Indonesia, AS Berkomitmen Tingkatkan Kemitraan Strategis
2021.11.02
Jakarta
Amerika Serikat dan Indonesia sepakat untuk memperkuat kemitraan strategis kedua negara dalam pembicaraan antara Presiden Joe Biden dan Joko “Jokowi” Widodo yang merupakan pertemuan fisik pertama kalinya setelah pelantikan Biden sebagai Presiden AS pada Januari.
Biden dan Jokowi membahas sejumlah termasuk penanganan pandemi COVID-19, penguatan kerja sama ekonomi hijau, krisis politik di Myanmar dan kebebasan pelayaran di laut, kata pernyataan pemerintah kedua negara.
“Hari ini, saya menantikan adanya peningkatan kerja sama bilateral karena kita memiliki banyak kesamaan dan hal yang bisa dikerjakan bersama,” kata Biden dalam pertemuan Senin di sela Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia.
“Dari mengatasi krisis iklim sampai penanganan pandemi COVID-19 dan menegakkan kebebasan di laut, semua masalah global saat ini akan terbantu penyelesaiannya dengan kerja sama Indonesia dan Amerika Serikat,” ujarnya.
Jokowi mengatakan Indonesia dapat menjadi mitra kerja sama yang handal dan mengajak AS untuk investasi di ekonomi yang berkelanjutan.
“Saya harapkan dukungan AS melalui investasi yang mempercepat transisi energi, khususnya teknologi rendah karbon,” kata Jokowi, merujuk pada pengembangan mobil listrik dan baterai lithium di dalam negeri, demikian dikutip dari rilis resmi Sekretariat Presiden, Selasa.
Pertemuan antara Jokowi dan Biden terjadi di tengah ketegangan antara AS dan China, yang dalam beberapa tahun terakhir gencar berinvestasi di Indonesia dan merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.
Dinna Prapto Raharja, pakar hubungan internasional dan pendiri Synergy Policies, mengatakan pertemuan dan jalinan komunikasi yang terbangun antara Jokowi dan Biden tidak serta-merta menunjukkan bahwa saat ini Washington menaruh perhatian khusus pada Indonesia.
“AS tidak pernah ke mana-mana, AS selalu tertarik untuk terus terlibat di Indo-Pasifik karena punya kepentingan berhadapan dengan China, untuk tampil gagah di depan China,” kata Dinna kepada BenarNews.
Dinna beranggapan Indonesia hanya perlu membangun koridor kerja sama yang saling menguntungkan dengan AS.
“Joe Biden adalah presiden baru, wajib hukumnya dia datang ke Indonesia, bukan hanya menemui di side meeting KTT COP26. Apakah ini berarti AS hanya seperlunya saja dengan Indonesia? Ini yang harus kita waspadai,” katanya.
Ahmad Rizky M. Umar, pakar Ilmu Politik dan kandidat doctor di University of Queensland di Australia mengatakan Biden sedang memperluas kemitraan dengan negara-negara Asia dengan fokus utama untuk mengimbangi China.
“Beberapa bulan lalu [Wakil Presiden] Kamala Harris dan [Menteri Pertahanan] Lloyd Austin sudah keliling Asia Tenggara, dan konon akan membangkitkan kembali APEC secara lebih strategis,” ujar Rizky kepada BenarNews.
“Kalau yang saya baca Biden sedang mengarahkan sumber daya diplomatik dan pertahanan ke kawasan Indo-Pasifik, yang tentu juga mencakup Asia Tenggara,” ujarnya.
Seruan untuk junta Myanmar
Dalam pertemuan, Jokowi dan Biden juga membahas situasi keamanan terkini di Myanmar dan menyerukan kepada junta untuk segera membebaskan tahanan politik yang ditahan sejak kudeta militer 1 Februari 2021.
Pernyataan Gedung Putih menyebut, “keduanya menyampaikan keprihatinan terhadap kudeta yang terjadi di Burma dan bersepakat pihak militer harus menghentikan kekerasan, membebaskan semua tahanan, dan segera melakukan transisi demokrasi.”
Biden turut menyampaikan dukungannya terkait langkah blok regional yang memboikot kehadiran perwakilan politik Myanmar dalam KTT ASEAN pada akhir Oktober kemarin.
ASEAN memutuskan untuk tidak mengundang junta militer maupun tokoh politik Myanmar lainnya sampai rezim itu membuktikan komitmennya menjalankan lima poin konsensus yang disepakati sejak April, dalam upaya dialog perdamaian dari konflik yang bermula atas tudingan kecurangan dalam pemilihan umum yang memenangkan partai sipil, November tahun lalu.
Laporan Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) mencatat sejak 1 Februari 2021, sebanyak 1,229 orang meninggal dunia karena penggunaan kekerasan berlebihan militer Myanmar, dengan lebih dari 9.500 orang ditahan karena melawan rezim Tatmadaw.
Diplomasi pertahanan
Sementara itu, Jokowi bertemu Presiden Prancis Emmanuel Macron di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Italia pada Sabtu.
