Jokowi: Pemerintah Tidak Akan Minta Maaf Pada PKI
2016.06.28
Jakarta
Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Tidak ada rencana dan pikiran sama sekali saya minta maaf pada PKI," ujarnya ketika berbicara pada acara buka puasa bersama Keluarga Besar TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin malam, 27 Juni 2016.
Pernyataan itu dikeluarkan, lanjut Jokowi, terkait isu yang simpang siur tentang sikap pemerintah terhadap PKI yang selama ini dipertanyakan masyarakat.
“Ada saja yang menggoreng sehingga muncul isu-isu tidak benar. Jangan didengarkan. Saya tidak akan minta maaf pada PKI,” ujarnya seperti dilansir siaran pers istana yang diterima BeritaBenar, Selasa pagi.
Dia mengaku sudah sering kali mensosialisasikan sikap pemerintah kepada ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan tokoh-tokoh masyarakat.
"Terutama saat Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya tahun lalu,” sambungnya.
Meskipun ada masa kelam pada masa lalu, tambah Jokowi, saat ini yang paling penting adalah bagaimana melangkah ke depan.
"Agar menyongsong masa depan lebih baik dan peristiwa tidak terjadi lagi, maka kita harus jadi bangsa yang siap berkompetisi," katanya.
Rancu dan salah paham
Menanggapi statemen Jokowi tersebut, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Dianto Bachriadi menilai pernyataan presiden itu merupakan hal yang rancu dan tidak jelas.
“Siapa yang meminta presiden meminta maaf kepada PKI? Jika Presiden menyatakan hal itu, maka Presiden telah salah paham besar,” ujar Dianto ketika dihubungi BeritaBenar, Selasa siang.
Menurutnya, pernyataan Jokowi itu menunjukkan bahwa banyak orang tak memahami makna adanya kejahatan kemanusiaan dalam tragedi tahun 1965 menyusul jatuhnya kepemimpinan Presiden Sukarno.
“Padahal peristiwa ini pun sudah diselidiki oleh Komnas HAM. Presiden juga sudah salah meletakkan konteks ‘pernyataan maaf’ tersebut,” tegas Dianto.
Dia menambahkan, dalam upaya penyelesaian masalah pelangggaran HAM berat tahun 1965 dan setelahnya, yang diperlukan adalah pernyataan negara bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan tersebut.
“Pernyataan ini penting sebagai salah satu alasan dari proses rekonsiliasi yang menjadi tujuan akhir penyelesaian non-yudisial,” jelasnya.
Tentu saja, lanjutnya, sebelum atau sesudah menyatakan bertanggung jawab, negara patut memfasilitasi atau menyelenggarakan upaya pengungkapan kebenaran.
“Pernyataan negara bertanggung jawab boleh saja disusul dengan pernyataan maaf kepada para korban kejahatan kemanusian tersebut. Bukan kepada PKI. Sekali lagi, kepada para korban kejahatan kemanusiaan. Apa pun latar belakang etnis, jenis kelamin, usia, ras, orientasi politik ideologisnya, bukan pernyataan maaf kepada PKI. Itu harus dibedakan,” tegas Dianto.
Bersifat politis
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos menilai pernyataan Jokowi adalah pernyataan politis untuk menjawab kekuatiran sejumlah pihak, termasuk kalangan garis keras dalam militer.
“Bagi kita tafsir resmi peristiwa 1965 yang beredar selama ini masih banyak yang perlu dipertanyakan dan karena itu pentingnya pengungkapan kebenaran. Karena prinsipnya tidak ada rekonsiliasi tanpa truth seeking,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurut dia, rekonsiliasi dan kebenaran tidak akan berjalan kalau negara masih ragu untuk melangkah.
“Pemerintahan Jokowi masih setengah hati untuk mencari penyelesaian peristiwa 1965. Apalagi melihat dukungan publik tidak terlalu signifikan,” kata Bonar.
Ia menambahkan, Jokowi seharusnya menyadari bahwa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah salah satu janjinya yang tertuang dalam Nawacita dan itu tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Tapi realisasinya tak gampang dan menghadapi resistensi. Kekuatiran akan kehilangan dukungan dari sejumlah pihak membuat Jokowi ragu untuk melangkah,” katanya.
Ia mencontohkan, rencana pembentukan Komisi Kepresidenan untuk kebenaran dan rekonsiliasi sampai kini tidak jelas juntrungannya. “Itu sebabnya saya bilang setengah hati,” ujar Bonar lagi.
Dia menambahkan Setara Institute sejak awal sudah mendesak Presiden Jokowi sebagai kepala negara meminta maaf pada korban peristiwa 1965 dan bukan kepada PKI sebagai organisasi politik karena kegagalan negara melindungi mereka sebagai warga negara.
“Permintaan maaf negara akan mengindikasikan keseriusan negara menyelesaikan pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965 dan sekaligus membuka pintu bagi penguakan kebenaran dan rekonsiliasi,” pungkas Bonar.