Pegiat lingkungan kritik Muhammadiyah terima tawaran kelola tambang
2024.07.29
Jakarta
Sejumlah organisasi pegiat lingkungan pada Senin mengkritik keputusan Muhammadiyah untuk menerima tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah, mengingatkan bahwa keputusan tersebut akan menjerumuskan organisasi masyarakat keagamaan kepada bisnis yang merusak lingkungan.
Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore mengatakan kebijakan memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan telah menyalahi undang-undang mineral dan batu bara yang mengharuskan izin konsesi diberikan melalui lelang.
“Tapi sama (Presiden) Jokowi langsung dikasih ke organisasi masyarakat. Prosesnya dipotong dengan menggunakan PP (peraturan pemerintah),” kata Fanny kepada BenarNews, Senin (29/7).
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani PP nomor 25 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada 31 Mei.
Muhammadiyah, organisasi masyarakat Islam terbesar kedua di Indonesia yang berfokus pada bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, telah memutuskan menerima tawaran pengelolaan tambang dari pemerintah Indonesia setelah melakukan kajian selama berbulan-bulan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan organisasinya berkomitmen memperkuat dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang seusai ajaran Islam, konstitusi, dan profesional yang meminimalkan kerusakan lingkungan.
“Rapat pleno tanggal 13 Juli di kantor Jakarta memutuskan bahwa Muhammadiyah siap mengelola usaha pertambangan,” ucap Mu’ti dalam konferensi pers di Yogyakarta, Minggu (28/7).
Menurut Mu’ti, PP Muhammadiyah menerima tawaran pengelolaan tambang karena kekayaan alam merupakan anugerah Allah bagi manusia untuk dikelola sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidup material dengan tetap tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan pemerintah akan menyiapkan lahan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) paling bagus untuk Muhammadiyah tanpa merinci lebih detail lokasinya.
PKP2B merupakan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan batu bara.
"Insya Allah kita akan memberikan dari eks PKP2B yang paling bagus di luar daripada KPC (PT Kaltim Prima Coal)," ungkapnya saat konferensi pers di Jakarta pada Senin.
Sebelumnya, pemerintah telah memberikan lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk milik Bakrie Grup, kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang pada Juni lalu memutuskan menerima tawaran tambang dari pemerintah Indonesia.
Pemerintah menerbitkan PP nomor 25 tersebut untuk memberikan kewenangan dan kesempatan bagi organisasi masyarakat keagamaan yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan ijin usaha pertambangan mineral dan batu bara
PP tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan pemerintah pada 2022 terkait pencabutan izin operasi atas jutaan hektar lahan yang awalnya ditujukan kepada perusahaan-perusahaan tambang, namun tidak dikembangkan selama bertahun-tahun atau disalahgunakan.
Pemerintah mengatakan pengalihan pengelolaan tambang kepada organisasi masyarakat keagamaan adalah sebagai penghargaan kepada mereka atas jasa besar dalam kemerdekaan Indonesia, kata Bahlil.
Menjerumuskan organisasi masyarakat
Greenpeace mengatakan keputusan Pengurus Pusat Muhammadiyah menerima tawaran pengelolaan tambang menjerumuskan organisasi masyarakat keagamaan pada bisnis ekstraktif yang kotor dan memiliki daya rusak tinggi.
“Tak hanya itu, hal ini juga akan menghambat upaya transisi energi di Indonesia,” ujar Rahma Shofiana, Project Lead Ummah for Earth Greenpeace Indonesia kepada BenarNews.
“Memberikan izin pengelolaan tambang untuk organisasi masyarakat keagamaan juga merupakan suatu bentuk upaya kooptasi dan peredaman suara-suara kritis dari masyarakat termasuk organisasi masyarakat keagamaan.”
Menurut Rahma, tidak ada istilah tambang berkelanjutan karena karakter industri ekstraktif seperti tambang adalah destruktif.
