Kemenag: Materi Khilafah dan Jihad di Madrasah tidak Dihapus Tapi Direvisi

Kementerian Agama mengatakan hal itu untuk menanamkan nilai keagamaan yang moderat bagi siswa.
Rina Chadijah
2019.12.09
Jakarta
191209_ID_Caliphate_1000.jpg Anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Muslim garis keras yang telah dibubarkan, melakukan demonstrasi menyerukan didirikannya khilafah di Indonesia dalam sebuah unjuk rasa di Malang, Jawa Timur, 19 Oktober 2014.
AFP

Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa materi khilafah dan jihad di madrasah tidak dihapuskan namun direvisi untuk dipastikan bisa menanamkan ajaran yang moderat, menyusul protes sejumlah pihak terhadap keputusan pemerintah membatasi kedua materi tersebut.

“Itu (materi khilafah dan jihad) tidak dihapuskan. Dialihkan dari pelajaran fiqih ke sejarah,” kata Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin kepada wartawan di Jakarta, Senin, 9 Desember 2019.

Ia mengatakan bahwa keputusan tersebut akan ditetapkan pada tahun ajaran 2020.

Sebelumnya Kemenag melakukan revisi materi pengajaran mengenai khilafah dan jihad dalam mata pelajaran agama Islam di madrasah.

Aturan tersebut telah dituangkan dalam surat keputusan Dirjen Pendidikan Islam tentang petunjuk Teknis Penilaian Hasil Belajar pada Madrasah Aliah, Madrasah Tsanawiah, dan Madrasah Ibtidahiah yang dikeluarkan tanggal 4 Desember.

Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan bahwa kedua materi tersebut tetap ada di madrasah, namun kementeriannya akan memastikan bahwa pengajarannya tidak menyimpang menuju propaganda didirikannya khilafah di Indonesia.

"Memang kalau di sejarah Islam ada, tapi pengalaman yang lalu, ya mungkin nggak tahu kesalahannya di mana, yang jadi pengajarnya justru menyimpang ke mana-mana, mengkampanyekan khilafah," katanya kepada wartawan di kantor wakil presiden.

Ia mengatakan baik materi dan pengajarnya harus diawasi. “Materinya juga kita waspadai, dikasih batasannya supaya tidak melebar ke mana-mana, pengajarnya juga," ujarnya.

“Khilafah tidak cocok untuk Indonesia yang merupakan negara bangsa yang sudah memiliki konstitusi,” tambah Kamaruddin, “negara Islam itu ada republik, ada kerajaan, ada yang sekuler seperti Turki dan ada emirat.”

Menurutnya, pelajaran agama berfungsi menanamkan keagamaan yang moderat bagi anak didik.

"Pelajaran agama nanti akan berfungsi instrumental untuk menanamkan, menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan yang moderat, nasionalis, religius. Di satu sisi anak-anak kita rajin ibadah, religiusitasnya tinggi, di sisi lain mereka memiliki pemahaman dan artikulasi keagamaan yang nasionalis," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa Kemenag akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk mengubah materi pelajaran tersebut.

Diprotes

Namun, keputusan Kemenag itu mendapat kecaman dari sejumlah pihak yang menilai revisi itu hanya akan menimbulkan polemik.

“Ini sebuah kekeliruan besar Menteri Agama. Padahal sesama Muslim kita harus menyampaikan ajaran secara utuh. Dengan keputusan ini tentu akan jadi polemik di masyarakat,” ungkap Ismail Yusanto, mantan juru bicara Hizbut Tharir Indonesia (HTI), kepada BeritaBenar.

HTI adalah organisasi yang telah dibubarkan pemerintah karena menyampanyekan khilafah dan dinilai bertentangan dengan Pancasila.

Menurut Ismail, pemerintah melalui Kemenag terlalu berlebihan sebab sejarah kekhalifan yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam selama puluhan tahun selama ini tidak pernah menimbulkan masalah.

“Bayangkan kalau tidak ada semangat jihad, maka tidak akan bisa Indonesia merdeka seperti sekarang. Kalau semangat jihad tidak diajarkan lagi, mau seperti apa generasi muda kita ke depan,” ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku Zulkarnain menilai rencana revisi itu sebagai upaya pengingkaran atas sejarah Islam.

“Apakah itu bukan termasuk memperkosa sejarah? Apakah siswa mesti ditipu hanya karena takut radikalisme?” katanya dalam keterangan tertulisnya.

Penolakan juga disuarakan Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) melalui Ketua Umum DPP PGMI, Syamsuddin, dengan mengatakan penghapusan konten khilafah dan jihad bukan cara terbaik menangkal paham radikal.

"Kalau itu bertentangan dengan Pancasila, karena negara kita ber-Ketuhanan yang Maha Esa, kalau jalur pendidikan agama, nggak boleh dihapuskan dong," ujarnya seperti dikutip dari laman Republika.co.id.

PGMI, tambahnya, mendukung segala langkah pemerintah dalam memberantas radikalisme, tapi harus menggunakan cara-cara dialogis dan persuasif.

"Menurut saya yang harus diperbaiki metode dakwah, dakwah humanis, rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), toleran. Dengan lembut, jangan ditekan seperti itu," ujarnya.

Biarkan tetap ada

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengimbau Kemenag tak perlu menghapus konten ajaran tentang khilafah dan jihad dalam pelajaran di madrasah.

"Khilafah itu merupakan bagian dari khazanah pemikiran politik Islam yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam. Kita tak boleh menghapus fakta sejarah itu," kata politisi Partai Golkar itu.

Fakta sejarah, tambahnya, tetap harus disampaikan kepada peserta didik karena tak dipungkiri sudah menjadi bagian dari sejarah Islam.

Ace menekankan bahwa konsep khilafah tidak tepat dan tidak mungkin diterapkan di Indonesia untuk saat ini karena dalam pendirian bangsa, para pendahulu sepakat Indonesia menganut sistem pemerintahan republik dengan dasar negara Pancasila.

"Argumen ini yang seharusnya ditanamkan kepada para anak didik agar mereka memahami tentang penting memperkuat nilai-nilai kebangsaan sebagai pilihan bernegara kita," katanya.

Sosiolog Musni Umar menilai upaya pemerintah memberantas radikalisme dengan menyasar kurikulum pendidikan agama Islam adalah salah arah karena dikhawatirkan dapat memojokkan umat Islam.

"Ini menakut-nakuti rakyat, upaya memojokkan dan tidak baik. Orang bisa saja berpikir bahwa ini pelemahan umat Islam," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, hal yang tepat dalam mengatasi radikalisme adalah menyelesaikan ketidakadilan ekonomi yang banyak dirasakan masyarakat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.