Lembaga Kebebasan Beragama AS Tempatkan Indonesia, Malaysia, di Daftar Pantauan Khusus
2020.04.30
Washington
Kelompok advokasi pembela kebebasan beragama di Amerika telah menempatkan Indonesia dan Malaysia dalam daftar pengawasan khusus karena mereka prihatin akan perlakuan kedua negara itu terhadap kelompok minoritas. Mereka pun merekomendasikan agar Departemen Luar Negeri AS melakukan hal yang sama.
Komisi Amerika Serikat tentang Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), dalam laporan tahunannya tahun 2020, menyebutkan bahwa dua negara Asia Tenggara itu termasuk di antara 15 negara yang dimasukkan dalam daftar tersebut.
"Kami tidak lagi menggunakan kategori 'Tingkat 2' seperti yang selalu dilakukan dalam laporan-laporan sebelumnya, Laporan Tahunan 2020 ini juga merekomendasikan 15 negara untuk ditempatkan di Daftar Pantauan Khusus Departemen Luar Negeri untuk pelanggaran berat," ujar komisi itu ketika merilis laporannya minggu ini.
13 negara lainnya adalah Kuba, Nikaragua, Sudan, dan Uzbekistan - yang sudah ditambahkan oleh Departemen Luar Negeri ke Daftar Pantauan Khusus sejak Desember lalu - diikuti oleh Afghanistan, Aljazair, Azerbaijan, Bahrain, Republik Afrika Tengah, Mesir, Irak, Kazakhstan, dan Turki.
Di bagian laporan yang membahas tentang Indonesia dan Malaysia, laporan tersebut merekomendasikan agar Departemen Luar Negeri AS menempatkan kedua negara tersebut dalam "Daftar Pemantauan Khusus karena terlibat dalam atau mentolerir pelanggaran berat kebebasan beragama, seperti yang digariskan dalam Undang-Undang Kebebasan Beragama Internasional (IRFA)."
Pejabat pemerintah Indonesia di Jakarta tidak menanggapi permintaan komentar dari BenarNews pada hari Rabu, sehari setelah laporan itu keluar. Sementara di Kuala Lumpur, pemerintah Malaysia mengatakan kepada BenarNews bahwa mereka perlu meninjau laporan itu sebelum Menteri Urusan Agama Zulkifli Mohamad Al-Bakri dapat mengomentarinya.
USCIRF adalah komisi pemerintah federal AS yang bipartisan dan independen yang didirikan sesuai Undang-Undang Kebebasan Beragama Internasional 1998. Komisi tersebut memantau hak universal untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan di luar negeri dan membuat rekomendasi kebijakan kepada presiden, menteri luar negeri, dan Kongres.
"Kondisi kebebasan beragama di Indonesia selama 2019 umumnya cenderung negatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya," demikian dinyatakan dalam laporan itu tentang Indonesia, yang merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.
“Terdapat jumlah insiden intoleransi agama yang paling tinggi" di Jawa Timur dan Jawa Barat, yang merupakan provinsi-provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk paling padat, kata laporan itu.
Komisi tersebut mencantumkan “diskriminasi, ucapan kebencian, tindakan kekerasan dan penolakan izin untuk membangun rumah ibadat bagi komunitas agama minoritas” sebagai jenis dan contoh intoleransi, berdasarkan laporan dari LSM-LSM setempat.
Beberapa kejadian khusus di Indonesia diantaranya adalah kasus seorang wanita beragama Katolik yang dituduh melakukan penistaan agama setelah dia membawa anjingnya masuk ke dalam masjid. Laporan itu menyebutkan bahwa dia dibebaskan pada Februari 2020 setelah panel yang beranggotakan tiga hakim memutuskan bahwa dia menderita skizofrenia paranoid.
Kasus kedua adalah yang melibatkan seorang wanita beragama Buddha yang dihukum karena penistaan agama pada tahun 2018 setelah ia meminta sebuah masjid di dekat rumahnya untuk menurunkan volume pengeras suara pada saat adzan. USCIRF mencatat bahwa Mahkamah Agung Indonesia menolak bandingnya pada bulan April 2019, dan menambahkan bahwa ia dibebaskan bersyarat satu bulan kemudian.
Laporan itu juga mengatakan ada kelompok Muslim garis keras yang mengancam umat Buddha yang sedang membangun vihara dan umat Kristiani yang ingin membangun sebuah gereja Pantekosta.
Laporan itu menyebutkan adanya hubungan antara politisi dengan upaya untuk menekan kebebasan beragama. Politisi yang dimaksud dalam laporan itu adalah Prabowo Subianto, yang kalah dalam pemilihan presiden melawan Joko “Jokowi” Widodo tahun lalu. Laporan itu mengatakan bahwa Prabowo "berusaha" untuk memobilisasi sekelompok pendukung Muslim garis keras yang memimpin upaya untuk menggulingkan gubernur Jakarta keturunan etnis Tionghoa Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama pada 2017.
Pemerintahan Jokowi pun tidak lepas begitu saja tanpa cela.
Setelah terpilih kembali sebagai presiden, “ada laporan bahwa pemerintah berencana untuk memberlakukan pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat untuk mengidentifikasi para ekstremis agama dalam birokrasi dan mengeluarkan mereka. Di bulan November, pemerintah meluncurkan situs web yang memungkinkan anggota masyarakat untuk melaporkan dugaan 'konten radikal' yang dapat dibagikan oleh pegawai negeri secara online,” demikian dinyatakan dalam laporan itu.
