ICJR: Jumlah terpidana mati di Indonesia meningkat tajam sejak 2017

Pakar mengatakan hukuman mati tidak manusiawi serta tidak terbukti memberikan efek jera.
Tria Dianti
2023.04.12
Jakarta
ICJR: Jumlah terpidana mati di Indonesia meningkat tajam sejak 2017 Ambulans yang membawa salah satu jenazah dari dua warga Australia yang dieksekusi mati tiba di rumah duka di Jakarta, 29 April 2015. Regu tembak Indonesia mengeksekusi delapan pengedar narkoba, termasuk tujuh warga asing pada hari itu, memicu kecaman dari Australia dan Brasil yang telah membuat permohonan untuk menyelamatkan warga negara mereka. Eksekusi tersebut - bagian dari kebijakan Presiden Joko Widodo dalam perang melawan narkoba - memicu protes internasional termasuk dari PBB.
[Darren Whiteside/Reuters]

Jumlah terpidana mati di Indonesia meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, dari 165 pada tahun 2017 menjadi 428 per Agustus tahun lalu, di tengah gencarnya perang pemerintah terhadap narkotika dan obat terlarang, demikian menurut laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sebuah lembaga advokasi untuk reformasi hukum dan peradilan pidana.

Sementara itu, sepanjang 2022, pengadilan di Indonesia menghukum mati 145 orang, turun dari 171 di tahun sebelumnya dan 210 tahun 2020, menurut data ICJR. Sebanyak 93 persen hukuman mati tahun lalu adalah terkait narkotika dan obat terlarang, atau narkoba.

Namun, angka penambahan kasus tahun 2022 tersebut masih lebih tinggi jika dibanding tahun 2019, di mana 135 orang divonis hukuman mati.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan kepercayaan populis bahwa hukuman mati bisa menimbulkan efek jera menjadi faktor makin banyak angka terpidana mati.

“Kami berharap adanya perbaikan sistem peradilan pidana secara utuh,” kata Erasmus dalam press konferensi di Jakarta.

Pada tahun 2017, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menindak tegas pengedar narkoba “tanpa ampun”.

Jokowi menyebut ada 18 orang bandar narkoba yang dieksekusi mati di era pemerintahannya.

"Sekarang memang Polri, BNN betul-betul tegas. Sudah lah tegasin saja, terutama pengedar narkoba asing yang masuk kemudian sedikit melawan sudah langsung ditembak saja. Jangan diberi ampun," kata Jokowi waktu itu.

Sebanyak 63 persen mayoritas perkara yang dituntut dan atau divonis pidana mati pada 2022 sidang pembacaan putusannya dilakukan secara daring atau melalui teleconference, menurut laporan ICJR.

Sedangkan hanya 21 persen perkara yang persidangan pembacaan putusannya dilakukan secara luring atau dihadiri secara langsung oleh terdakwa dalam ruang sidang.

Dari total 428 terpidana mati, lebih dari setengahnya (249) terjerat kasus narkoba, sementara sisanya pidana umum, pembunuhan dan terorisme, kata ICJR. Sebanyak 340 berwarga negara Indonesia, 88 warga negara asing.

Pemerintah terakhir kali melaksanakan eksekusi hukuman mati tahun 2016, yang memicu kecaman internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Awal Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang salah satu pasalnya mengatur pidana mati sebagai pidana alternatif dan khusus dimana pelaksanaannya harus dengan masa percobaan 10 tahun. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan perbuatan baik pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

“Artinya dalam masa tersebut tidak boleh dijatuhkan eksekusi pidana mati dan ada peluang pengubahan/komutasi hukuman,” kata Adhigama Andre Budiman, peneliti dari ICJR.

KUHP yang baru akan berlaku tiga tahun setelah ditandatangani, atau Januari 2026.

Erasmus mengatakan isu hukuman mati dalam KUHP baru merupakan salah satu poin yang patut diapresiasi terlepas kontroversi mengenai hal tersebut.

