Analis: 10 tahun pemerintahan Jokowi lemahkan hukum dan demokrasi
2024.10.18
Jakarta
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mungkin akan diingat sebagai pemimpin yang berhasil memajukan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi ia juga dinilai gagal dalam aspek-aspek penting seperti penegakan hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi, menurut para analis.
Firman Noor, pakar politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berpendapat bahwa meski Jokowi telah menerapkan jargon "kerja kerja kerja," banyak masalah tetap mengemuka.
“Pembangunan bangsa Indonesia lebih dari sekedar pembangunan fisik, dan disitulah letak problemnya, terutama dalam hal demokrasi,” ujar Firman dalam diskusi daring yang diadakan oleh BenarNews dengan tema "Warisan Jokowi dan Masa Depan Indonesia di Bawah Prabowo" pada Kamis (18/10).
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan bahwa hukum di era Jokowi tidak berfungsi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan dan menjaga nilai-nilai hak asasi manusia. Sebaliknya, hukum justru digunakan untuk memuluskan pembangunan.
Selama satu dekade kepemimpinan Jokowi, kata Bivitri, banyak undang-undang dan kebijakan yang mengorbankan hak masyarakat demi kepentingan investasi, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja, yang dikenal sebagai Omnibus Law.
Bivitri juga menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai "autocratic legalism," di mana demokrasi dihancurkan dengan cara-cara legal.
“[A]pa yang diinginkan Jokowi bisa dengan gampang lolos di DPR,” kata Bivitri.
Ia juga mengingatkan bahwa lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah kehilangan fungsinya akibat revisi undang-undang, sementara kebebasan berpendapat mengalami represi.
“Kekuasaan terlalu kuat sehingga akhirnya kepolisian, kejaksaan dan hukum tidak bisa benar-benar memenuhi rasa keadilan di masyarakat secara umum,” ujar dia.
Firman Noor mencermati bagaimana Jokowi yang seharusnya menguatkan demokrasi justru berusaha memberangusnya.
“Demokrasi dengan spirit equality dia patahkan dengan semangat dinasti politik dan nepotisme,” ujar Firman.
Ia mengatakan kekuatan politik saat ini mengkhawatirkan, karena “ada di satu tangan yang membentuk politik kartel yang pada akhirnya saling melindungi satu sama lain.”
Di bawah Prabowo, yang akan resmi menjadi presiden para 20 Oktober ini, keadaan pun tampaknya tidak akan membaik, ujarnya. Bisa dilihat dari bagaimana kabinet Prabowo disinyalir akan menjadi kabinet yang gemuk untuk mengakomodasi kepentingan politik berbagai pihak.
“Jumlah menteri yang konon sampai 49 dengan wakil menteri sampai 59 ini satu jumlah yang luar biasa, hanya bisa disaingi oleh eranya Bung Karno ketika ada fenomena 100 menteri waktu itu yang juga tidak berlangsung lama,” kata Firman.
“Ini memang kental sekali nuansa politiknya ketimbang profesionalisme,” tambahnya, dan menegaskan bahwa jumlah menteri yang berlebihan hanya akan memboroskan anggaran.
Diperkirakan, pembentukan ini akan menyebabkan kenaikan anggaran sekitar Rp390 miliar per tahun untuk mendukung pengeluaran, seperti penyediaan gedung, fasilitas, gaji, dan tunjangan pegawai.
“Keberhasilan kabinet ini sangat bergantung pada kepemimpinan Prabowo. Jika tidak efektif, kabinet berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak terkoordinasi dengan baik,” ujar dia.
Sementara itu, Bivitri melanjutkan bahwa pemerintahan Prabowo akan menghadapi tantangan besar terkait penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Meski ada keputusan presiden tentang penyelesaian pelanggaran HAM secara non-yudisial, pengungkapan kebenaran masih minim.
“Jika dibiarkan maka ini mengancam akuntabilitas hukum sehingga nantinya bentuk pelanggaran HAM dijadikan sebagai suatu hal yang dapat dimaafkan,” ujar dia.
Ia mengatakan di bawah Prabowo penuntasan pelanggaran HAM akan semakin sulit, “karena pemimpin paling tingginya punya rekam jejak yang terkait dengan HAM walaupun belum ada putusan pengadilan.”
Prabowo, yang berhasil mengubah citra kampanyenya menjadi lebih akrab dan jauh dari kesan otoriter, hanya dianggap sebagai "bungkus" untuk menutupi potensi militerisme yang mungkin muncul dalam pemerintahan mendatang.
“Yang mencemaskan adalah kalau ternyata cara pandang itu dibawa ke politik yang kemudian akan membuka kembali ruang untuk dwi-fungsi TNI seperti dulu zaman Soeharto,” kata Bivitri.