Kenaikan PPN jadi 12% dan rencana pengampunan pajak dianggap tidak adil

"Saya gagal paham, di mana letak keadilan pajaknya?"
Arie Firdaus
2024.12.02
Jakarta
Kenaikan PPN jadi 12% dan rencana pengampunan pajak dianggap tidak adil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tiba di gedung parlemen untuk menghadiri Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Jakarta, 16 Agustus 2024.
Yasuyoshi Chiba / AFP

Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari menuai kontroversi.

Tekanan ekonomi dalam negeri, daya beli masyarakat yang tertekan, dan kritik atas keberpihakan kebijakan pajak memunculkan pertanyaan: apakah ini waktu yang tepat untuk menaikkan PPN?

Di satu sisi, kebijakan kenaikan PPN dari 11% sekarang ini dianggap sebagai upaya menjaga keberlanjutan fiskal, namun di sisi lain, ekonom, pengusaha, dan masyarakat menilai langkah tersebut bisa melemahkan daya beli.

Kontroversi semakin memanas karena kebijakan ini muncul bersamaan dengan adanya rencana program pengampunan pajak (tax amnesty) di Dewan Perwakilan Rakyat yang dinilai lebih menguntungkan pengusaha besar.

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto juga sedang mempertimbangkan rencana memangkas Pajak Penghasilan (PPh) korporasi dari 22% menjadi 20%, dalam upaya meningkatkan daya saing usaha di Indonesia.

"Saya gagal paham, di mana letak keadilan pajaknya?" kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kepada BenarNews.

Bhima mengatakan bahwa pengampunan pajak tidak efektif menaikkan penerimaan pajak negara. Walhasil, jika pemerintah kembali menerapkan kebijakan itu tahun depan, dia pesimistis rasio pajak akan meningkat.

"Pengampunan pajak yang terlalu sering justru akan membuat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap menurun," kata Bhima.

"Karena akan muncul asumsi bahwa setelah tax amnesty jilid tiga, akan ada tax amnesty lagi di masa mendatang. Moral hazard-nya justru sangat besar."

Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), mengatakan bahwa kelas menengah yang merupakan mengonsumsi terbesar barang jadi akan menjadi kelompok yang paling terdampak akibat kenaikan PPN.

"Kalau mau bicara kesenjangan dan target pertumbuhan ekonomi, ya, semestinya ditunda," ujarnya kepada BenarNews.

Kenaikan PPN ini, bila jadi dilaksanakan di 2025, merupakan yang kedua dalam tiga tahun terakhir, setelah pada 1 April 2022, pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo menaikkan tarif pajak tersebut dari 10% menjadi 11%.

Dengan penetapan 12% PPN per tahun depan, Indonesia akan menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara, bersama Filipina.

Sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia telah dua kali menerapkan pengampunan pajak, masing-masing pada 2016-2017 dan 2022. Namun, dari dua rangkaian pelaksanaan pengampunan pajak tersebut, terang Bhima, rasio penerimaan pajak tidak terkerek signifikan.

Menurut CELIOS, rasio pajak pada 2016 tercatat 10,36% dan pada 2017 sebesar 9,89%. Capaian itu lebih rendah dibanding 2015 atau sebelum pelaksanaan pengampunan pajak yang mencapai 10,76%. Meski pada 2022, kebijakan tax amnesty mampu mengerek rasio pajak menjadi 10,39%, naik dari tahun sebelumnya yang tercatat 9,12%.

Rasio pajak adalah rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara, yang menunjukkan seberapa besar proporsi pendapatan yang diperoleh dari pajak terhadap total nilai perekonomian negara tersebut.

Secara umum, rasio pajak Indonesia tergolong lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam, Filipina, dan Kamboja yang mencapai 18%, serta Thailand 16% — menunjukkan adanya kebocoran pajak, penghindaran pajak, atau sistem perpajakan Indonesia belum optimal.

000_36KY7J7.jpg
Seorang pedagang pakaian mengatur barang dagangannya di Pasar Tanah Abang di Jakarta, 27 Oktober 2024. [Juni Kriswanto / AFP]

Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini menyatakan bahwa kenaikan PPN mungkin ditunda.

"Hampir pasti diundur," ujar Luhut pada Rabu (27/11). Luhut tidak mengungkap sampai kapan kenaikan diundur, namun dia mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan pemberian stimulus kepada masyarakat, termasuk bantuan sosial untuk kelas menengah, sebelum kebijakan ini diberlakukan.

Meskipun pernyataan Luhut memberikan secercah harapan kepada masyarakat, pihak Kementerian Keuangan belum memberikan kepastian terkait rencana tersebut.

"Nanti kita lihat," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada Minggu (1/12), seperti dikutip Liputan6.

Menurut Suahasil, kenaikan PPN merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Esther Sri Astuti, direktur eksekutif Institute for Development of Aconomics and Finance (Indef), berpendapat bahwa menerapkan tax amnesty di tengah kenaikan PPN “adalah bentuk ketidakadilan.”

"Konsumsi akan menurun sehingga akhirnya pendapatan negara juga akan menurun," kata Esther lagi, sembari menambahkan bahwa kenaikan PPN berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%. Padahal Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky berpendapat pemerintah membutuhkan anggaran untuk menjalankan beragam program unggulannya, salah satunya makan bergizi gratis, kata Awalil dalam keterangan pers.

"Keadaan itu membuat pemerintah terlihat desperate untuk menaikkan pendapatan," ujar Awalil dalam keterangan tertulis diterima BenarNews.

Masyarakat menolak

Di platform X, muncul tagar dengan kata kunci "Tolak PPN 12 Persen" yang disertai grafis serupa "Peringatan Darurat" yang marak berseliweran Agustus lalu.

Selain itu, muncul pula ajakan tolak bayar pajak di media sosial sama.

"Boleh gak kenaikan PPN [jadi] 12% berlaku buat kaum 58% saja?" kata netizen dengan nama Miranda di X, mengacu pada jumlah yang memilih Prabowo di pemilihan presiden Februari lalu.

Berdasarkan catatan lembaga pemantau media sosial berbasis kecerdasan buatan, Drone Emprit, sebanyak 79% respons di X memberikan sentimen negatif atas isu ini.

Petisi yang mendesak pemerintah membatalkan kenaikan PPN juga hadir di laman Change.org. Sejak dibuat 19 November, petisi itu telah ditandatangani setidaknya 14.000 orang.

BenarNews menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Keuangan, namun tak beroleh balasan.

Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, mengatakan produk makanan pokok dan jasa seperti layanan kesehatan dan angkutan umum tidak akan dikenakan PPN.

"Tidak semua barang dan jasa kena PPN. Barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak dibebaskan dari pengenaan PPN," kata Dwi seperti dikutip Tempo.co.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.