Kapolri Baru Janji Tindak Lanjuti Rekomendasi Komnas HAM Kasus Tewasnya Laskar FPI
2021.01.21
Jakarta
Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang resmi disahkan DPR Kamis (21/1) sebagai Kapolri berjanji memperbaiki kepolisian dan penegakan hukum termasuk dalam investigasi kasus dugaan tewasnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan kepolisian.
"Kejadian extrajudicial killing yang direkomendasikan Komnas HAM, kami dalam posisi sikap mematuhi dan menindaklanjuti rekomendasi. Tentu kami akan mengikuti," ujar Listyo saat melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk posisi pimpinan kepolisian nasional menggantikan Jenderal Idham Aziz yang akan segera memasuki masa pensiunnya.
Minggu lalu dalam pertemuan dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Komnas HAM mengatakan hasil investigasi dari pihaknya menunjukkan adanya indikasi pembunuhan tanpa alasan hukum (unlawful killing) oleh kepolisian dalam kematian empat dari enam pengawal rombongan pimpinan FPI Muhammad Rizieq Shihab pada 7 Desember 2020.
Komnas HAM juga merekomendasikan kasus tersebut dibawa ke peradilan pidana.
Pengesahan Listyo (51) sebagai kapolri baru disampaikan Ketua DPR Puan Maharani, seusai mendengarkan pemaparan hasil uji kepatutan dan kelayakan yang digelar Komisi III DPR.
Puan melontarkan pertanyaan kepada segenap anggota DPR yang hadir, "Apakah laporan Komisi III dapat disetujui?" kata Puan, disambut kor setuju para anggota.
Dalam uji kepatutan dan kelayakan Rabu, Listyo memaparkan sejumlah janji untuk memperbaiki kepolisian. Mantan ajudan Presiden Joko "Jokowi" tersebut, antara lain, berjanji untuk menerapkan penegakan hukum yang tidak tajam ke bawah.
Selain masalah penegakan hak asasi manusia seperti dalam kasus FPI tersebut, Listyo berjanji untuk memperbaiki layanan darurat kepolisian (hotline) dengan memberlakukan nomor tunggal secara nasional agar lebih cepat merespons aduan masyarakat.
Ia juga mengatakan ingin mengubah sepenuhnya mekanisme tilang lalu lintas menjadi berbasis elektronik sehingga tidak ada lagi anggota kepolisian yang menilang para pelanggar lalu lintas di jalanan.
Lebih lanjut, Listyo juga berniat menghidupkan kembali pasukan pengamanan masyarakat (Pam Swakarsa) untuk membantu perwujudan keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Kritisi Pam Swakarsa
Mengenai sejumlah rencana yang diutarakan Listyo dalam uji kepatutan dan kelayakan, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Danu Pratama menyoroti perihal keinginan membangkitkan Pam Swakarsa, yang menurutnya menyimpan sejumlah celah hukum dan potensi kekerasan.
"Sehingga potensi konflik horizontal, tindak kekerasan, atau pengerahan massa serta penggunaan wewenang yang tidak selaras hukum bisa terjadi," kata Danu saat dihubungi.
Menurut Danu, konsep pengawasan dan pengamanan oleh kelompok masyarakat dengan kewenangan yang dibatasi lokasi keberadaan merupakan gagasan baik, seperti pecalang di Bali.
Namun konsep ini berpotensi salah sasaran jika organisasi yang dikukuhkan menjadi Pam Swakarsa memiliki keanggotan besar seperti melingkupi tingkat provinsi bahkan nasional. "Esensi pengamanan swadaya masyarakatnya menjadi hilang karena kekuasaannya menjadi sangat besar," terang Danu.
Secara umum, ditambahkan Danu, Listyo pun masih gagal memaparkan gagasan baik yang menyeluruh perihal reformasi kepolisian. Meski sempat mengutarakan soal perubahan mekanisme tilang.
