Jokowi Bertekad Bangun Papua yang Lebih Maju
2019.10.28
Jayapura

Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang melakukan kunjungan pertama ke Papua setelah dilantik untuk periode kedua, bertekad membangun Bumi Cendrawasih lebih maju, tetapi sebagian mengecam bahwa lawatan itu tidak menjawab permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi persoalan utama di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
"Kedatangan saya di Papua saat ini merupakan ke-13 kali dan kita bertekad untuk membangun Papua yang lebih maju," ujar Jokowi saat meresmikan Jembatan Youtefa di Jayapura, Senin, 28 Oktober 2019.
Jembatan Youtefa sepanjang 732 meter itu menghubungkan kawasan utama ibukota Jayapura dan Distrik Muara Tami. Jembatan yang diharapkan bisa mendukung perekonomian itu dibangun sejak 2015, menghabiskan anggaran sekitar Rp1,8 triliun.
"Jembatan ini juga menjadi tonggak sejarah di Tanah Papua bukan hanya simbol penting yang satukan kita, tapi juga simbol pentingnya kemajuan untuk bangun Tanah Papua," ujarnya.
Kunjungi Wamena
Sebelumnya meresmikan Jembatan Youtefa, Jokowi juga mengunjungi Wamena di Kabupaten Jayawijaya dimana pada 23 September lalu terjadi kerusuhan yang menewaskan setidaknya 40 orang dan memaksa belasan ribu warga, yang sebagian besar pendatang, mengungsi.
Pemerintah Indonesia menyalahkan kelompok pro Papua merdeka seperti Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) berada di belakang kerusuhan di Wamena dan di wilayah lain terkait isu Papua.
Selama di Wamena, Jokowi melihat langsung sisa-sisa bangunan yang hangus terbakar di pasar Wouma dan kantor Bupati Jayawijaya.
Jokowi mengaku telah memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang dibantu TNI untuk mempercepat pembangunan kembali Wamena.
"Pasar (Wouma) ini menjadi prioritas dan didahulukan. Saya sudah perintahkan dua minggu sudah harus selesai dan bisa beroperasi. Dengan demikian kegiatan perekonomian di pasar ini kembali berjalan normal seperti sebelumnya," katanya kepada wartawan.
Tagih janji Jokowi
Namun kunjungan Jokowi ke Papua tersebut, tidak disambut positif oleh sebagian kalangan.
Aktivis HAM Papua, Theo Hasegem, menyebutkan belasan kali kunjungan Jokowi tidak menyelesaikan satu pun masalah terkait konflik dan pelanggaran HAM, “padahal saat baru dilantik periode pertama, dia menjanjikan penuntasan itu.”
“Jika konflik di Papua berulang terus, pembangunan infrastruktur yang katanya untuk orang Papua nantinya siapa yang menikmati? Karena konflik di Papua selalu mengakibatkan orang Papua menjadi korban. Itu yang menjadi pertanyaan orang Papua hingga kini,” ujar Theo.
Lawatan Jokowi juga dikritik Veronica Koman, aktivis peduli Papua yang juga pengacara publik yang kini menetap di Australia usai polisi menetapkannya sebagai tersangka provokator di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, September lalu.
Insiden rasisme di Surabaya pada pertengahan Agustus lalu memicu aksi demonstrasi di Papua dan Papua Barat, yang beberapa di antaranya berakhir rusuh, sehingga menewaskan sejumlah orang.
“Sejauh ini mengecewakan karena tampak masih menggunakan pendekatan lama. Ada masalah besar di depan mata tapi pura-pura tidak melihat,” ujar Veronica ketika dihubungi BeritaBenar.
“Tampak puas dengan pendekatan infrastruktur, padahal lima tahun seharusnya cukup untuk sadar bahwa itu saja tidak cukup.”
Sejak pertama berkunjung ke Papua usai terpilih sebagai presiden pada 2014, Jokowi mengaku melihat langsung ketimpangan pembangunan infrastruktur dibanding daerah lain di Indonesia.
Pembangunan infrastruktur dan ekonomi memang menjadi prioritas Jokowi disamping sumber daya manusia, dan masalah hak asasi manusia yang pernah dijanjikannya dalam masa periode pertama pemerintahannya, tidak pernah menjadi perhatian serius.
Dikritik tidak peka
Rangkaian tiga hari kunjungan Jokowi ke Bumi Cendrawasih dimulai di Papua Barat, pada Sabtu malam. Sepanjang Minggu, dia melakukan beberapa kegiatan di Papua Barat, termasuk mengunjungi Pegunungan Arfak.
Meski kunjungan Jokowi di Pegunungan Arfak, mendapat sambutan hangat, tapi dikritik tokoh pemuda Papua karena dianggap tak peka dengan kehidupan masyarakat Papua yang didominasi umat Nasrani.
“Kunjungan ini mengganggu hari ibadah umat Nasrani. Ini menunjukkan sikap intoleransi dari pemimpin negara,” kata Samuel Tabuni, tokoh pemuda Papua.
Menurutnya, ada sekitar 3000-an orang di Pegungunan Arfak tidak pergi ke gereja hanya karena menyambut kedatangan Jokowi.
“Protokolernya tidak bijak dan menciptakan pelemik antar warga di Papua,” ujar Samuel.