Jokowi Utamakan Dialog untuk Bebaskan 10 WNI dari Abu Sayyaf
2016.04.04
Jakarta
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan pemerintah terus berupaya untuk membebaskan 10 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf setelah kapal mereka dibajak ketika dalam perjalanan dari Kalimantan ke Filipina, beberapa hari lalu.
"Opsi dialog tetap didahulukan untuk menyelamatkan yang disandera," katanya di Jakarta, Minggu malam, 3 April 2016.
Jokowi secara khusus telah mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk berbicara dengan Pemerintah Filipina. Salah satu yang dibahas dalam dialog itu adalah tentang uang tebusan yang diminta kelompok penculik.
Sebelumnya militan Abu Sayyaf telah mengultimatum akan membunuh para sandera apabila sampai 8 April, uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 15 milyar, tidak dibayar.
Jokowi menyatakan bahwa walaupun Indonesia telah menyiapkan pasukan untuk membebaskan WNI yang tersandera, Indonesia harus mendapatkan izin dari pemerintah Filipina untuk masuk ke wilayah negara itu, karena pembajakan terjadi di wilayah Filipina.
“Kita tidak bisa masuk seenaknya, tidak bisa seperti itu,” tegas Jokowi dalam siaran pers melalui tim komunikasi presiden, Ari Dwipayana, yang diterima BeritaBenar, Senin.
"Tapi untuk masuk ke wilayah negara lain harus ada izin, dan memang kemarin dilaporkan dari menteri luar negeri yang juga selalu saya kontak, harus ada izinnya dari parlemen. Nah ini yang masih belum," tambah Presiden.
Pasukan reaksi cepat
Jokowi mengungkapkan bahwa pemerintah telah menyiapkan pasukan reaksi cepat yang kini disiagakan di Tarakan, Kalimantan Utara.
“Saya terus memantau persiapan pasukan cepat ini, baik saat mereka latihan maupun simulasi,” jelasnya.
Meski tidak mau menjelaskan detil hasil kunjungannya ke Manila, akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengaku pihaknya terus berkordinasi dengan Pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan 10 ABK WNI tersebut.
“Saya sudah lapor ke Presiden namun mohon maaf detilnya tidak dapat saya sampaikan di depan publik demi alasan keamanan korban,” ujar Retno di Istana Negara, Senin, 4 April 2016.
Namun, ia menekankan kalau keselamatan ABK menjadi fokus utama pemerintah.
“Kami intensifkan semua koordinasi dari semua opsi yang masih terbuka ini,” kata Menlu perempuan pertama Indonesia tersebut.
Tiga WNI selamat di Sabah
Pada kesempatan itu, Retno juga melaporkan status tiga WNI yang dibebaskan setelah sempat menjadi korban perompakan, hari Sabtu 2 April 2016, di pesisir pantai bagian timur dekat Sabah, Malaysia.
“Saya sudah kontak konsulat RI yang berada di Tawau, dan betul bahwa tiga WNI itu dalam kondisi selamat,” jelasnya.
Dalam insiden itu, sembilan anak buah kapal tunda berbendera Malaysia diculik sekelompok orang yang mengaku bagian militan Abu Sayyaf.
Tiga WNI dan dua warga Myanmar kemudian dibebaskan. Sedangkan empat warga Malaysia dilaporkan disandera para perompak.
Retno menambahkan, Konsulat RI di Tawau sudah mendapatkan akses dan bertemu ketiga WNI tersebut.
“Kami pastikan kesehatan tiga WNI terjamin dan hak lanjutannya yang terkait dengan perusahaan pemilik kapal akan diberikan sesuai aturan,” kata Menlu.
Abu Sayyaf dikenal sering melakukan penculikan dan penyanderaan terhadap warga asing untuk meminta tebusan guna membiayai gerakan mereka. Amerika Serikat telah memasukkan Abu Sayyaf dalam daftar kelompok teroris.
Optimistis
Pakar terorisme, Nasir Abbas mengatakan rakyat Indonesia harus optimistis kalau pemerintah akan berhasil membawa kembali 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf.
“Jangan dulu pikirkan buruknya. Sekarang semua pihak berusaha untuk melakukan proses dialog namun belum selesai dan masih proses. Kami tidak berharap untuk jatuh korban,” kata Abbas saat dihubungi BeritaBenar.
Menurut dia, sejauh ini, belum ada tindakan apa-apa yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
“Jika waktu telah habis dan Pemerintah Filipina tak berikan tebusannya, semoga bisa diberikan waktu lagi. Semua negosiasi dan opsi sedang ditempuh,” tutur Nasir, yang merupakan mantan tokoh Jamaah Islamiyah kawasan Asia Tenggara.
Nasir menyebutkan ciri khas kelompok Abu Sayyaf terpecah dalam beberapa faksi.
“Mereka bukan dari satu kepemimpinan. Dulu mereka simpatisan satu orang yang dikenal dengan nama Abu Sayyaf. Jadi hanya pendukung saja,” kata dia.
Pertengahan 2014, kelompok militan berbasis di kepulauan Filipina selatan, seperti Jolo, Basilan dan Mindanao disebut-sebut telah berbaiat kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Namun, menurut Abbas, yang bergabung dengan ISIS hanya beberapa dari pecahan faksi Abu Sayyaf yang masih muda.
“Mereka anak-anak muda yang ikut-ikutan bergabung dengan ISIS. Hanya beberapa kelompok saja,” jelasnya.
Nasir berharap, Indonesia bisa menahan diri untuk tidak melakukan operasi militer terhadap Abu Sayyaf.
“Kalau bisa kekerasan tidak didahulukan karena proses nego sedang berlangsung. Hormati Filipina yang sedang berusaha. Opsi dialog memang harus diutamakan,” katanya.
Meski sering membunuh, Abbas menjelaskan pada dasarnya kelompok Abu Sayyaf yang asli tidak pernah membunuh sesama Muslim. Apalagi, diketahui Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai saudara serumpun yang mayoritas beragama Islam.
“Siapa tahu mereka hanyalah penjahat yang suka memeras dan merampok karena membutuhkan uang dan mengaku kelompok Abu Sayyaf,” pungkasnya.