Temui Jokowi, Tokoh Papua Minta Konflik Dituntaskan dengan Dialog
2019.09.10
Jakarta
Presiden Joko "Jokowi" Widodo diminta menyelesaikan konflik Papua dengan cara-cara dialog, alih-alih bersikap keras dengan menghukum generasi muda Papua.
Permintaan itu disampaikan dalam pertemuan 61 tokoh Papua dan Papua Barat – yang terdiri dari pejabat daerah, tokoh adat dan agama, serta mahasiswa – dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 10 September 2019.
"Mereka (generasi muda Papua) jangan dihukum, tapi dibina karena mereka adalah masa depan Indonesia. Kami membuka hati seluas-luasnya, kami membuang semua atribut untuk berdialog yang jujur," kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua yang juga pemimpin suku Skouw, Papua, Abisai Rollo.
Ini adalah pertemuan pertama Jokowi dengan sejumlah tokoh Papua dan Papua Barat sejak meletusnya kerusuhan di beragam tempat, menyusul persekusi dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pertengahan Agustus lalu.
Lima orang tewas dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat demikian menurut pemerintah pusat, namun pemerintah lokal dan aktivis mengatakan setidaknya 13 orang termasuk seorang anggota TNI, tewas.
Sejauh ini, 95 orang telah ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan Papua, demikian menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo.
Selain meminta penyelesaian konflik lewat jalur dialog, Abisai turut menyampaikan beberapa hal lain kepada Jokowi – yang didampingi sejumlah menterinya, termasuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Dia, antara lain, meminta pemerintahan Jokowi untuk menjamin keamanan mahasiswa Papua. Menyusul tindakan rasisme yang diterima mahasiswa Papua di Jawa Timur pertengahan Agustus lalu, 700 mahasiswa asal Papua yang sedang kuliah di beberapa daerah di Indonesia dilaporkan telah pulang ke daerahnya sejak akhir pekan lalu karena khawatir.
Abisai juga meminta dibentuknya Badan Nasional Urusan Tanah Papua, pengadaan lembaga adat perempuan dan anak Papua, serta revisi Undang-undang Otonomi Khusus dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2020.
Sejumlah isu lain seputar pembangunan wilayah Papua-Papua Barat, seperti pemekaran provinsi dan pembangunan istana kepresidenan di Papua juga diminta tokoh provinsi paling timur Indonesia itu ketika bertemu Jokowi sekitar satu jam.
Seorang aktivis hak asasi manusia asal Papua, Yan Christian Warinussy, mengkritisi bahwa tuntutan ke-61 orang tersebut tidak sepenuhnya mewakili tuntutan warga Papua yang berdemonstrasi menolak rasisme dan ketidakadilan.
Warinussy menambahkan mereka yang seharusnya diundang untuk dialog saat ini justru dikriminalisasi dan ditahan karena terlibat dalam protes terkait Papua.
“Misalnya Buchtar Tabuni dan Agus Kossay, dua tokoh pimpinan Komite Nasional Papua Barat (KNPB),” ujar Warinussy melalui siaran persnya Selasa, seperti dikutip di laman Tempo.co.
Tanggapan Jokowi
Presiden Jokowi menanggapi positif pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat. Ia juga berjanji bakal mengunjungi Papua dalam waktu dekat.
"Saya akan berusaha (ke Papua) bulan ini. Tapi kalau meleset di Oktober. Karena saya ingin meresmikan jembatan Holtekamp," kata Jokowi di hadapan para tokoh, tanpa menjabarkan apakah kunjungan nanti disertai dialog dengan tokoh-tokoh lain di Papua.
"Juga melihat jalan Trans Papua yang sudah diselesaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum."
Adapun terkait rangkaian tuntutan yang disampaikan Abisai Rollo, Jokowi mengatakan akan segera mewujudkannya. Salah satunya terkait keinginan pemekaran wilayah Papua dan Papua Barat.
"Tapi jangan banyak-banyak dulu. Tadi Bapak menyampaikan tambahan lima (wilayah). Mungkin tidak lima dulu. Kalau enggak dua atau tiga," kata Jokowi.
Ia juga berjanji akan menggunakan kewenangannya untuk menerima 1.000 sarjana asal Papua untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta yang besar.
"Untuk BUMN dan perusahaan swasta besar akan saya paksa. Karena kalau lewat prosedur udah kelamaan. Jadi kewenangan saya, saya gunakan, agar bisa nerima yang baru lulus mahasiswa dari tanah Papua," kata Jokowi.
Dalam pertemuan ini, Jokowi juga banyak menceritakan pengalamannya mengunjungi Papua sebanyak 12 kali sejak terpilih sebagai presiden pada 2014.
Dukung dialog
Mengomenteri pertemuan antara Jokowi dan sejumlah tokoh, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan dialog memang menjadi kunci dalam penyelesaian masalah Papua.
"Bagaimana bisa saling tahu jika tidak duduk bersama?" kata Adriana kepada BeritaBenar.
Berdasarkan penelitian LIPI, tambahnya, pemerintah dan masyarakat Papua selama ini memang memiliki perspektif berbeda dalam memandang Papua.
Pemerintah lebih mengedepankan hasil seperti buah pembangunan, sementara warga Papua mengutamakan proses seperti pelibatan masyarakat Papua dalam pembangunan.
"Kedua hal itulah yang harus dibicarakan bersama-sama. Saya merasa sekarang adalah momentum pas untuk kembali mengadakan dialog," ujarnya.
Desakan bebaskan aktivis
Sementara itu Human Rights Watch (HRW) mendesak aparat untuk membebaskan para aktivis Papua yang ditahan.
“Menangkap aktivis itu salah. Mereka hanya mengibarkan bendera (separatis yang dilarang) dan meneriakkan kata “Merdeka” , yang bukan kejahatan,” kata Andreas Harsono, seorang peneliti HRW kepada BeritaBenar.
Ia menambahkan setidaknya 10 orang warga tewas dalam kerusuhan di Papua dan mendesak pemerintah untuk menginvestigasi kematian mereka.
“Kami berkonsultasi dengan ahli forensik dan foto-foto menunjukkan sejumlah luka konsisten yang disebabkan oleh peluru tajam,” tambahnya.
Polisi membantah menggunakan peluru tajam dalam merespons para pengunjuk rasa di Papua.
HRW mengatakan sebuah video memperlihatkan polisi berseragam menembakkan amunisi ke arah massa pengunjuk rasa di kantor Bupati Deiyai pada 28 Agustus dan yang sebuah video lainnya menunjukkan warga sipil, polisi, dan tentara berkumpul di sekitar asrama mahasiswa Papua di Abepura di Jayapura.
Seorang terbunuh dalam bentrokan di asrama mahasiswa tersebut ketika polisi menembakkan senjata untuk memisahkan dua kelompok yang saling bersinggungan pada 1 Agustus, menurut wakil wali kota Jayapura, Rustan Saru.
Sementara itu Dedi Prasetyo mengkonfirmasi bahwa tidak ada bukti bahwa Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok militan terafiliasi ISIS, ikut dalam kerusuhan di Papua.
“Keberadaan JAD di Papua terdeteksi sekitar dua tahun lalu, namun kami masih mendalami apakah mereka terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan itu, karena belum ada bukti,” kata Dedi kepada BeritaBenar.
Minggu lalu Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa JAD aktif di Papua. Namun ia tidak mengatakan apakah kelompok itu terlibat dengan kerusuhan baru-baru ini.