Dalam ajaran Islam, ucap Rahma, ada kaidah dalam hukum Islam yakni, dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih atau mencegah kerusakan harus diutamakan daripada meraih kebaikan.
“Ketika operasi tambang yang sudah ada jelas merusak ekosistem, mendatangkan bencana iklim, dan konflik lahan akibat tambang tak pernah selesai, apa yang bisa menjamin kali ini akan berbeda dengan praktik yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan?” tanyanya.
Dia menuntut organisasi masyarakat keagamaan merenungkan kembali nilai-nilai keagamaan mereka dan komitmen terhadap kepedulian lingkungan dan kemanusiaan.
“Terlibat dalam konsesi tambang justru membuka peluang mudharat (kerusakan) yang lebih besar.”
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan bahwa Muhammadiyah telah bergerak mundur dengan menerima tawaran pengelolaan tambang.
“Pemberian izin tambang untuk organisasi masyarakat keagamaan berpotensi lebih besar memberikan mudharat ketimbang manfaat. Apalagi yang akan dikelola adalah tambang batu bara,” ujar Parid kepada BenarNews.
Berdasarkan catatan WALHI, ujar Parid, Secara global, per satu giga watt energi yang berasal dari batu bara menghasilkan emisi sebesar 820 ton CO2. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan minyak dan energi lainnya.
Dalam konteks krisis iklim, lanjut Parid, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas) mencatat Indonesia telah mengalami kerugian sebesar Rp544 triliun sepanjang 2020-2024.
“Dengan hitung-hitungan kehilangan tersebut, apakah keuntungan dari pertambangan batu bara mampu mengganti dan memulihkan kerusakan dan krisis yang berlapis-lapis tersebut? Jawabannya tentu tidak,” ucap Parid.
Jadi alat politik
Juru bicara Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Al Farhat Kasman mengatakan sikap Muhammadiyah yang menerima pemberian konsesi dari pemerintah ini semakin mempertegas bahwa organisasi masyarakat keagamaan juga telah menjadi mainan politik Presiden Jokowi
“Apalagi setelah dilantiknya Prabowo, ada begitu banyak proyek yang dianggap strategis akan dikebut, seperti IKN, pertambangan di wilayah yang baru, hingga proyek tambang panas bumi,” ujar Al Farhat kepada BenarNews.
Menurut dia, selama ini ada begitu banyak dampak dari daya rusak pertambangan yang diderita oleh warga, termasuk hilangnya ruang hidup akibat perampasan lahan, tercemarnya sumber air, hingga lubang bekas galian tambang yang dibiarkan menganga dan menelan ratusan korban jiwa.
“Misalnya banjir bandang yang terjadi beberapa hari yang lalu, yang menenggelamkan belasan desa di Halmahera, Maluku Utara,” papar dia.
Laporan terbaru JATAM terkait industri keruk nikel di Halmahera, Maluku Utara, menyebutkan berbagai potensi bencana yang dipicu dari aktivitas tambang, khususnya tambang nikel yang telah menggusur hutan dan ruang hidup warga Halmahera.
Laporan ini menyebutkan, wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227 ribu hektar telah dikepung 23 izin nikel, 4 izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Adapun total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95 ribu hektar atau sekitar 42% dari luas Halmahera Tengah dengan luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21 ribu hektar, yang sebagian besar berada di wilayah hutan dan merupakan hulu sungai besar di Halmahera.
“Contoh ini hanya sebagian kecil dari daya rusak pertambangan, masih banyak lagi cerita derita warga akibat industri kotor dan mematikan ini,” tukas Al Farhat.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada Senin ini menyatakan bahwa Indonesia menyumbang hampir 60 persen dari hilangnya hutan oleh pertambangan di 26 negara yang diteliti.
Laporan tim ilmuwan yang mengukur dampak pertambangan industri terhadap hilangnya hutan tropis tersebut menemukan empat negara yang dinilai paling bersalah atas deforestasi ini, yaitu Brasil, Indonesia, Ghana, dan Suriname.