Padahal berdasarkan catatan Kontras, lanjut Danu, Polri tergolong lemah menindak anggota yang melakukan kekerasan berlebih, seperti dalam penanganan unjuk rasa, dan menyerahkan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan untuk menjatuhkan sanksi internal.
"Menurut kami, yang dibutuhkan itu evaluasi menyeluruh dan objektif kepada aparat yang terbukti melakukan kekerasan. Tidak hanya sanksi internal, tapi juga hukum pidana," pungkas Danu.
Adapun lembaga pegiat antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta Listyo lebih proaktif memimpin kepolisian dalam pemberantasan korupsi di tanah air. Salah satunya dengan membentu satuan tugas khusus untuk menyelidiki dan menyidik dugaan rasuah di internal kepolisian
"Serta serius membongkar ulang penanganan perkara penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulis.
Keputusan wajar
Listyo sebelumnya diajukan pemerintah sebagai pengganti Idham Aziz yang akan pensiun per 1 Februari mendatang pada Rabu (13/1). Pengajuan dirinya sempat ditanggapi negatif sejumlah pihak, dengan menyoroti kedekatan Listyo dengan Jokowi.
Selain pernah menjadi ajudan presiden pada 2014, Listyo pernah pula bekerja sama dengan Jokowi tatkala menjabat Kapolres Solo pada 2011, saat Jokowi menjabat wali kota.
Mengenai kedekatan sebagai salah satu pertimbangan pengajuan Listyo sebagai kapolri, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilainya sebagai perihal wajar. Terlebih sesuai aturan, presiden memiliki hak prerogatif memilih kapolri.
"Terlihat bahwa Jokowi ingin dikawal orang yang bisa dipercaya sepanjang kekuasaannya," kata Ketua IPW Neta S Pane kepada BenarNews.
"Di satu sisi, Jokowi tentu lebih nyaman bekerja sama dengan orang yang dikenal dan dipercaya, agar program pemerintah dapat berjalan baik."
Perihal sama disampaikan analis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi yang menilai pengajuan Listyo sebagai pilihan rasional.
"Jokowi tentu ingin memilih orang yang punya loyalitas tinggi kepada pemerintah. Sosok yang tegak lurus dan siap mengamankan kebijakan dan program pemerintah," kata Fahmi.
BenarNews menghubungi Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman terkait pertimbangan memilih Listyo sebagai calon kapolri, tapi tak beroleh balasan.
Namun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian di situs Kompas.com mengatakan bahwa kemampuan bersinergi dengan beragam pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal pemerintahan memang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah mengusulkan Listyo.
"Selain itu tentu saja faktor integritas, kompetensi, profesionalitas," ujar Donny kepada Kompas.com.
Hubungan Jokowi-Polri
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, Made Supriatma, mengatakan, Jokowi memang terlihat memiliki hubungan dekat dengan Polri karena dia tidak memiliki ikatan yang kuat dengan TNI.
"Sikap Jokowi itu telah menguatkan posisi politik Polri. Polisi sekarang berlaku sebagai penegak hukum dan politik karena secara secara aktif mengusut kasus hukum terhadap oposisi pemerintah," ujar Made dalam tulisannya di situs East Asia Forum.
Sebelumnya Jokowi mengajukan Tito Karnavian yang relatif jenderal junior di kepolisian sebagai kapolri.
Tito belakangan dinilai Made menjadi sekutu setia bagi Jokowi dengan memproses hukum para pengkritik pemerintah, termasuk aktivis.
Listyo pun serupa karena menjadi yang termuda dari lima kandidat yang diusulkan Kompolnas saat ini.
"Jokowi pun sudah memberi jalan lapang bagi Polri di periode kedua ini dengan memberikan jabatan dan posisi penting yang sebelumnya diisi jenderal militer," lanjut Made.
Sejumlah petinggi kepolisian kini memang memegang jabatan penting seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), BULOG, BNPT, hingga KPK.
"Pelibatan kepolisian kian penting bagi Jokowi. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa fungsi ganda kepolisian meningkat, baik sebagai penegak hukum maupun instrumen politik," tulis Made.