Dinilai batasi kebebasan pers, revisi UU Penyiaran tuai kontroversi
2024.05.13
Jakarta
Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR telah mengundang kritik dari para jurnalis dan pakar media, yang memperingatkan bahwa draft aturan tersebut dapat menghambat kebebasan pers dan menyensor pemberitaan kritis.
Ketentuan kontroversial yang menjadi pusat perdebatan adalah larangan siaran eksklusif jurnalisme investigatif, sebuah tindakan yang menurut para kritikus dapat membungkam pers, ungkap Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Senin (13/5).
RUU ini juga memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) - sebuah “lembaga negara independen” - dalam menangani sengketa jurnalistik, sehingga berpotensi melemahkan peran independen Dewan Pers, kata Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana.
Meskipun anggota DPR mengklaim tidak ada niat untuk mengekang kebebasan pers, para kritikus tetap skeptis pada proses penggodokan RUU tersebut yang telah dibahas sejak 2012 itu.
Mereka menunjuk pada potensi dampak RUU tersebut terhadap platform digital, dan menyatakan bahwa aturan hukum tersebut dapat memperluas sensor terhadap media online dan konten creator.
Pasal kontroversi lainnya yakni Pasal 50 B ayat (2) yang isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Anggota DPR TB Hasanuddin mengatakan banyak masukan terkait produk jurnalistik investigasi, salah satunya dikhawatirkan tayangan tersebut bisa mempengaruhi opini publik dan proses hukum suatu kasus yang ditangani aparat penegak hukum.
“Jangan sampai karya jurnalistik itu menyangkut materi penyidikan. Materi penyidikan oleh polisi kan dirahasiakan,” ujar Hasanuddin kepada BenarNews, Senin.
“Kalau ini (berita) tiba-tiba (entah) dari mana sumbernya, kan bisa saja, namanya juga investigasi, lalu dibongkar. Itu kan tidak baik. Sehingga harus benar-benar KPI itu membuat aturan menyangkut hal ini dan dikontrol,” kata dia.
Namun, tambah Hasanuddin, dirinya pada dasarnya juga tidak setuju jika karya jurnalistik investigasi dilarang.
“Saya pribadi minta ada aturan atau parameter-parameter yang jelas karya jurnalistik investigasi dibuat. Apa saja yang dilarang dan tidak boleh dilarang. Tidak semua investigasi itu menabrak,” tegasnya.
Terkait hasil investigasi jurnalistik yang bisa tidak boleh disiarkan, lanjut dia, hal ini menjadi wewenang KPI, termasuk jika ada sengketa siaran.
Menurut Hasanuddin, KPI memiliki kewenangan untuk mengontrol segala bentuk produk penyiaran termasuk pada ranah digital, seperti YouTube.
“Tapi kalau menyangkut jurnalisnya, itu ada di Dewan Pers,” tukas Hasanuddin, yang membantah jika KPI diberi kewenangan lebih dalam RUU ini.
“Tidak ada yang harus dipertentangkan. Dengan catatan aturan di KPI harus sama-sama dikontrol. Jadi kita tidak mengekang demokrasi, kata anggota komisi I DPR tersebut seraya dirinya tidak bisa menentukan target kapan RUU ini harus selesai.
Investigasi sebagai ruh jurnalisme
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menilai pasal yang menyebut kewenangan KPI menyelesaikan sengketa jurnalistik perlu ditinjau ulang.
“Padahal sesuai UU 40, sengketa jurnalistik diselesaikan di Dewan Pers,” ujar Yadi kepada BenarNews.
Yudi menyatakan tidak setuju jika KPI juga memasuki ranah tayangan karya jurnalistik investigasi, yang merupakan ruh dari jurnalisme itu sendiri.
“Itu mahkota jurnalisme. Yang memberikan warna dan ruh jurnalistik kan investigasi karena menemukan fakta-fakta baru penelusuran di lapangan. Selesai pers, kalau itu dilarang,” tegas Yadi yang menyebut DPR tidak pernah melibatkan Dewan Pers untuk membahas RUU ini.
Terkait kekhawatiran jika produk jurnalistik investigasi bisa mempengaruhi opini publik dan hasil penyelidikan suatu kasus, Sekretaris Jenderal AJI Bayu Wardhana mengatakan bahwa seharusnya penyidik independen.
“Kalau penyidiknya terpengaruh opini publik berarti dia tidak profesional. Kenapa kami yang disalahkan?” tukas Bayu kepada BenarNews, menambahkan bahwa hasil jurnalistik investigasi itu justru terjadi di awal proses hukum.
“Jarang sekali proses investigasi itu di tengah-tengah hukum. Misalnya kasus donasi ACT. Laporan jurnalistik membuka investigasi itu, bahwa dananya diselewengkan. Baru setelah itu ada proses hukum. Dia tidak di tengah-tengah penyidikan,” ujar Bayu.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya potensi tumpang tindih tugas dan kewenangan atau gesekan dengan amanat UU Pers, Bayu mengusulkan agar pasal di RUU tersebut dihapus saja atau dikembalikan ke pasal semula”.
“Masa kerja DPR tinggal sebentar lagi. Sementara RUU ini masih draf. Normalnya sebuah UU (proses pengesahannya) sudah tidak mungkin bisa Oktober,” ujar Bayu.
Berbeda dengan lembaga legislatif, Kejaksaan Agung menilai produk jurnalistik investigasi justru membantu penegakan hukum.
“Justru kami dengan media saling mendukung sebagai pengawasan atas pembangunan proyek-proyek pemerintah dan juga mengawasi proses penegakan hukum,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana kepada BenarNews.
“Dengan adanya jurnalisme investigasi sangat membantu kita mulai dari pengungkapan perkara sampai pada proses pembuktian, termasuk juga asset recovery.”
Sejak awal bermasalah
Sementara itu Bayu menilai RUU Penyiaran tak hanya bermasalah dalam mengatur aspek jurnalisme, namun juga hak asasi manusia (HAM) serta independensi KPI.
Misalnya, tukas Bayu, untuk menjadi anggota KPI dipersyaratkan tidak memiliki orientasi seksual menyimpang. Hal ini tercantum dalam Pasal 10 (d) RUU Penyiaran.
Lalu disebutkan juga tayangan tidak boleh mencerminkan perilaku homoseksual, lesbian, biseksual, dan transgender, yang dicantumkan di Pasal 50B ayat 2(g).
Pasal lainnya menyebut KPI membuat pedoman siaran dengan berkonsultasi ke DPR. “KPI lembaga independen. Seharusnya tidak perlu berkonsultasi ke DPR,” ujar Bayu.
“RUU ini banyak bermasalah; dari jurnalistik bermasalah, HAM bermasalah, dari independensi media juga bermasalah.”
Sebenarnya, tambah dia, proses pembahasan RUU itu sangat tertutup, di mana draf aturan tersebut tidak pernah dibuka oleh DPR ke masyarakat.
“Meskipun disebutkan itu masih draf. Pada periode DPR sebelumnya, draf selalu dibuka. Itu agak aneh,” ujar Bayu.