Ketua Umum PBNU Terpilih: NU Harus Sembuhkan Luka Masyarakat Akibat Politik Identitas
2022.01.07
Jakarta
Yahya Cholil Staquf tak ingin Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam dengan pengikut terbesar di Indonesia, ikut terseret dalam politik identitas yang belakangan menjadi kereta tunggangan kelompok-kelompok Muslim konservatif dan radikal.
Gus Yahya, biasa ia dipanggil, baru saja terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) mengalahkan calon incumbent Said Aqi Sirodj dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung, akhir tahun kemarin.
Dalam beberapa kesempatan sebelum pemilihan Ketua NU, ia mengungkapkan tekadnya untuk mengembalikan idealisme Abdurrahman “Gus Dur” Wahid soal kemanusiaan inklusif dan universal ke dalam organisasi yang lahir nyaris satu abad silam lalu itu.
Yahya adalah bekas juru bicara Gus Dur sewaktu masih menjabat sebagai presiden selama 1999-2001. Jejaknya di Istana juga berlanjut saat terpilih sebagai salah satu Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Kendati begitu, ia tidak bercita-cita untuk jadi wakil NU di kursi kepresidenan. Kepada BenarNews, Jumat pekan lalu, ia mengungkapkan NU harus kembali jadi apolitis untuk bisa memecahkan masalah fundamentalisme Islam dan radikalisme di Indonesia.
“Sejak awal saya menyatakan bahwa saya tidak mau menjadi calon presiden atau wakil presiden. Ataupun saya tidak mau ada capres dan cawapres dari PBNU supaya tidak ada lagi jalan untuk melibatkan NU dalam politik identitas,” kata Yahya.
Baginya, NU harus punya peran dalam menyembuhkan luka dan polarisasi dalam masyarakat, salah satunya akibat pengalaman politik identitas yang mewarnai Pemilihan Umum 2019. Pada pesta demokrasi itu, NU terjebak dalam politik dua kaki dan dikritik kehilangan perannya menyatukan umat di tengah polarisasi politik berbau agama.
Ketika itu, Ma’ruf Amin yang merupakan Rais Aam (pimpinan) PBNU dipinang menjadi calon wakil presiden Jokowi. Sementara, Ketua Umum PBNU ketika itu, Said Aqil Siradj menunjukkan dukungannya kepada bekas rival yang kini bergabung dalam kabinet Jokowi, Prabowo Subianto.
Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (UI) menemukan polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas berbau agama dalam pemilu tiga tahun silam itu sebagai residu dari tajamnya kontes Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang terus dipelihara.
Setahun jelang Pilgub DKI Jakarta 2017, terjadi protes massal yang dipimpin kelompok Islam konservatif yang kini telah dibubarkan, Front Pembela Islam (FPI), menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa, untuk diadili karena ucapannya yang dinilai melecehkan Islam.
Ahok yang ketika itu juga ikut mencalonkan diri dalam Pemiliihan Gubernur DKI 2017 itu akhirnya divonis bersalah dan menjalani dua tahun penjara, serta kalah dalam pemilihan. Banyak pihak yang menilai putusan itu bermotif politik dan hakim mengalah pada tekanan dari kelompok Islam konservatif.
Yahya mengatakan konsep kekhalifahan yang dibawa kelompok Islam fundemantalis seperti FPI maupun Hizbut Tahrir, organisasi politik pan-Islam yang juga telah dibubarkan pada 2018, sudah tidak relevan lagi pada dunia modern saat ini.
“Kita tahu mereka ini punya alasan-alasan politik bagi pilihan mereka untuk menjadi radikal atau menjadi fundamental. Kita harus ajak mereka bicara, kita harus berusaha sadarkan mereka bahwa pilihan politik yang mereka ambil itu sudah tidak realistis,” kata kakak kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
“Sekarang kita tidak bisa lagi memaksakan suatu khilafah universal ditengah konteks realitas modern ini,” kata Yahya dalam wawancara dengan BenarNews selama sekitar 45 menit melalui telepon pada 31 Desember lalu.
