Kesaksian Istri Siyono

Kusumasari Ayuningtyas
2016.03.29
Klaten
160329_ID_wife_1000 Suratmi (bercadar) menyerahkan dua bungkusan uang yang diterimanya dari orang diduga polisi kepada Busyro Muqodas di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 29 Maret 2016.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Ditemani dua anak balitanya, perempuan berusia 39 tahun itu sedang memasukkan sisa hasil panen ke karung ketika BeritaBenar bertandang ke rumahnya di Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin 28 Maret 2016.

Rumah itu tampak sepi. Padahal, sebelum peristiwa tragis terjadi sekitar tiga minggu lalu, selalu ramai dengan suara anak-anak yang ceria belajar. Rumah pasangan suami istri Siyono dan Suratmi itu dijadikan Taman Kanak-Kanak (TK) sejak enam bulan lalu.

Semuanya berubah setelah pasukan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 Polri menangkap Siyono karena diduga terlibat terorisme. Pria 34 tahun itu ditangkap usai shalat Maghrib di masjid samping rumahnya, 8 Maret 2016 lalu. Tiga hari kemudian, Siyono meninggal dunia.

Juru bicara Mabes Polri Irjen Pol. Anton Charliyan menyebutkan Siyono tewas karena terbentur ketika “berkelahi” dengan seorang anggota Densus 88 yang mengawalnya untuk menunjukkan lokasi “penyimpanan senjata.” Tetapi, aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) meragukan klaim polisi tersebut.

Dua anak Suratmi yang lain sedang berada di sekolah. Sedangkan putri sulung belajar dan mondok di sebuah pesantren. Suratmi dinikahi Siyono yang dikenalnya sebagai seorang ustadz, pada 2002. Kehidupan mereka bahagia. Selain mengajar pengajian dan berceramah agama Islam, Siyono membantu orang tuanya di sawah.

Sedangkan perempuan yang selalu mengenakan hijab meski sedang berada di rumah mengajar pada TK Roudatul Athfal Terpadu Amanah Ummah, yang didirikan Siyono tahun 2005. Kegiatan belajar mengajar TK pindah ke rumahnya setelah gedung lama dijual pemiliknya.

Sejak suaminya pergi untuk selamanya, Suratmi memilih berhenti mengajar sampai waktu yang belum dipastikan. Apalagi, kegiatan belajar sudah dipindahkan ke Masjid Nurul Jannah yang berjarak sekitar 600 meter dari rumahnya sejak sepekan lalu.

“Anak-anak trauma dan takut. Mereka bilang ke orangtua mereka tidak mau sekolah lagi di rumah saya,” tutur Suratmi.

Tak hanya anak-anak TK yang merasa ketakutan. Suratmi dan para pengajar lain juga trauma bila ingat penggeledahan di sekolah yang dilakukan Densus 88 dan kepolisian setempat, 10 Maret 2016.

Saat penggeledahan dilakukan, tim Densus 88 ditemani aparat kepolisian bersenjata lengkap datang ketika proses belajar-mengajar berlangsung sehingga puluhan bocah ketakutan. Mereka hanya bisa menangis dan mencoba bersembunyi.

Suratmi mengaku ingin berjuang mendapatkan keadilan karena suaminya meninggal dunia secara tak wajar saat berada di tangan aparat negara.

Apalagi, dia kehilangan ayah kandung dan suaminya dalam jangka waktu hampir bersamaan. Ayahnya meninggal dunia beberapa minggu sebelum Siyono menemui ajalnya.

Belum lagi berbagai tekanan yang diterimanya. Tapi dia berusaha tetap tegar sambil mengurus kelima buah hatinya dari hasil perkawinan dengan Siyono.

“Saya diberikan amanah lima orang anak. Jadi, saya harus tegar,” ujarnya tidak mampu menahan airmatanya.

“Apalagi anak-anak sering bertanya kemana Ayah mereka.”

