Jokowi Diminta Pimpin Sidang Pemberantasan Terorisme di AS
2016.02.12
Jakarta
Pertemuan puncak para kepala negara dan pemerintahan negara-negara anggota ASEAN dan Amerika Serikat (AS) akan berlangsung di Sunnyland, California, pada 15-16 Februari 2016. Ini adalah pertemuan pertama sejak kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku 31 Desember 2015.
"Presiden Obama telah meminta Presiden Jokowi untuk memimpin pembahasan mengenai pemberantasan terorisme," ujar Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Kerjasama ASEAN di Kementerian Luar Negeri, Derry Aman, dalam jumpa pers, Kamis, 11 Februari.
Derry menambahkan bahwa permintaan Obama dilatarbelakangi keberhasilan Indonesia dalam upaya pemberantasan terorisme. Seperti diketahui bahwa pada saat serangan teror Thamrin di Jakarta 14 Januari lalu, aparat keamanan berhasil mencegah serangan itu mencapai skala yang lebih besar seperti di Paris.
Serangan yang menewaskan empat warga sipil itu diduga dilancarkan oleh jaringan yang berafiliasi dengan Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) .
Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi akan mempresentasikan apa yang sudah dicapai selama ini dan bagaimana memperkuatnya, serta mencari ide-ide baru untuk memberantas paham terorisme dan ekstremisme, kata Derry.
Kerja sama antarnegara
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Indonesia sudah mempunyai kerja sama dalam bidang kontra-terorisme dengan berbagai negara, termasuk AS, Australia dan negara-negara anggota ASEAN.
"Presiden akan bicara mengenai mempererat kerja sama (kontraterorisme) antar-negara ASEAN dan mungkin Amerika serta beberapa negara asing lain," ujar Luhut dalam jumpa pers di kantornya, Jumat, 12 Februari 2016.
Menurut dia, Indonesia siap untuk bekerjasama dengan negara manapun dalam upaya pemberantasan terorisme.
"Kemarin Rusia juga datang menawarkan kerja sama (menangani terorisme), ya kenapa tidak. Kita negara yang tidak ikut blok manapun," jelas Luhut.
Menko Polhukam juga mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Nikolai Petrushev di kantornya, Selasa lalu.
Di antara kesepakatan yang dicapai adalah kerja sama penanganan terorisme dan pertukaran informasi intelijen. Luhut menilai Rusia memiliki kemampuan intelijen yang baik karena Moskow terlibat langsung dalam operasi memerangi ISIS di Timur Tengah.
Luhut juga menyebutkan, Indonesia akan menggagas pertemuan internasional khusus yang membahas penanganan dan penanggulangan terorisme.
"Presiden telah memberi green light kepada saya untuk melaksanakan sebuah pertemuan internasional untuk masalah penanggulangan terorisme dan deradikalisasi," katanya.
Ia menjelaskan pertemuan ini direncanakan akan diadakan dua bulan ke depan. Pertemuan yang akan diikuti negara-negara ASEAN, Australia, Inggris dan AS ini akan dilaksanakan di Jakarta.
Napi teroris di Nusakambangan
Pada kesempatan itu, Luhut juga menyampaikan hasil kunjungannya ke penjara Nusakambangan Kamis lalu. Menurutnya, para narapidana teroris yang sedang menjalani masa hukuman terlalu banyak mendapatkan kebebasan sehingga mudah menyebarkan ideologi radikal.
"Pemerintah sedang bekerja keras untuk meminimalkan kegiatan mereka ini," tegasnya.
Saat berada di penjara Nusakambangan, Luhut mengaku melihat banyak alat-alat komunikasi yang disita dari para napi. Untuk mengantisipasi para napi teroris dalam menyebarkan paham radikal dari penjara, dia mengatakan pemerintah akan mengisolasi mereka. Selain itu, para napi gembong narkoba juga akan diisolasi.
"Mereka akan ditempatkan satu sel satu orang. Sehingga para napi ini tidak bisa lagi mengendalikan operasi di dalam penjara," katanya.
"Yang dimaksud isolasi itu adalah setiap napi akan kami kelompokkan dalam kejahatan berat, sedang dan ringan, Yang berat akan kita tempatkan seorang dalam satu sel. Tetapi sel mereka akan dirotasi dan masih bisa dijenguk oleh keluarga sedarah. Jadi tidak seperti Guantanamo."
Revisi UU Antiterorisme
Langkah lain yang dilakukan pemerintah dalam membendung pengaruh paham radikalisme adalah dengan merevisi UU antiterorisme yang sudah disampaikan ke DPR.
Menurut Luhut, pemerintah berharap prosesnya tak akan lebih dari enam bulan, karena telah terjalin komunikasi dengan DPR sejak proses revisi dilakukan.
"Yang kita mau agar kita bisa melakukan apa yang dinamakan dengan tindakan preemptive. Jadi kalau kita duga ada kegiatan seperti ini (merencanakan aksi teror) kita bisa melakukan penahanan terhadap para pelaku dan orang-orang yang memfasilitasi untuk meminta keterangan mereka," kata Luhut.
Dia menekankan UU tersebut tidak sama dengan Internal Security Act (ISA) di Singapura dan Malaysia - yang oleh para aktivis dianggap melanggar HAM - karena dalam revisi UU Antiterorisme pasal yang mengatur ini jauh lebih moderat.