Ambisi ketahanan pangan Indonesia ancam harta karun konservasi alam
2024.10.02
Bangkok, Thailand
Militer Indonesia memegang peran kunci dalam rencana ambisius untuk mengubah lebih dari 2 juta hektar lahan basah dan sabana di Papua, wilayah yang rentan konflik, menjadi sawah dan perkebunan tebu di kawasan yang oleh para konservasionis dianggap sebagai harta karun lingkungan itu.
Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proyek ini memicu kekhawatiran tentang semakin besarnya campur tangan militer di wilayah sipil Indonesia. Beberapa pihak memperingatkan bahwa proyek tersebut dapat memicu ketegangan dan bahkan kekerasan di Merauke, wilayah yang ditargetkan menjadi pusat ketahanan pangan nasional. Merauke, yang sebagian besar terhindar dari konflik selama puluhan tahun antara pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua yang ingin merdeka, kini menghadapi ancaman baru.
Rencana pembukaan sawah dan perkebunan tebu itu merupakan bagian dari ambisi pemerintah Indonesia untuk mencapai swasembada pangan dan energi bagi 270 juta penduduknya. Namun, upaya ini menimbulkan dilema global antara dorongan pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang dan perlindungan terhadap ekosistem – ekosistem yang semakin langka.
Proyek tebu dan padi di Merauke mencakup sekitar seperlima dari dataran rendah seluas 10.000 kilometer persegi, dikenal sebagai TransFly, yang membentang dari Indonesia hingga Papua Nugini. Nama TransFly diambil dari Sungai Fly yang berliku namun dalam map tampak sebagai garis di perbatasan kedua negara.
Hamparan luas lahan basah, padang rumput, dan kantong hutan hujan tropis di bagian selatan Pulau Papua itu “secara global luar biasa,” kata Eric Wikramanayake, ahli biologi konservasi, yang menulis tentang signifikansi hal itu dalam sebuah buku mengenai kawasan konservasi di Asia.
Para peneliti mengatakan TransFly adalah rumah bagi setengah dari spesies burung yang ditemukan di Nugini, termasuk sekitar 80 spesies yang tidak ada di tempat lain dan satwa endemik lainnya seperti kura-kura hidung babi dan marsupial karnivora yang mirip kucing.
World Wildlife Fund (WWF) menyebutnya sebagai "harta karun global" dan mengupayakan agar kawasan ini masuk dalam daftar Warisan Dunia, dengan mengatakan tidak ada tempat lain di kawasan itu yang bisa menandinginya, bahkan tidak Taman Nasional Kakadu yang terkenal di Australia itu.
"Jika sebagian besar TransFly diubah menjadi lahan pertanian, maka ini akan mengubah penilaian konservasi dan kawasan ini akan jauh lebih terancam," ujar Wikramanayake.
"Akan ada beberapa dampak, dan dampak-dampak itu seperti membuka kotak pandora, yang akan membuka jalan bagi kerusakan lingkungan yang lebih luas,” jelasnya.
Namun bagi Mayor Jenderal Ahmad Rizal Ramdhani, yang memimpin Satgas Ketahanan Pangan Nasional, area yang ditargetkan untuk pembangunan itu adalah kawasan rawa-rawa yang harus diubah menjadi lahan pertanian untuk mewujudkan potensi kesuburannya yang “luar biasa”.
Dalam 40 menit wawancara podcast dengan Radio Republik Indonesia pada Agustus, Ramdhani mengatakan bahwa proyek padi seluas 1 juta hektar akan didanai pemerintah dan diawasi oleh militer serta Kementerian Pertanian, sementara perkebunan tebu dan bioetanol akan dibiayai investor swasta.
Mengenakan hiasan kepala tradisional Papua, Ramdhani mengatakan dia membayangkan bahwa orang Papua akan meminta “Bapak TNI” – untuk membantu mengolah tanah adat mereka.
Ramdhani juga meyakinkan bahwa kawasan konservasi dan tanah adat akan dilindungi, serta tanah itu akan tetap menjadi milik masyarakat Papua.
“Masyarakat Papua, khususnya di Merauke, tidak perlu khawatir dan ragu, tidak perlu takut!” Kata Ramdhani.
Namun dalam pernyataan yang tampaknya kontradiktif, Ramdhani mengatakan konversi ke sawah perlu dilakukan dalam tiga tahun untuk memastikan ketahanan pangan, tetapi beras juga akan diekspor – ke negara-negara kepulauan Pasifik dan Australia karena terlalu mahal untuk mengirimnya ke Jawa.
Franky Samperante, direktur dari LSM Pusaka mengungkapkan bahwa berdasarkan analisa map penggunaan lahan, area yang ditargetkan untuk proyek ini tumpang tindih dengan kawasan konservasi, tempat sakral masyarakat, rute historis leluhur mereka, dan lahan berburu warga.