Seorang warga memperhatikan TK Roudatul Athfal Terpadu Amanah Ummah di Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah, 28 Maret 2016, yang kini terpaksa tutup. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

Menolak tanda tangan

Suratmi mengaku sejak berada di Jakarta untuk menjemput jasad suaminya, pada 11 Maret 2016, dia diminta menandatangani sebuah surat persetujuan. Isinya, keluarga harus mengikhlaskan kepergian Siyono, tidak akan melakukan otopsi, dan tidak akan menuntut kepolisian.

Saat itu, dia menolak dengan alasan akan melakukan shalat Istikharah terlebih dulu, untuk meminta petunjuk pada Allah akan keputusan terbaik yang harus diambilnya.

Selanjutnya, ketika sampai di rumah duka bersama jenazah Siyono, Minggu 13 Maret 2016 dinihari, ungkap Suratmi, telah ada pengacara Densus 88 yang datang di rumah duka.

Tapi karena Suratmi sudah mengatakan akan shalat Istikharah terlebih dulu, maka pengacara tersebut pulang begitu pemakaman selesai.

Dia mengaku diberikan dua bungkusan koran berisi uang saat di Jakarta. Saat itu, dia diinapkan di sebuah hotel. Kemudian datang dua perempuan yang memperkenalkan diri bernama Ayu dan Lastri.

Kedua perempuan itu menyerahkan dua bungkusan uang kepada Suratmi. Keduanya minta Suratmi agar mengikhlaskan kematian suaminya. Dia menduga mereka adalah anggota kepolisian.

Uang itu tak disentuhnya. Malah bungkusan masih rapi sehingga dia tak tahu berapa jumlah nominal uang tersebut. Ia hanya mendapatkan pesan, kalau bungkusan yang satu untuk pemakaman Siyono dan satu lagi buat biaya anak-anak.

Meskipun mengakui tak mudah menghidupi lima anaknya seorang diri, tapi Suratmi tetap tidak mau membuka bungkusan berisi uang itu. Dia sudah bertekad membiayai anak-anaknya dari hasil keringatnya sendiri dan memastikan rezeki yang halal.

“Saya tak yakin uang yang diberikan itu uang apa. Apakah bisa dipastikan halal. Saya tidak pakai, sudah saya titipkan ke Komnas HAM untuk dikembalikan,” ujarnya.

Tempuh jalur hukum

Suratmi mengaku telah mendapatkan jawaban dari Istikharah yang dilakukannya. Dia merasa mantap untuk menempuh jalur hukum. Ia merelakan dan ikhlas jika jenazah suaminya diotopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya.

“Saya hanya menuntut hak saya, Indonesia ini negara hukum,” tuturnya terbata-bata di tengah tangisnya.

Koordinator Sub Komisi Pantauan dan Investigasi Komnas HAM, Siane Indriani ketika dikonfirmasi BeritaBenar, menyebutkan, pihaknya memang sudah mendapatkan izin dari Suratmi untuk melakukan otopsi jenazah Siyono.

“Nanti kita serahkan pada PP Muhammadiyah karena mereka yang berlaku sebagai pendamping keluarga Siyono,” ujar Siane.

Komnas HAM bekerjasama dengan PP Muhammadiyah dan PUSHAM UII (Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia) untuk mengetahui secara pasti apa penyebab kematian Siyono yang sebenarnya, tambahnya.

Untuk mewujudkan perjuangannya mencari keadilan, Suratmi telah bertemu dengan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas di Yogyakarta, Selasa, 29 Maret 2016. Pada kesempatan itu, Suratmi menyerahkan dua bungkusan berisi uang yang diberikan polisi.

Busyro menegaskan bahwa pihaknya bakal mengawal kasus kematian Siyono hingga ke pegadilan. PP Muhammadiyah juga berjanji akan memberikan perlindungan pada keluarga Siyono.

“Uang ini akan menjadi barang bukti di pengadilan nanti,” tandas mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Suratmi menyatakan dia sudah bertekad mencari keadilan atas kematian suaminya.

Apalagi, "Ini yang kecil sering mengigau, 'Abah tembak, Abah tembak'," tutur Suratmi terisak.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.