Rencana Jokowi kirim utusan militer untuk bujuk junta Myanmar tuai skeptisisme
2023.02.02
Jakarta
Indonesia pernah membantu transisi Myanmar menuju demokrasi dan membagi pengalamannya dalam melepaskan diri dari pemerintahan diktator yang didukung militer.
Namun rencana Indonesia sebagai ketua ASEAN untuk mengirim seorang jenderal senior ke Myanmar untuk mendorong negara itu kembali ke jalan demokrasi kemungkinan tidak akan membawa hasil, kata para analis.
Junta militer Naypyitaw yang berkuasa sekarang ini tidak seperti mereka yang memerintah pada 2011 yang walaupun penuh kekurangan tetapi terbuka terhadap masukan negara lain bahkan ikut memprakarsai transisi politik, kata para analis.
Pakar politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Fortuna Anwar menilai rencana Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengirimkan seorang jenderal itu tidak akan efektif.
“Sekarang konteksnya berbeda. Mereka telah melakukan transisi tetapi militer mengambil kembali kekuasaan. Mereka tidak akan mundur karena itulah satu-satunya cara mereka dapat mempertahankan kekuasaan setelah berulang kali kalah (pemilu),” kata Dewi .
Pada tahun 2011, ujar Dewi, “militer Myanmarlah yang membuka diri untuk melakukan transisi demokrasi.”
“Myanmar menyambut baik bantuan dari Indonesia, baik TNI maupun tokoh politik sipil,” tambahnya kepada BenarNews.
Karena sejarah Indonesia, para pengamat regional menyerukan Jakarta untuk membantu Myanmar memulihkan demokrasi setelah junta militer di sana menggulingkan pemerintahan sipil dua tahun lalu.
Pada 2011, Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga seorang jenderal purnawirawan, aktif melakukan dialog dan mengirimkan Letjen Agus Widjojo ke Myanmar. SBY kala itu juga mengirimkan Menlunya, Marty Natalegawa untuk bertemu dengan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi.
Pengganti SBY, Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang berkuasa sejak 2014 lebih memfokuskan pada politik dalam negeri dan tidak terlalu tertarik pada diplomasi internasional hingga tahun lalu, ketika Indonesia memegang presidensi G20.
Dalam interview ekslusif dengan Reuters kemarin (2/2), Presiden Jokowi mengatakan ia akan mengirim seorang jenderal senior ke Myanmar untuk berbicara dengan pemimpin junta dan berbagi pengalaman termasuk keberhasilan Indonesia melakukan transisi demokrasi pasca berakhirnya pemerintahan Presiden Suharto yang didukung militer pada tahun 1998.
“Ini soal pendekatan dan kami punya pengalaman. Di sini di Indonesia situasinya sama,” kata Jokowi dikutip Reuters, “pengalaman ini bisa ditelaah bagaimana Indonesia memulai demokrasinya.”
Tetapi situasi di Myanmar sekarang sangat kontras dengan Indonesia di masa lalu, termasuk selama pemerintahan otokratis Suharto, kata Greg Barton, seorang akademis kawasan Asia di Universitas Deakin Australia.
Ia menjelaskan rezim orde baru Soeharto saat itu didukung oleh militer yang sengaja dilemahkan dan sumber daya yang bergantung pada teknokrat untuk merencanakan dan mengarahkan pembangunan.
“Militer di Myanmar pascakudeta memiliki sumber daya yang relatif baik, tidak bertanggung jawab, dan dengan kejam menindas rakyatnya dengan mengobarkan perang melawan mereka,” kata dia.
Sehingga prospek keberhasilan dari rencana Jokowi itu tampaknya kecil, ujarnya.
Rencana Jokowi itu diberitakan tepat pada peringatan dua tahun kudeta militer di mana Junta mengumumkan perpanjangan enam bulan pemerintahan darurat di Myanmar.
Sejak kudeta, militer Myanmar telah melakukan penyiksaan yang meluas, penangkapan sewenang-wenang dan serangan yang menargetkan warga sipil, demikian laporan PBB dan kelompok hak asasi manusia.