Ia optimistis NU bisa jadi jalan tengah, dengan mengupayakan sebuah kerangka bersama untuk mencegah, bila tidak menangguhkan, radikalisme dan fundamentalisme di Tanah Air.
“Tentunya caranya adalah dengan kampanye sekuatnya untuk mencegah politik identitas. Para stakeholder politik harus didorong bangun konsensus supaya tidak menjadikan identitas terutama identitas agama sebagai senjata politik,” kata Yahya.
Tentang Israel dan pengkafiran
Pada 2018, Yahya pernah menjadi kontroversi di masyarakat setelah ia menerima undangan dari Israel Council on Foreign Relations (ICFR) untuk berpidato di Yerusalem tentang solusi konflik keagamaan.
Publik menentang keras karena menganggap sosok yang ketika itu menjabat sebagai salah satu Dewan Pertimbangan Presiden mencederai dukungan Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Tapi Yahya mengatakan ia tidak berangkat sebagai wakil pemerintah ataupun NU, melainkan atas nama pribadi sebagai seorang muslim yang juga berharap Israel dan Palestina bisa segera menghentikan konflik.
Dalam pertemuan Abraham Field Initiative awal 2020, Yahya mengatakan para pemimpin agama dunia telah bersepakat untuk berpikir bersama tentang bagaimana agama berfungsi dan merespons konflik pada abad ke-21 ini.
“Agama juga harus menemukan fungsinya yang baru. Ini yang pertama dan ini membutuhkan proses tersendiri,” katanya.
Konflik Israel-Palestina perlu diselesaikan secara mendasar, yakni memperjelas batas teritori yang bersesuaian dengan hukum internasional. Selama batas teritori tidak diperjelas, maka akan sulit bagi Israel untuk mendapat pengakuan politik, termasuk membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Banyak terkait batas teritorial ini hanya klaim sepihak baik oleh Israel dan maupun negara Arab dan Islam sekitarnya. Ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga kalau misalnya Indonesia mengatakan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, itu yang mana? Kan batasnya harus jelas supaya tidak menimbulkan persoalan baru. Saya kira gitu,” katanya.
Wawancara dengan Gus Yahya berlangsung hanya beberapa hari setelah sebuah laporan berita mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam pertemuan dengan pejabat Indonesia di Jakarta bulan lalu, telah membahas prospek normalisasi hubungan Indonesia dengan Negara Yahudi itu.
Yahya punya rekam jejak yang cakap di kancah internasional. Pada 2014, ia tercatat sebagai salah satu pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat (AS), Bayt Ar-Rahmah, untuk mempromosikan pesan Islam sebagai agama yang damai dan penuh kasih sayang.
Ia juga pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Lintas-Agama AS-Indonesia yang merupakan buah kesepakatan Presiden Barack Obama dan Jokowi pada Oktober 2015.
Kemudian, ia juga didaulat sebagai utusan Gerakan Pemuda Anshor dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) - kendaraan politik NU, untuk jaringan politik Eropa dan dunia, Centrist Democrat International dan European People’s Party.
Ia percaya Indonesia harus ikut berkontribusi membangun ketertiban dunia sesuai mandat Undang-Undang Dasar 1945. Ia juga berharap citra Islam Indonesia yang damai dan moderat juga ikut terwakilkan dalam manuvernya.
“Menurut saya pemerintah Indonesia harus lebih berani dalam melakukan penetrasi dalam politik internasional dengan agenda yang konkret dalam pemecahan masalah yang ada,” kata Yahya.
“...Membela pihak mana saja yang diperlakukan tidak adil untuk upayakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang, baik termasuk saudara kita di Palestina ataupun saudara kita di Uighur di China. Bahkan termasuk juga kelompok-kelompok non-Muslim yang juga mengalami persekusi dalam masyarakat-masyarakat mayoritas Muslim.”
