Aktivis Desak Polisi Ungkap Pelaku Teror di Kediaman Keluarga Aktivis Pro-Papua Veronica Koman
2021.11.08
Jakarta
Kelompok hak asasi manusia pada Senin mendesak polisi menangkap pelaku teror ke kediaman keluarga aktivis Veronica Koman, yang diduga polisi berkaitan dengan advokasinya terhadap pegiat pro-kemerdekaan di Papua.
Pada Minggu (7/11), dua benda yang terbungkus kantong hijau dan kuning meledak di garasi rumah kediaman orang tua Veronica di Jakarta. Polisi mengamankan barang bukti berupa cat merah, serpihan kertas, plastik, serta kabel dan baterai dari kasus ledakan itu.
Peristiwa serupa juga terjadi pada 24 Oktober 2021, ketika dua orang dengan sepeda motor menggantungkan sebuah bungkusan yang tidak lama terbakar di pagar rumah, demikian menurut polisi.
Veronica sendiri sudah tinggal di Australia sebelum dia dinyatakan sebagai buron dalam kasus demo anti-pemerintah oleh mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019. Namun demikian selama dua tahun ini keluarganya kerap didatangi orang tak dikenal dan foto kediamannya beredar di media sosial.
Tidak ada korban yang terluka dari serangkaian peristiwa tersebut, namun Koalisi Masyarakat Sipil sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengurus advokasi hak sipil mengatakan dua insiden terakhir meninggalkan trauma kepada kedua orang tua Veronica.
“Rentetan serangan dan teror terhadap keluarga Veronica Koman menguatkan temuan bahwa Indonesia sedang menghadapi fenomena regresi demokrasi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah serangan terhadap aktivis dan pembela hak asasi manusia,” tulis pernyataan Koalisi.
Aswin Siregar, Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus 88 Polri, mengatakan kepolisian masih menyelidiki dugaan teror dan jenis peledak di kediaman rumah orang tua Veronica.
“Belum dapat disimpulkan bahwa benda yang mengeluarkan suara ledakan itu adalah bom, sebagaimana bahan-bahan bom yang biasa digunakan kelompok teror,” kata Aswin melalui pesan singkat.
Dalam pemeriksaan awal, aparat turut menemukan pesan bertuliskan berbagai aktivitas Veronica yang dianggap mendukung kelompok separatis bersenjata di Papua.
“(Surat) Diperkirakan merupakan bentuk ancaman terhadap penghuni rumah terkait tindakan-tindakan Veronica Koman,” kata Aswin. Lima orang telah diperiksa sebagai saksi dalam insiden ini.
Media menyebut secarik kertas yang ditemukan di rumah keluarga Veronica dari kelompok yang menamakan diri Laskar Militan Pembela Tanah Air berisi pemintaan penangkapan terhadapnya.
"Warning!!! If the police and aparat dalam maupun luar negeri tidak bisa menangkap veronika kuman@hero pecundang dan pengecut, kami terpanggil bumi hanguskan dimanapun bersembunyi maupun gerombolan pelindungmu," demikian bunyi surat ancaman itu, menurut Detik.com.
Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo menduga pelaku pelemparan benda yang diduga petasan berjumlah dua orang yang menaiki sepeda motor.
"Sementara dugaan kuat adalah petasan," ucap Ady seperti dikutip CNN Indonesia.
Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menduga peristiwa yang dialami keluarga Veronica sudah direncanakan dengan matang.
“Proses terencana itu juga tampak terlihat dari adanya persiapan atas teror berupa bom dengan daya ledak rendah ke keluarga Veronica,” kata Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy.
“Kami mendorong aparat kepolisian untuk segera dan juga mengungkapkan kasus ini. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan nterhadap pembela HAM,” kata Andi, menambahkan.
BenarNews telah mencoba menghubungi Veronica untuk mengonfirmasi serangan teror tetapi tidak mendapat respons. Adapun Veronica saat ini tengah mengasingkan diri ke Australia seiring penetapan status tersangka terhadap dirinya atas kasus penyebaran berita bohong terkait demo mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 2019.
Perlakuan kasar dan rasis terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur oleh personil keamanan berbuntut demo besar-besaran di Papua dan Papua Barat yang kerap diwarnai kerusuhan dan pembakaran antara Agutus-September 2019.
Tweet Veronica yang melaporkan kejadian di Surabaya dianggap sebagai provokasi yang memicu kerusuhan.
Intimidasi dan ancaman pemerkosaan hingga pembunuhan sering diterimanya di media sosial pasca-penetapan sebagai buron, kata Veronica dalam wawancara dengan BenarNews, tiga tahun silam. Sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa, Veronica mengaku juga menjadi korban pelecehan rasis dan misoginisis di dunia maya.
Pada Agustus tahun lalu, Kementerian Keuangan meminta Veronica untuk mengembalikan uang beasiswa senilai lebih dari Rp773 juta yang diberikan negara untuk dirinya menempuh pendidikan pascasarjana di Australia.
Kementerian menuding Veronica tidak patuh pada ketentuan karena tidak kembali dan mengabdi di Indonesia pasca-kelulusannya.
Sementara, Veronica mengatakan dirinya telah kembali ke Indonesia setelah dinyatakan lulus dari program Master of Laws di Australian National University pada September 2018. Veronica berangkat ke Australia pada Juli 2019, untuk menghadiri wisudanya tetapi memutuskan bertahan karena sebulan setelahnya, Kepolisian Daerah Jawa Timur memasukkan dirinya dalam daftar pencarian orang (DPO).
“Saya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatan saya,” kata Veronica ketika itu.
Kriminalisasi aktivis
Komisi Nasional HAM mencatat terdapat sedikitnya 206 laporan intimidasi yang diterima aktivis sepanjang periode 2015-2019. Jumlah itu meliputi 92 laporan untuk tindakan kriminalisasi dengan pelaku dominannya adalah aparat kepolisian.
Sementara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat pada 2019 terdapat 1.114 laporan penangkapan secara sewenang-wenang dan melonjak lebih dari dua kali lipat pada 2020.
Penangkapan dan kriminalisasi kepada para aktivis turut menjadi salah satu indikator menurunnya kepuasan masyarakat terhadap jalannya demokrasi di Indonesia, sebut survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada September 2021. Survei menemukan ketidakpuasan publik pada demokrasi per April 2021 sebesar 32,1 persen, dan naik menjadi 44,1 persen pada lima bulan kemudian.
“Peristiwa ini, secara umum, menunjukkan makin maraknya penggunaan praktik teror bagi mereka yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah di masa kekuasaan Presiden Joko Widodo,” tulis Yayasan Kurawal, lembaga nirlaba yang berfokus pada nilai demokrasi di Indonesia dan Asia Tenggara.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, turut mendesak aparat polisi untuk menjamin keamanan dan keselamatan terhadap individu-individu yang tidak memiliki keterkaitan dengan tindakan yang dianggap melawan hukum.
“Kami ingin mengingatkan bahwa negara wajib untuk melindungi setiap orang yang ada di wilayahnya, apalagi orang tersebut misalnya tidak punya hubungan sama sekali dengan perbuatan, katakanlah yang dianggap melanggar hukum,” kata Usman dalam keterangan pers, Senin.