“Jumlah hukuman mati yang masih tinggi diberikan hakim meskipun KUHP baru telah disahkan. Perlu pemahaman kepada hakim dan jaksa bahwa paradigma pemidanaan di KUHP baru juga telah berubah, tak hanya soal penghukuman tapi perumus sudah melihat konteks pemulihan, restoratif, supaya penjatuhan hukuman mati tidak menjadi primadona,” katanya.

Moratorium hukuman mati

Oleh karenanya, ICJR merekomendasikan kepada Pemerintah dan Mahkamah Agung untuk melakukan moratorium penuntutan hukuman mati, tidak memerintahkan eksekusi mati, karena politik hukum pidana mati telah berubah.

“Seluruh terpidana mati akan menjadi subjek assessment untuk pengubahan hukuman, dan menyegerakan proses assessment dan memutuskan pengubahan hukuman mati, sesuai dengan komitmen DPR, paling tidak terhadap sekitar 101 terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun per Maret 2023,” kata Erasmus.

Untuk DPR, diharapkan untuk memastikan materi revisi UU Narkotika juga termasuk soal penghapusan ketentuan pidana mati dan pada proses pembahasan revisi KUHAP.

“Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk secara aktif melakukan pemantauan pada tempat-tempat penahanan terpidana mati dalam konteks pencegahan penyiksaan dalam deret tunggu,” lanjutnya.

April 2022, Pengadilan Tinggi Bandung memperberat hukuman terhadap pemilik sekaligus guru pesantren yang terbukti bersalah memerkosa 13 santriwati sejak 2016, dari sebelumnya penjara seumur hidup menjadi hukum mati.

Awal tahun ini, pengadilan negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman mati kepada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdi Sambo usai terbukti melakukan pembunuhan berencana kepada ajudannya tahun lalu. Ini merupakan hukuman mati yang pertama terhadap seorang jenderal polisi.

Sementara mantan Kapolda Sumatra Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa juga dijerat pasal berlapis dan terancam hukuman mati atas tuduhan memperjualbelikan barang bukti narkoba jenis sabu seberat lima kilogram.

Keadilan retributif

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo menilai hakim di Indonesia cenderung retributif atau menghukum karena terdakwa sudah melanggar.

“Hukuman mati masih diperlukan menurut banyak orang karena banyak orang Indonesia masih berpikiran bahwa hukuman mati bersifat pembalasan,” kata dia.

Ia mengatakan penghapusan pidana mati belum menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional meskipun kecenderungan saat ini menunjukkan bertambahnya negara yang menghapus pidana mati dari hukum nasionalnya.

“Beberapa beranggapan pidana mati berperan untuk melakukan pencegahan dan dipandang sebagai pidana yang paling tepat dan adil untuk kejahatan tingkat berat dan memuaskan dari sisi keluarga korban,” kata dia.

Namun demikian, ia mengakui tidak ada penelitian yang berhasil membuktikan bahwa pidana mati dapat mencegah dan mengurangi tindak pidana yang serius. “Pidana mati juga tidak bisa dikoreksi dan merupakan pidana kejam yang tidak manusiawi,” katanya.

Dosen City University of Hong Kong, Daniel Pascoe, mengatakan perubahan KUHP terkait hukuman mati menjadi masa percobaan 10 tahun merupakan waktu yang pas bagi lembaga pemasyarakatan untuk memonitor dan menilai terdakwa apakah patut untuk dihukum mati atau dikurangi menjadi hukuman seumur hidup.

“Artinya, mau tidak mau hakim harus menerapkan itu, dan bisa saja hukuman mati jadi dihapuskan dan setidaknya hukuman mati bisa diubah dengan Keputusan Presiden jika terdakwa menunjukkan sikap terpuji,” kata dia.

Ia memperkirakan proses untuk mendapatkan grasi selama masa percobaan bisa memakan waktu lebih dari 10 tahun karena peninjauan kembali bisa terjadi lebih dari sekali.

“Meskipun demikian pengampunan bisa saja ditolak pada masa percobaan tapi eksekusi tak bisa dilakukan sebelum masa percobaan 10 tahun berakhir,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.