Yahya mengatakan Bayt Ar-Rahmah akan tetap berjalan meski kini ia telah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Ia tetap perlu meneruskan misi humanitarian Islam, yang salah satunya menghapus sebutan ‘kafir’ dalam tatanan Islam modern.
“Status non-Muslim atau pengkafiran adalah simbol objek permusuhan dan diskriminasi dan persekusi,” katanya.
“Ini suatu kerawanan yang kita tidak bisa lakukan lagi hari ini karena dunia ini sudah menjadi satu kampung bersama dan kita harus hidup berdampingan satu sama lain.”
‘Perlu didukung’
Pengajar Islamic Studies di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Dr Syafiq Hakim, menyambut positif keinginan Yahya untuk menghidupkan kembali visi-misi Gus Dur yang memiliki cara pandang terbuka terhadap minoritas, praktik ortodoksi Islam, perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
“Jika dia tak ingin terlibat politik dengan capres dan cawapres, maka itu memang dia benar-benar ingin mewujudkan cita-cita yang pernah dilakukan oleh Gus Dur. Tapi tentunya kita tidak tahu apakah itu bisa dilakukan nanti di NU. Karena bicara NU itu kan banyak layernya dan tidak semua ulama punya cara pandang terbuka,” kata Syafiq dalam sambungan telepon dengan BenarNews, Kamis (6/1).
Syafiq menambahkan, bila Yahya berhasil membawa NU kembali mengemukakan politik kebangsaan dan Islam kemanusiaan, maka besar kemungkinan langkah ini akan diikuti organisasi massa lain yang memiliki sudut pandang dan arah perjuangan beragam, termasuk organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah.
“Itu merupakan satu agenda kerja yang menurut saya challenging dan perlu didukung, bagaimana realitas nanti seperti apa belum tahu. Tapi saya sendiri sangat setuju dengan agenda yang dikemukakan Gus Yahya dan itu harus dikemukaan sebagai seorang pemimpin ormas terbesar pengayom bagi kelompok minoritas,” katanya.
PKB lahir dari rahim NU untuk menyuarakan aspirasi organisasi dalam merespons krisis politik era Reformasi tahun 1998. Gus Dur awalnya menolak NU keluar dari ‘khittah’nya karena menggabungkan urusan agama dengan politik. Namun, Gus Dur akhirnya menyepakati pendirian PKB karena melihat hal tersebut sebagai satu-satunya cara melawan partai politik penguasa otoriter ketika itu.
Dalam sebuah wawancara media, Yahya mengakui bahwa organisasi yang ia pimpin memang punya hubungan erat dengan PKB. Namun, menurutnya itu tidak boleh menjadi alasan NU sebagai alat politik PKB atau partai politik lain.
"Relasi NU dengan PKB alami sekali karena dulu PKB sendiri diinisiasi, dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU, itu satu hal. Tapi sekali lagi, tidak boleh lalu NU ini jadi alat dari PKB atau dikooptasi dengan PKB," kata Yahya seperti dikutip di CNNIndonesia TV, Desember lalu.
Pakar Politik Islam dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi menambahkan, adalah tepat bila Yahya ingin memposisikan NU tidak sebagai pemain politik praktis di Indonesia. Ia berharap Yahya tidak tergiring untuk memobilisasi pengikut NU yang besar itu dalam kontes politik apapun.
“Apabila itu yang dilakukan berarti akan menjadi terobosan besar untuk menjaga NU dalam koridor kembali kepada tujuan pendirian NU sebagai orrmas Islam keagamaan yang tidak masuk dalam perebutan kekuasaan politik,” kata Yon kepada BenarNews.
Bila memaksakan untuk terlibat dalam politik praktis, maka NU akan kehilangan ruh dan tujuannya dalam penguatan peran di masyarakat baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan, tambahnya.
“Dengan adanya statemen tidak akan terjun ke politik saya kira bagus dan penting, sehingga bisa bijak menentukan pilihan politik tanpa harus masuk di dalam capres dan cawapres yang berpotensi menimbulkan gesekan massa di akar rumput. Saya kira ini ideal,” tukasnya.