Hampir 300 orang tewas dan lebih dari 17.000 telah ditangkap di Myanmar sejak kudeta 1 Februari 2021 itu menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang berbasis di Thailand.
“Tidak mungkin membujuk mereka”
Pengamat di Myanmar juga pesimistis dengan rencana Jokowi mengirim utusan militernya untuk membujuk pimpinan junta Jenderal Min Aung Hlaing.
Nay Phone Latt, juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang terdiri dari anggota parlemen yang dipilih secara demokratis yang digulingkan dalam kudeta, mengatakan dia menghormati upaya Indonesia untuk membantu, tetapi yakin hal itu akan gagal.
“Saya pikir tidak ada acara apapun untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin militer yang begitu agresif,” katanya kepada Radio Free Asia (RFA), media yang berafiliasi dengan BenarNews.
Seorang analis politik dan militer Myanmar, Than Soe Naing, mengatakan kepada RFA bahwa Jokowi adalah seorang “visioner dan taktis.”
Tetapi Than Soe Naing juga skeptis tentang hasil dari inisiatif presiden yang akan menuntaskan masa jabatannya tahun depan itu, dengan mengatakan bahwa para jenderal yang berkuasa di Myanmar “tidak memiliki simpati terhadap keinginan atau pandangan rakyat, tidak memiliki visi politik, (dan) tidak berpendidikan.”
“Saya pikir tidak mungkin membujuk mereka untuk berubah.”
Mungkin ada satu cara untuk mengubah situasi, menurut Hunter S. Martson, peneliti Asia di Universitas Nasional Australia.
“Jenderal Indonesia bisa lebih berpengaruh jika dia menyampaikan pesan yang kuat kepada junta Myanmar bahwa kebijakan mereka yang merusak akan membuat kawasan itu tidak stabil dan militer harus meninggalkan kekuasaan atau akan ada konsekuensinya,” kata Marston kepada BenarNews.
“Indonesia tidak mungkin menerapkan sanksi ekonomi, tetapi hal itu dapat mempersulit Myanmar dalam lingkup PBB atau dalam ASEAN mengingat besarnya (Indonesia),” ujar dia.
“Jika junta merasakan negara di kawasan meninggalkannya, mungkin akan terasa lebih banyak tekanan untuk melakukan reformasi,” kata dia.
Retret Menlu ASEAN
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah mengatakan beberapa nama jenderal senior yang muncul antara lain Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoeddin, Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
“Saya kira Wiranto paling mendekati karena berperan dalam masa transisi militer ke sipil di era Soeharto ke Habibie. Sementara tokoh lainnya lekat dengan partai politik oposisi sehingga dikhawatirkan akan menggoyahkan politik menjelang pemilu tahun depan,” kata dia kepada BenarNews.
Namun demikian, Dewi menilai seorang yang dikirim harus yang berpengalaman mengawal transisi demokrasi.
“Orang itu harus yang piawai berdiplomasi yang mampu berbicara secara efektif. Dia tidak terlibat permasalahan HAM, dan paham betul apa yang sedang dilakukan ASEAN,” katanya, merujuk pada Konsensus Lima Poin yang disepakati oleh para pemimpin blok tersebut dalam upaya membawa Myanmar kembali ke demokrasi namun selama ini telah diingkari oleh Junta.
Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun ini akan menyelenggarakan rangkaian pertama pertemuan Retret Menteri Luar Negeri ASEAN pada Jumat dan Sabtu bertempat di Sekretariat ASEAN.
Dalam press briefing minggu lalu Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan 11 negara menyatakan kehadirannya dalam pertemuan tersebut, termasuk Timor Leste yang sudah menjadi bagian dari ASEAN, tanpa mengatakan siapa yang akan hadir dari pihak non-political representative Myanmar.
Ketika ditanya kenapa Indonesia tak mengundang pihak NUG, kelompok yang terdiri dari anggota pemerintah sipil yang digulingkan, padahal Jakarta kerap kali menyerukan pentingnya dialog melibatkan semua pihak, Faizasyah menjawab: “Berkonsultasi tidak berarti diundang kan? Indonesia melangsungkan konsultasi dengan banyak pihak.”
RFA Layanan Burma ikut berkontribusi dalam laporan ini.