Menurut komisi tersebut, kelompok-kelompok minoritas Muslim, termasuk Syiah dan Ahmadiyah, juga mengalami kekerasan dan pelecehan di tahun 2019. Laporan itu menyebutkan bahwa “kelompok semi-pemerintah Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan kelompok-kelompok ini “menyimpang” dan sesat dalam ajaran Islam.”
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan diskriminasi semacam itu terus berlanjut di tengah pandemi coronavirus.
Menurut Usman, Masjid Al-Aqsa milik komunitas Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada awal bulan ini ditutup oleh pemerintah daerah dengan menggunakan alasan pemberlakuan jaga jarak sosial untuk mencegah penularan COVID-19.
"Tindakan diskriminatif ini diambil dengan alasan untuk mencegah perlawanan yang lebih besar oleh warga setempat terhadap kelompok Ahmadiyah, bukan karena alasan kesehatan masyarakat," kata Usman kepada BenarNews.
Bonar Tigor Naipospos dari LSM advokat hak asasi manusia di Setara Institute, mendesak pemerintah untuk menghapuskan undang-undang penistaan agama dan merevisi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
"Kami menganggap bahwa dalam masyarakat yang menghormati hak kebebasan, peraturan tentang penistaan agama harus dihapuskan dan diganti dengan peraturan tentang menghasut kebencian dan diskriminasi berdasarkan agama," kata Bonar kepada BenarNews.
Kekhawatiran di Malaysia
Dalam laporannya mengenai Malaysia, USCIRF mengatakan bahwa kondisi untuk beribadah di Malaysia terus menunjukkan adanya tren negatif dari tahun-tahun sebelumnya.
"Kondisi untuk kelompok agama minoritas dan juga bagi mayoritas Muslim Sunni mengalami stagnasi atau, dalam beberapa kasus, memburuk," katanya.
Bab tentang Malaysia dalam laporan itu berfokus pada pihak berwenang yang mengeluarkan peringatan terhadap sekte "menyimpang" dan bagaimana mereka menjadi ancaman kepada Islam.
"Memasangkan etnis Melayu dengan agama Islam membuat terus adanya pelanggaran hak asasi bagi individual beretnis Melayu,” kata laporan itu. "Secara historis, pengadilan syariah telah mendeklarasikan beberapa kelompok minoritas Muslim sebagai non-Muslim, yang secara terus-menerus menciptakan wilayah abu-abu bagi orang-orang Melayu yang menjadi anggota sekte Islam yang secara resmi dinyatakan sebagai 'menyimpang'."
Di bulan Agustus 2019, dewan legislatif negara bagian Sabah mengamandemen undang-undang pidana syariah tahun 1995 yang mendeklarasikan Islam Sunni sebagai agama resmi dan mengkriminalisasi interpretasi alternatifnya.
Kamil Zuhairi Abdul Azizi, ketua Syiah Malaysia, mengatakan kelompok Muslim Syiah yang dipimpimnya telah didiskriminasi selama satu dekade.
"Kami berhak untuk mempraktikkan bentuk Islam yang kami yakini bukan penyimpangan dari bentuk Islam ortodoks, namun kami pun tetap dilarang untuk menjalankan hak kami untuk beribadah di rumah pribadi, hak kami untuk menikah dibatasi dan hak untuk kebebasan berbicara dan demonstrasi damai juga dihambat,” ujarnya kepada BenarNews.
"Kami dihina terus menerus dalam khotbah Jumat, dan secara terang-terangan difitnah di masjid oleh tokoh-tokoh agama, yang secara terbuka mengancam keamanan kami di media tanpa ada konsekuensi terhadap mereka,” katanya.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa kelompok-kelompok non-Muslim - khususnya Hindu, Buddha dan Kristen - melaporkan bahwa mereka "merasakan ketegangan dan permusuhan sosial yang meningkat.”
USCIRF menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pendirian rumah ibadah kelompok agama minoritas diatur, ratusan kuil Hindu telah dihancurkan dan kuil Buddha tidak bisa dibangun lebih tinggi dari masjid setempat.
Namun, USCIRF memuji upaya pemerintah Malaysia yang telah membentuk satuan tugas khusus pada Juni 2019 untuk menyelidiki kasus penghilangan paksa dua pemimpin agama minoritas.
"Walaupu begitu, keberadaan pastor Kristen Raymond Koh dan aktivis sosial yang tekah bergabung dengan kelompok Syiah Amri Che Mat, serta Pastor Joshua Hilmy dan istrinya, tetap tidak diketahui hingga akhir periode laporan ini,” kata komisi itu.
Daftar pemantauan khusus adalah hal yang baru dalam laporan tahun 2020 ini. Daftar itu menggantikan sistem daftar Tier 2 atau Tingkat 2 dalam laporan-laporan sebelumnya. Pada 2019, USCIRF menyebutkan bahwa Indonesia telah berada di daftar Tier 2 sejak 2004 dan Malaysia sejak 2014.
China, Myanmar, India, Pakistan, Korea Utara, dan Vietnam termasuk dalam daftar pelanggar terburuk dan dianggap sebagai negara yang kondisinya sangat memprihatinkan. Pada tahun-tahun sebelumnya daftar itu disebut sebagai Tier 1.
Pejabat USCIRF tidak menjawab ketika BenarNews mencoba mengontak mereka pada hari Rabu untuk mendapatkan tanggapan atas laporan ini.
Ronna Nirmala di Jakarta dan Hadi Azmi di Kuala Lumpur berkontribusi pada laporan ini.