Aktivis, keluarga minta kapal hanyut di Laut Andaman diselamatkan
2022.12.22
Dhaka dan Teknaf, Bangladesh
Sebanyak 20 orang tewas di atas kapal yang terdampar di laut selama berhari-hari di utara provinsi Aceh. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengatakan kepada BenarNews bahwa kapal tersebut membawa sejumlah pengungsi Rohingya dan mereka memohon kepada pemerintah negara-negara di kawasan Asia untuk menyelamatkan kapal pukat tersebut.
Menurut kerabat dan aktivis yang diwawancarai BenarNews, kapal yang membawa lebih dari 100 Rohingya dan 50 warga negara Bangladesh tersebut telah terapung-apung berhari-hari di Laut Andaman setelah mesinnya rusak. Para penumpangnya menggunakan telepon satelit untuk mencari bantuan.
Seorang migran Bangladesh berusia 18 tahun yang berada di kapal, Mohammad Mizan, menelepon sepupunya di Malaysia, yang diidentifikasi sebagai Tareq pada 16 Desember untuk meminta pertolongan agar ada yang menyelamatkan mereka. Mizan mengutarakan kekhawatirannya kalau dia tidak akan selamat. Tareq merekam percakapan telpon mereka dan meneruskan klip percakapan telpon tersebut ke keluarganya di Teknaf, bagian tenggara Bangladesh. Keluarga Mizan memberikan salinannya rekaman suara itu ke BenarNews.
“Kami tak berdaya dan harus minum air payau selama lima hari. Tolong lakukan sesuatu untuk menyelamatkan kami atau siapkan kulkhani [sholat pemakaman] kami,” kata Mizan, “kami mungkin hanya akan bertahan satu hari lagi karena tidak ada makanan dan air, kecuali air asin di lautan.”
Saat melakukan panggilan telpon itu, Mizan mengatakan kapal yang ditumpanginya berada di dekat wilayah India di Laut Andaman. Gugusan Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berada di barat laut Aceh adalah wilayah India.
“Angkatan Laut India ada di sekitar sini. Tapi mereka tidak menyelamatkan kami” kata Mizan ketika melakukan telpon untuk meminta pertolongan.
Ibu dari Mizan, Nur Bahar, warga Desa Habir Chhara di Teknaf, tak kuasa menahan tangisnya saat mendengarkan suara anaknya.
“Setelah 16 hari, akhirnya saya tahu bahwa anak saya Mizan yang rajin sekolah ternyata terjebak di kapal pukat yang terapung-apung di laut. Kami tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di situ," ujar Nur Bahar kepada BenarNews.
Otoritas setempat tidak yakin kapan dan dimana kapal pukat itu mulai berlayar.
Chris Lewa, direktur Arakan Project, lembaga advokasi hak asasi manusia untuk kaum minoritas Rohingya yang tidak punya kewarganegaraan, mengatakan bahwa bantuan makanan dan air minum sudah dikirim ke kapal tersebut sejak Mizan menelpon minta tolong.
“Kami meyakini bahwa Angkatan Laut India telah memberikan mereka makanan dan air, walau pihak angkatan laut tidak menyelamatkan mereka," ujar Chris kepada BenarNews melalui panggilan telpon dari Thailand pada Kamis malam. “Rekaman suara telpon mereka terdengar lebih baik walau suara mereka terdengar lemah.
“Sangat mengejutkan bahwa mereka tidak diselamatkan."
Dalam email ke BenarNews hari Rabu, Lewa mengatakan pihaknya telah menerima puluhan pesan dari mereka yang terjebak di kapal dan bahwa sebagian besar dari pesan-pesan itu berdurasi kurang dari 30 detik.
“Sungguh memilukan mendengarkan pesan-pesan tersebut karena sebagian besar pesan itu berisi suara laki-laki dan perempuan menangis, dan mereka memanggil seseorang untuk datang dan menyelamatkan mereka. Mereka mengatakan dengan suara terisak dan lemah bahwa mereka kehabisan air dan makanan,” katanya melalui email.
“Dua atau tiga hari yang lalu, seorang pria mengatakan bahwa tiga perempuan melompat ke laut karena tidak tahan lagi. Kemarin, kapten mengatakan bahwa 16 orang sudah meninggal.”
Chris memperkirakan bahwa jumlah korban tewas telah naik menjadi 20 sejak kejadian itu.
“Realitasnya adalah kita tidak tahu apa-apa sama sekali," ujarnya.
Sayid Alam, presiden Asosiasi Rohingya Thailand, khawatir bahwa jumlah korban meninggal bisa lebih banyak.
Dia mengatakan dia meyakini ada dua kapal yang terdampar di laut. Awal bulan ini, Angkatan Laut Sri Lanka menyelamatkan satu kapal, dan di lokasi lain, 154 orang Rohingya diselamatkan dari kapal yang akan tenggelam di Laut Andaman Sea, mereka lalu diserahkan ke Angkatan Laut Myanmar.
