Kapal Survei China Kembali ke ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara
2021.10.05
Jakarta
Kapal survei China, Haiyang Dizhi 10, yang sebelumnya telah menuai kontroversi karena memasuki dan lama berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, dilaporkan kembali memasuki wilayah tersebut, namun TNI Angkatan Laut pada Selasa membantah dugaan pengamat bahwa kapal itu melakukan penelitian di sana.
Sementara itu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta TNI untuk selalu siap menghadapi ancaman yang luas termasuk pelanggaran kedaulatan dan pencurian sumber daya laut, dalam pidato memperingati hari jadi TNI ke-76, 5 Oktober 2021.
Haiyang Dizhi 10 terdeteksi berada di ZEE Indonesia sejak Senin dengan pengawalan sebuah kapal penjaga laut China, kata peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso.
“Haiyang Dizhi 10 pertama kali terdeteksi 4 Oktober, sekarang sudah mulai beraktivitas untuk riset lanjutan sepertinya. Sebelumnya mereka melakukan aktivitas penuh, keluar masuk Natuna Utara, selama 29 hari sejak Agustus,” kata Imam melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Selasa.
“Kalau dilihat dari pola-pola sebelumnya, mereka kemungkinan beraktivitas selama sebulan penuh. Apalagi saat ini mereka isi perbekalan cukup dari gugusan pulau-pulau karang yang sudah dikuasai China di Laut China Selatan,” katanya.
Kapal berbobot 3.400 ton itu sebelumnya diketahui keluar masuk perairan Natuna Utara antara 31 Agustus dan 29 September.
Imam mengatakan dari hasil pengamatannya atas aktivitas yang dilakukan Haiyang Dizhi 10 pada periode itu, pola lintasan kapal riset China itu begitu kompleks.
“Kapal tidak hanya melintas, kalau melintas landasannya lurus, tapi ini membentuk pola grid yang menyapu sebagian Laut Natuna Utara yang menjadi klaim ‘nine-dash-line’ mereka. Jadi tidak mungkin, tidak melakukan aktivitas penelitian, apalagi sudah satu bulan mondar-mandir di situ,” kata Imam.
Lokasi kapal China itu berada dalam ZEE Indonesia yang tumpang-tindih dengan apa yang disebut “nine-dash line” yang dibuat oleh China di sepanjang hampir keseluruhan Laut China Selatan, tapi tidak diakui oleh hukum internasional dan dipertanyakan oleh negara –negara tetangganya.
Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, bagian utara Laut Natuna yang tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus yang diklaim China itu.
“Harus ada langkah jelas. Ada izin atau tidak. Kalau tidak ada, jelas itu ilegal karena kita punya aturan jelas mengenai kegiatan penelitian ilmiah di laut. Kalau ternyata betul melakukan penelitian, kita juga perlu meminta hasilnya karena itu dilakukan di wilayah kelautan Indonesia,” kata Imam.
‘Tidak ada pelanggaran’
Kepala Dinas Penerangan Komando Armada I TNI AL Letnan Kolonel Laode Muhammad mengatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh kapal periset tersebut di ZEEI.
“Laut Natuna Utara itu adalah pintu keluar masuk menuju ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan Selat Singapura. Jadi sangat memungkinkan kapal-kapal asing melintas, tidak hanya kapal China,” kata Laode kepada BenarNews.
Merujuk Konvensi Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), ALKI dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat asing untuk melintas secara normal.
Laode mengatakan, diperlukan pembuktian yang mendalam terkait dugaan yang menyebut China melakukan riset di ZEEI.
“Dalam hal hubungan antar-negara, kita harus menghindari konflik dan menahan diri. Kalau kita paksa naik ke kapal, mereka tidak terima itu, akan berdampak luar biasa,” kata Laode.
Juru bicara TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjodjono menepis kekhawatiran bahwa kapal China melakukan survei maritim di perairan Natuna Utara.
"Tidak ada (survei). Mereka hanya melintas damai di ALKI," kata Julius lewat pesan singkat kepada BenarNews.
Pertengahan September, TNI AL mengerahkan KRI Bontang 907 untuk mendekati kapal survei China. Menurut catatan pelacakan kapal, KRI Bontang 907 mengikuti pergerakan kapal China, di wilayah perairan dekat dengan sebuah kilang minyak dan gas yang penting di perairan Natuna.
Jokowi tanyakan keberadaan kapal asing
Dalam pidato hari ulang tahun TNI ke-76 di Istana Merdeka, Jokowi meminta kesigapan TNI untuk selalu diaktifkan dalam menghadapi ancaman “seperti pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, terorisme, ancaman siber, dan ancaman biologi.”
Di acara yang sama, Jokowi menanyakan keberadaan kapal asing di perairan Indonesia lewat konferensi video degan Komandan Gugus Tempur Laut Koarmada I Laksamana Dato Rusman yang berada di atas KRI Multatuli 561 yang berpatroli di Laut Natuna Utara.
Rusman menjawab bahwa ia mendapati kapal milik China dan Amerika Serikat di perairan Indonesia pada hari ini, tapi mereka hanya melintasi laut internasional.
"Mereka melaksanakan lintas masuk laut internasional dan dalam keadaan aman dan kondusif," kata Rusman tanpa memerinci identitas kapal-kapal tersebut.
Selain Multatuli, lima kapal lain juga turut berjaga yakni Diponegoro, Saifudin, Silas Papare, Teuku Umar, kapal survei Hidro Oseanografi Rigel, satu pesawat patroli maritim CN 235 dan satu helikopter.
Pada Januari 2021, kapal survei Xiang Yang Hong 03 milik China juga terdeteksi melintas di wilayah perairan Selat Sunda. Ketika itu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengintersepsi kapal tersebut karena mematikan sistem pelacakan kapal otomatis (automatic identification system atau AIS) sebanyak tiga kali saat melintasi ALKI.
‘Pola jamak kapal riset’
Analis Pertahanan H.I Sutton di laman BenarNews beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kapal pergerakan kotak-kotak yang seperti dilakukan Haiyang Dizhi 10 adalah pola jamak sebuah kapal yang tengah melakukan riset maritim.
"Dari data yang kami lihat, ini sepertinya survei seismik tersebut menggunakan sonar khusus untuk melihat bawah dasar laut. Kemungkinan besar gunanya survei ini terkait dengan eksploitasi hidrokarbon,” ujar Sutton.
Pengamat pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, saat dihubungi, mendesak pemerintah bersikap tegas terhadap manuver kapal Haiyang Dizhi 10.
"Apabila aktivitas riset di ZEE Indonesia dilakukan tanpa izin, pemerintah harus mengusir kapal itu dari ZEE Indonesia karena itu (riset tanpa izin) adalah tindakan ilegal," kata Fahmi, merujuk pada peraturan UNCLOS yang menyatakan bahwa pemerintah suatu negara wajib meminta izin untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan di ZEE negara lainnya.