Mereka Tersangkut Kasus Hukum di Balik Asap Melanda Kalimantan
2018.08.29
Pontianak
Jeda kabut asap sempat terjadi selama dua tahun di Kalimantan Barat (Kalbar), setelah kejadian cukup parah menerpa wilayah tersebut dan pulau Borneo tahun 2015.
Kabut asap muncul lagi pada 2018 dalam intensitas lebih rendah, tapi sempat menganggu aktivitas penerbangan dan sejumlah kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dialami warga setempat.
Selalu ada orang-orang yang kemudian tersangkut kasus hukum di balik kepulan asap yang melingkupi angkasa Borneo.
Otoritas keamanan sejak Februari lalu menerbitkan maklumat larangan pembakaran lahan dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Anton P. Widjaja, kepada BeritaBenar, Rabu, 29 Agustus 2018, menuturkan, masyarakat seperti petani tradisional kerap menjadi korban penegakan hukum.
“Penahanan dan menersangkakan masyarakat petani adalah pengulangan penegakan hukum yang pernah dilakukan. Aparat terlalu hitam putih dalam menegakkan hukum lingkungan. Padahal regulasi memberi perlindungan dan toleransi pada pembakaran skala kecil yang dilakukan masyarakat,” katanya.
Kepala Kepolisian Daerah Kalbar, Irjen. Pol. Didi Haryono, merilis data kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) hingga 28 Agustus 2018 berjumlah 20 laporan polisi, dengan 27 tersangka.
Dari jumlah tersangka itu, 14 di antaranya telah ditahan, 2 orang meninggal dunia di lokasi akibat terpapar asap dan api, serta 11 orang tidak ditahan karena pertimbangan kemanusian di antaranya perempuan yang memiliki anak kecil, serta ada jaminan dari warga kampung dan tokoh masyarakat.
Semua tersangka tersebut adalah warga, belum ada dari kalangan korporasi. Kalangan perorangan mencakup petani atau orang upahan yang menggarap lahan.
Seperti laporan BeritaBenar pada Agustus 2016, ada 35 kasus karhutla yang diproses sejak 2015 di Kalbar.
Empat kasus disangkakan kepada korporasi dan 31 terhadap perorangan. Tapi empat kasus dihentikan pengusutannya setelah dianggap tidak cukup bukti, yakni satu kasus korporasi dan tiga lain perseorangan.
Penyegelan
Pada akhir pekan lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel area lahan terbakar milik lima perusahaan di Kubu Raya, Kalbar, untuk mendukung penegakan hukum dan memberi efek jera bagi pembakar hutan dan lahan.
Lima perusahaan itu adalah PT SUM, PT PLD, PT AAN, PT APL, dan PT RJP. Penyegelan itu dipimpin Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani atas perintah Menteri LHK, Siti Nurbaya.
"Kami akan terus memantau lokasi-lokasi lainnya yang terbakar, termasuk dengan menggunakan teknologi satelit dan drone," kata Rasio dalam keterangan pers yang diterima BeritaBenar.
Tapi penyegelan itu dibantah Manager Legal PT SUM dan PT PLD (AMS Grup) Fauzan Abdi, seperti dikutip dari laman Kompas.com, dengan menyatakan lahan yang disegel tersebut bukan milik mereka, melainkan punya masyarakat.
Fauzan juga mempertanyakan alasan munculnya nama-nama perusahaan tersebut. Dia mengaku belum dapat memberikan keterangan lebih jauh karena masih dalam proses pemeriksaan.
Dalam siaran pers KLHK juga disebutkan bahwa sejak tahun 2015, kementerian sudah memberikan sanksi administrasi kepada lebih 100 korporat akibat karhutla, termasuk ada yang dicabut izinnya.
“KLHK telah mengajukan gugatan perdata pada 11 korporat yang bertanggung jawab atas karhutla, dengan gugatan ganti rugi mencapai trilyunan rupiah,” jelas Rasio.
Hotspot
Walhi Kalbar melakukan overlay terhadap posisi hotspot dengan peta konsesi yang ada di provinsi itu. Dari 790 hotspot yang terdeteksi pada 14 Agustus, 201 titik api terdapat dalam areal konsesi.
“Untuk 201 hotspot di areal konsesi itu berarti kebakaran terjadi di 10 hingga 20 areal konsesi,” kata Anton.
Dia menambahkan overlay sebaran hotspot tersebut bersumber dari Citra Modis C6 Kalimantan Barat NASA 2018 dengan confidence 80-100 persen dengan Peta Sebaran Investasi di Kalbar.
Menurut Anton, regulasi sebenarnya memperbolehkan para petani tradisional melakukan pembersihan lahan pertanian dengan cara membakar maksimal dua hektar per kepala keluarga, tetapi tetap memperhatikan kearifan lokal untuk menjaga api supaya tidak menjalar ke area lain.
Anggota DPRD Kalbar, Maskendari, mengatakan, semua petani tradisional membuka lahan mineral dengan cara membakar tapi tidak menyebabkan kabut asap.
“Tidak ada petani berladang di lahan gambut, yang menghasilkan asap pekat bercampur uap air dan sulit terurai di udara,” ujarnya.
“Lagipula, petani tradisional mana yang sanggup berladang dua hektar? Rata-rata hanya satu hektar dengan alat sederhana seperti parang dan kampak.”
Data dari Dinas Pertanian Kalimantan Barat menyebutkan, 10 tahun lalu tercatat sekitar 1,500 hektar ladang di lahan mineral, dan tahun ini tinggal sekitar 500-an hektar di seluruh daerah itu.
“Jika konteksnya pembakaran karena menyebabkan kabut asap, aparat keamanan harus menindak siapapun yang membakar lahan gambut. Perlu juga pertimbangan kemanusiaan jika pelakunya masyarakat kecil yang sangat menggantungkan hidupnya dari sepetak lahan kecil,” tegas Maskendari.