Pusaka dalam laporannya pada bulan September lalu menyebutkan lebih dari 200 ekskavator mulai menebang pohon-pohon di lahan basah, hutan adat dan lahan lain milik masyarakat adat Malind Makleuw di Ilwayab, Merauke.
Warga memprotes proyek penanaman padi tersebut dalam sebuah acara resepsi penyambutan pejabat pada tanggal 24 September lalu seperti tersebar dalam sejumlah video. Para perempuan dengan wajah berhias lumpur putih sebagai simbul duka membawa pesan yang dituliskan dalam kertas sederhana yang dikalungkan di leher mereka yang bertuliskan "Kami menolak perusahaan Jhonlin Group" – salah satu konglomerat utama di Indonesia yang dilaporkan merupakan bagian penting dari proyek pangan tersebut.
Upaya sebelumnya oleh pemerintah dan militer untuk mengembangkan pertanian di Merauke, termasuk dalam dekade terakhir, telah menyebabkan perampasan tanah dan masalah lainnya.
Potensi ketegangan
Kepemimpinan militer dalam program pangan itu memperkuat persepsi bahwa program tersebut semakin mengganggu wilayah sipil, menurut tiga peneliti keamanan.
Analis militer, Raden Mokhamad Luthfi dari Universitas Al Azhar di Jakarta, menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam proyek ini menambah persepsi bahwa mereka semakin mengganggu wilayah sipil dan berisiko memicu kemarahan baru dari kelompok pro-kemerdekaan Papua.
"Ada risiko nyata bahwa proyek tersebut dapat memicu kebencian baru dari OPM [Organisasi Papua Merdeka-Gerakan Papua Merdeka], yang mungkin melihatnya sebagai bukti lebih lanjut tentang ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan yang dihadapi oleh orang Papua," kata Luthfi kepada BenarNews, media yang berafiliasi dengan Radio Free Asia (RFA).
Pembenaran atas peran militer dalam proyek Merauke, kata Luthfi, didasarkan pada konsep ketahanan pangan yang diuraikan dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2015.
Para perwira di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat merasakan ancaman keamanan dari kemungkinan kekurangan pangan di masa mendatang yang disebabkan oleh perubahan iklim dan pertumbuhan populasi, kata Luthfi. Namun, Buku Putih tersebut juga mengatakan upaya ketahanan pangan harus dipimpin oleh kementerian sipil.
Hipolitus Wangge, seorang peneliti di Universitas Nasional Australia, mengatakan militer membungkam ketidakpuasan warga Papua terkait program yang gagal dekade lalu untuk menjadikan Merauke sebagai pusat produksi pangan utama.
"Kita harus mengantisipasi lebih banyak ketidakpuasan, bahkan pertumpahan darah di Merauke dalam lima tahun ke depan," katanya kepada RFA.
Rencana pembangunan pemerintah untuk wilayah tersebut dan konflik bersenjata di Papua kemungkinan besar menjadi penyebab gagalnya rencana yang dulunya ambisius untuk melindungi lingkungan TransFly.
WWF Indonesia dan Papua Nugini melakukan upaya bersama pada awal hingga pertengahan tahun 2000-an untuk mengembangkan rencana konservasi dan memperluas kawasan lindung. Dalam beberapa tahun, upaya tersebut gagal.
Ketika itu WWF menyatakan tentang signifikansi lingkungan TransFly, tetapi WWF Indonesia sekarang mengatakan bahwa mereka "mengakui pentingnya Proyek Strategis Nasional, seperti inisiatif Food Estate di Merauke, dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan Indonesia."
Program konservasi itu berakhir pada tahun 2016 karena ketidakamanan di Papua dan kurangnya sumber daya, kata juru bicara WWF Indonesia Diah Sulistiowati kepada RFA.
"Kami memahami bahwa pemerintah memprioritaskan pembangunan (pertanian) ini untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat dan untuk mendukung tujuan ketahanan pangan nasional," katanya.
WWF Indonesia membantu memastikan pembangunan kawasan TransFly menghormati "nilai-nilai ekologi dan budaya yang kaya," kata Sulistiowati, melalui rekomendasi-rekomendasi sebelumnya untuk perlindungan hutan dengan nilai konservasi tinggi, situs warisan budaya, dan wilayah-wilayah yang penting bagi masyarakat adat.
Aspek yang kurang dikenal dari pentingnya TransFly adalah bahwa tempat ini merupakan salah satu dari sedikit persinggahan di lahan basah bagi burung-burung migran yang melakukan perjalanan epik di sepanjang "jalur terbang" Asia berusia ribuan tahun yang membentang dari Alaska hingga Selandia Baru.
"Ada berapa pun lahan basah dan habitat yang digunakan oleh burung-burung ini harus dilestarikan," kata Wikramanayake. "Mungkin ada semacam titik kritis yang menyebabkan jalur terbang tersebut akan hancur."
Pizaro Gozali Idrus di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.