Dalam pertemuan itu, Jokowi mengungkapkan apresiasinya atas kemajuan dari kerja sama Indonesia-Prancis dan berharap hal itu membuka ruang bagi kerja sama yang strategis terkait pengembangan dan investasi di bidang industri pertahanan.
Usai pertemuan, Macron mengunggah status berbahasa Indonesia di akun Twitternya, “Bersama jajaran mitra, kita akan terus bertindak agar kawasan Indo-Pasifik tetap menjadi ruang untuk perdamaian dan kerja sama. Perihal ini, Indonesia adalah pelaku utama, lebih dari sekadar mitra, yakni sahabat @jokowi yang terhormat,” tulis Macron.
Pada Juni 2021, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menandatangani Persetujuan Kerja Sama Pertahanan dengan Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly di Paris, Prancis.
Kementerian Pertahanan RI menyebut kesepakatan itu mencakup kerja sama pertahanan dua negara pada sektor pendidikan dan pelatihan militer, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri pertahanan, kerja sama pasukan pemelihara perdamaian, pemberantasan terorisme, serta pengembangan dan penelitian industri pertahanan termasuk produksi bersama.
Pada awal Juli, Prabowo mengatakan pihaknya berharap Indonesia dapat mengakuisisi sejumlah pesawat tempur canggih seperti F-15 dari AS, Rafale dari Prancis, maupun Sukhoi Su-35 dan Su-57 dari Rusia.
Sebelumnya, media Prancis melaporkan bahwa Prabowo ingin membeli kapal selam Scorpene dari negara itu.
Dahnil Ahzar Simanjuntak, juru bicara Menteri Pertahanan, mengatakan konteks kerja sama yang sepakat untuk ditingkatkan dalam pertemuan Jokowi dan Macron akan fokus pada alih teknologi dan produksi bersama alat pertahanan.
“Prancis berkomitmen melakukan alih teknologi dan produksi dilakukan di Indonesia,” kata Dahnil, kepada BenarNews, Senin, tanpa memberi detail lebih jauh.
Kusnanto Anggoro, peneliti bidang politik dan keamanan internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta mengatakan tidak ada hal konkret baru yang terjalin dalam percakapan Jokowi dan Macron.
“Yang disampaikan itu kan hanya melanjutkan apa yang sudah diteken Menhan Prabowo sejak Juni kemarin. Ya, memang ini menjadi semacam simbol diplomatik yang lebih kuat. Tapi, tetap tidak akan ada artinya bila tidak ada follow up,” kata Kusnanto kepada BenarNews.
Akademisi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Edy Prasetyono mengatakan, kerja sama Indonesia-Prancis perlu dilihat pada aspek kebutuhan Jakarta untuk membangun kekuatan industri pertahanan dan bukan sebagai bagian dari dinamika hubungan Prancis-Australia pasca-pengumuman pakta pertahanan AUKUS.
“Kita selalu menjajaki semua opsi, tidak tergantung (ada tidaknya) AUKUS. Karena Indonesia memang perlu kerja sama pertahanan dengan negara-negara yang lebih maju,” kata Edy kepada BenarNews.
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat bulan lalu mengumumkan kerja sama pertahanan trilateral yang disebut AUKUS, yang memungkinkan Canberra memiliki armada kapal selam bertenaga nuklir dengan kemampuan jelajah bawah laut tanpa batas dan sulit terdeteksi.
Kerja sama itu membatalkan rencana pengembangan kapal selam bertenaga diesel Australia dengan Prancis senilai senilai U.S.$65 miliar atau setara Rp928 triliun—keputusan yang berujung pada ketegangan hubungan diplomatik kedua negara.
Rizky, kandidat doktor di University of Queensland mengatakan Prancis punya kepentingan untuk mengamankan posisi maritimnya di Samudra Hindia dan Pasifik, di mana negara itu memiliki teritori.
“Prancis sebenarnya punya outlook Indo-Pacific sendiri, yang dalam banyak hal juga concerned dengan China, terutama di Laut China Selatan. Di sisi lain, kita juga kerja sama ekonomi dan investasinya banyak dengan China,” ujarnya.
Kusnanto dari CSIS menambahkan, kerja sama pertahanan Indonesia-Prancis pada dasarnya tidak akan mengubah posisi Indonesia di tatanan global karena prinsip bebas dan aktifnya.
Namun demikian, pihaknya mengingatkan bahwa Indonesia memang memiliki ketergantungan dengan produsen persenjataan dari Negara Barat yang cukup tinggi sejak lama.
“Tapi, apakah Indonesia kemudian menjadi lebih ‘support’ AUKUS? Jawabannya bisa iya, tapi persoalannya ada pada ambiguitas kita yang tidak ingin mengakui saja,” kata Kusnanto.
“Saya kira, sebenarnya kita cukup nyaman dengan AUKUS. Bayangkan saja rumah tetangga punya ‘satpam’ baru masa kita tidak ikut merasa aman?” katanya, menuntaskan.