertuliskan pesan mendukung kebangkitan khilafah.
Konvoi tersebut memicu kecaman di tengah masyarakat dan seruan agar polisi mengambil tindakan.
Pada Sabtu, polisi menemukan uang sebesar Rp2,3 miliar dalam penggeledahan terhadap markas organisasi itu di Bandar Lampung, kata Endra.
"Ditemukan beberapa barang bukti di antaranya adalah kita temukan brankas besi sebanyak empat unit yang berisi uang tunai yang berjumlah lebih dari Rp 2,3 miliar," ujar Endra dalam keterangan pers Minggu.
Khilafatul Muslimin merupakan “ancaman (bagi) ideologi Pancasila dari berbagai ideologi transnasional,” kata Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, kepada BenarNews.
Menurut Irfan, BNPT melakukan pengawasan intensif terhadap kelompok itu menyusul berita soal konvoi pro-khilafah.
Direktur pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid pekan lalu mengklaim bahwa Khilafatul Muslimin memiliki sekitar 20.000 pengikut.
Nurwakhid mengatakan kebanyakan jemaah dan juga pengurus dari Khilafatul Muslimin merupakan mantan anggota dari Negara Islam Indonesia (NII).
Ancaman atau bukan?
Menurut pakar terorisme nasional dari Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe, Al Chaidar, gerakan Khilafatul Muslimin memaknai khilafah sebagai sebuah ajaran Islam yang mesti dimiliki oleh umat Muslim di Indonesia agar bisa menjalankan hukum dan syariat.
“Khilafatul Muslimin memaknai khilafah sebagai bukan negara dan bukan kekuasaan sehingga organisasi ini sebenarnya adalah sama seperti organisasi tasawuf atau sufi,” kata Al Chaidar kepada BenarNews.
Dia menegaskan bahwa organisasi tersebut sama sekali tidak berbahaya dan tidak memiliki potensi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
“Karena bagi mereka jika melanggar Pancasila maka akan berdosa dan masuk neraka,” kata Al Chaidar.
Pemahaman khilafah seperti ini adalah pemahaman yang berbeda dengan pemahaman yang dipersepsikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia – yang sekarang sudah dilarang – atau Jamaah Ansharut Daulah – yang berafiliasi ke ISIS.
Al Chaidar menganggap penangkapan anggota Khalifatul Muslimin adalah tindakan yang tidak berdasarkan hukum.
“Proses penangkapan terhadap mereka di beberapa daerah terkesan sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi rasa tidak suka dari beberapa kalangan sekuler dan oligarki,” kata dia.
Berbeda dengan Al Chaidar, Hendardi, ketua SETARA Institute, organisasi yang kerap menyoroti masalah intoleransi di Indonesia, menyatakan penindakan terbatas yang menjerat pimpinan Khilafatul Muslimin dinilai tepat, karena pimpinan dan pengurusnya telah secara nyata mengusahakan gagasan organisasi itu terwujud.
Menurut Hendardi, apa yang dilakukan oleh polisi adalah bagian dari pencegahan intoleransi yang tepat yang selama ini sering kali dibiarkan hingga kelompok-kelompok tertentu mewujud menjadi tindakan radikalisme kekerasan dan terorisme.
“Pencegahan di hulu, yakni menangani intoleransi adalah salah satu cara menangani persoalan terorisme,” kata dia.
Meskipun demikian, tambah Hendardi, penanganan non-hukum, yaitu pekerjaan pencegahan dengan berbagai pendekatan, harus menjadi prioritas berbagai badan-badan negara dan juga aparat hukum.
“Pencegahan dan penanganan intoleransi harus diperkuat dan menjadi yang utama,” kata dia.
Hendardi menambahkan penangkapan Abdul Qodir dan anggota lainnya oleh polisi menunjukkan bahwa kelompok-kelompok pengusung ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila nyata adanya.
“Kelompok semacam itu akan terus tumbuh seiring dengan kinerja pemerintah dalam mempromosikan dan menerapkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga kinerja penanganan intoleransi, radikalisme dan terorisme,” kata Hendardi kepada BenarNews dalam keterangan tertulis.
Menurut dia, jika kinerja badan-badan yang ditujukan untuk membudayakan Pancasila hanya berkutat pada seremoni dan agitasi, maka sulit bagi masyarakat untuk menerima Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Hendardi juga menyoroti kinerja BNPT yang jika semakin kehilangan fokus, maka kerja deradikalisasi hanya menjadi rutinitas ritual badan anti teror tersebut yang tidak menyentuh aspek hulu dari terorisme.
Dia menegaskan langkah kepolisian menangani kelompok Khilafatul Muslimin dengan menggunakan delik pidana di luar kerangka Undang-undang Terorisme, secara normatif lebih tepat dibandingkan dengan menggunakan undang-undang tersebut.
“Karena kelompok ini sesungguhnya tidak atau belum melakukan tindak pidana terorisme kecuali mempromosikan ideologi yang berbeda,” kata Hendardi.