“Kami tidak dapat kabar apapun dari salah satu mereka. Ada kapal lain yang membawa sekitar 160 orang hidup dan 28 orang sudah meninggal, terapung 380 km (236 mil) dari India dan 80 km (50 mil) dari Indonesia,” kata Sayid kepada BenarNews, Kamis.
Laporan lain mengatakan kapal itu terapung-apung antara Malaysia dan Indonesia.
Lilianne Fan, salah satu pendiri dan direktur internasional organisasi kemanusiaan Geutanyoe Foundation, mengatakan kapal itu tampaknya berada di wilayah administrasi khusus Malaysia “lepas pantai Aceh utara.”
“Kapalnya masih belum diselamatkan,” ujar Lilianne kepada BenarNews. "Kami belum memiliki cara untuk memverifikasi jumlah pastinya, tetapi beberapa kerabat penumpang telah melaporkan ada sekitar 16 orang telah meninggal sejauh ini."
Selain itu, penduduk setempat di Ayeyarwady, sebuah wilayah di sebelah barat daya Myanmar, mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA), kantor berita yang berafiliasi dengan BenarNews, bahwa pasukan junta Burma pada hari Selasa menangkap 112 Rohingya di dekat sebuah pulau di perairan kota Bogale di wilayah Ayeyarwady.
Ada delapan anak, 47 perempuan dan 57 pria di dua perahu motor. Mereka sedang menunggu perahu lain untuk membawa mereka ke Bogale ketika mereka ditangkap, menurut laporan RFA.
Sementara itu, beberapa orang Rohingya yang ada di kapal terdampar di utara Aceh mulai kehilangan kesabarannya.
Seorang pria di kapal itu meninggalkan pesan dengan marah, dan meminta Proyek Arakan untuk tidak menelepon lagi atau meminta koordinat GPS “karena Anda tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan kami,” ucap pria tersebut seperti yang dikutip oleh Lewa.
“Kami berharap pemerintah Malaysia meminta pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan orang-orang yang menderita ini. Pertanyaannya, ke mana mereka bisa dibawa – saya pikir mereka bisa dibawa ke Malaysia dengan bantuan Indonesia,” kata Lewa.
Desakan untuk kerjasama kawasan
Awal pekan ini, sejumlah anggota parlemen di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) mengeluarkan pernyataan menuntut kesepuluh negara anggota ASEAN dan negara-negara tetangga di kawasan ini untuk mengerahkan operasi pencarian dan penyelamatan berdasarkan kemanusiaan.
“Tidak masuk akal bila terus ditunda. Pengabaian pengungsi Rohingya yang terdampar di laut bukanlah hal baru, karena telah berlangsung bertahun-tahun dan telah mengakibatkan ratusan, bahkan ribuan, kematian yang sebenarnya dapat dengan mudah dicegah jika negara-negara di kawasan ini memenuhi prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling dasar," ujar ketua APHR Charles Santiago.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab soal pengungsi, UNHCR, juga mengeluarkan pernyataan serupa pada 16 Desember.
UNHCR melaporkan pada 2 Desember bahwa hampir 2000 orang Rohingya yang telah berlayar dari Bangladesh dan Myanmar di 11 bulan pertama 2022 – dari 287 in 2021. UNHCR memperkirakan dari jumlah tersebut, 120 orang meninggal dunia atau hilang di laut.
Komisioner Bantuan dan Repatriasi Pengungsi (RRRC) Mohammad Mizanur Rahman di Bangladesh mengatakan dia tahu ada laporan tentang kapal yang terdampar itu.
“Tapi kami tidak memiliki bukti bahwa mereka tinggal di kamp pengungsi Cox's Bazar. Setahu kami, Rohingya dari Myanmar menyeberang ke Malaysia melalui jalur laut,” ujarnya kepada BenarNews, Kamis.
Ada sekitar 1 juta pengungsi Rohingya yang ditampung di kamp-kamp pengungsian di distrik bagian tenggara Bangladesh di sepanjang perbatasan dengan negara bagian Rakhine, Myanmar. Jumlah ini termasuk sekitar 740.000 orang yang menyeberang ke Bangladesh setelah militer Burma melancarkan serangan brutal di negara asal mereka pada Agustus 2017.
Muhammed Jubair, penjabat ketua Arakan Rohingya Society for Peace and Humanity dan pemimpin komunitas pengungsi, menantang pernyataan Mizanur Rahman.
“Saya dapat kabar bahwa sejumlah orang Rohingya dari beberapa kamp pengungsi di Cox’s Bazar ada di kapal pukat yang terdampar di laut itu. Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa ada di situ," ujarnya kepada BenarNews.
Nisha David di Kuala Lumpur dan Nontarat Phaicharoen di Bangkok berkontribusi dalam laporan ini.