Anggota MUI dan ketua partai terafiliasi JI divonis 3 tahun penjara

Walaupun sudah merupakan organisasi terlarang, Jemaah Islamiyah terus melebarkan sayap ke partai politik dan berkedok badan amal.
Arie Firdaus
2022.12.19
Jakarta
Anggota MUI dan ketua partai terafiliasi JI divonis 3 tahun penjara Dalam foto tertanggal 13 Oktober 2002 ini, polisi memeriksa reruntuhan bangunan yang hancur sehari setelah aksi terorisme ledakan bom di Kuta, Bali, yang dilakukan oleh jaringan Jemaah Islamiyah.
[File/AP]

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin (19/12) menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada mantan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dua tokoh lainnya usai terbukti membantu menyembunyikan informasi kegiatan kelompok terorisme.

Salah satu terdakwa, Ahmad Zain An-Najah (51), dinilai terbukti bersalah dengan menghadiri pertemuan membahas kelanjutan Jemaah Islamiyah (JI) di Bogor, Jawa Barat, setelah penangkapan amir (ketua) JI Para Wijayanto pada 2019, tapi tak melaporkannya kepada aparat hukum, kata ketua majelis hakim yang enggan disebutkan namanya atas pertimbangan keamanan.

Satu dari tiga anggota majelis hakim berbeda pendapat. Dia menilai Zain tidak dapat diputus bersalah karena berdasarkan keterangan saksi di persidangan, mantan anggota Komisi Fatwa MUI tersebut sekedar diundang untuk memberi ceramah dan beroleh bayaran usai kegiatan.

Namun dua hakim lain bersikukuh Zain tetap layak diputus bersalah karena sudah mengetahui JI sebagai kelompok terlarang di Tanah Air, namun tetap memutuskan hadir. Ia juga tidak menyuarakan penolakan tatkala terdakwa lain, Farid Okbah, mengutarakan ide agar JI berganti nama dan bersikap lebih terbuka.

“Terdakwa (Zain) tahu bahwa JI telah dilarang di Indonesia sehingga unsur memberikan kemudahan dengan menyembunyikan informasi terpenuhi secara hukum,” kata ketua majelis dalam pertimbangannya.

"Terdakwa telah memberi kemudahan demi masa depan JI serta agar sesepuh dan anggota yang berada dalam struktur aman dari penangkapan pihak kepolisian."

JI yang disebut aparat hukum sebagai dalang rangkaian teror di dalam negeri pada awal 2000-an --termasuk bom Bali tahun 2002 yang merenggut 202 korban jiwa, telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang lewat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008.

Besaran vonis Zain sesuai tuntutan jaksa yang menginginkan penyandang gelar doktor alumnus Universitas Al Azhar Kairo tersebut dihukum tiga tahun penjara.

Zain mengatakan akan mempertimbangkan putusan hakim sebelum memutuskan banding atau menerima, kata kuasa hukumnya Ismar Syafruddin. "Kami pikir-pikir dulu," ujar Ismar kepada BenarNews.

Sejak tersangkut kasus hukum, Zain sementara dinonaktifkan dari Komisi Fatwa MUI. Ia baru akan diberhentikan begitu putusan berkekuatan hukum tetap, kata Wakil Ketua MUI Anwar Abbas.

"MUI patuh pada hukum. Nanti setelah inkcraht (berkekuatan hukum tetap) akan diberhentikan," kata Anwar kepada BenarNews.

Sebagai pribadi, Anwar mengaku terkejut dengan kasus hukum yang menjerat Zain. Pasalnya berdasar pengalaman interaksi Zain dengan orang-orang di MUI, lelaki yang berasal dari organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tersebut adalah sosok yang baik, bahkan pernah memberi materi soal bahaya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

"Saya pribadi menolak terorisme dan radikalisme. Tapi berdasar cerita orang-orang, ia (Zain) sama sekali tidak radikal," kata Anwar.

Zain ditangkap Densus Antiteror 88 pada 16 November 2021 di Bekasi, Jawa Barat, dalam waktu yang hampir bersamaan dengan dua orang lain yakni Farid Okbah dan Anung Al-Hamat.

Vonis terdakwa lain

Dalam persidangan terpisah, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur juga menjatuhkan hukuman masing-masing tiga tahun penjara kepada Farid Okbah (59) serta Anung Al-Hamat (44) karena dianggap terbukti membantu tindak pidana terorisme di Indonesia. Besaran vonis keduanya sesuai dengan tuntutan jaksa.

Serupa dengan persidangan Zain, satu dari tiga majelis hakim juga memberikan dissenting opinion, berpendapat bahwa Farid dan Anung tidak dapat diputus bersalah.

Dalam pertimbangan putusan yang menyatakan Farid bersalah, hakim berpendapat bahwa Farid yang merupakan Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) tersebut terbukti memberikan kemudahan dengan menyembunyikan informasi pergerakan JI di Tanah Air, seperti termaktub dalam dakwaan kedua Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Fakta persidangan mengungkapkan bahwa Farid ikut serta dalam sejumlah pertemuan JI, termasuk mengutarakan ide agar JI berganti nama dan bersikap lebih terbuka dalam salah satu pertemuan pada November 2019 di Bogor.

Keterbukaan itu ditindaklanjuti dengan membentuk PDRI sekitar Mei 2021 yang merupakan penjabaran dari strategi Tamkin Jamaah Islamiyah, kata ketua majelis hakim.

"Usulan terdakwa (berupa) metode perjuangan terbuka dapat menghindarkan penangkapan anggota JI oleh aparat kepolisian serta memajukan perjuangan JI," kata ketua hakim.

"Terdakwa mengetahui JI telah dilarang, tapi hingga ditangkap 16 November 2021 tidak melaporkan pergerakan kelompok JI kepada aparat kepolisian."

Pertimbangan serupa disampaikan hakim dalam persidangan Anung Al-Hamat, dengan mengatakan bahwa Anung tetap menghadiri sejumlah pertemuan JI meski mengetahui bahwa kelompok tersebut telah dilarang pemerintah.

Anung bahkan bersedia saat ditujuk sebagai Pengawas Yayasan Bina Aila yang terafiliasi dengan JI, kata hakim.

"Terdakwa telah memberikan kemudahan agar sesepuh dan anggota JI aman dari penangkapan pihak kepolisian dan terhindar dari tuduhan terorisme, salah satunya dengan membentuk organisasi yang memiliki keabsahan hukum negara Indonesia," kata hakim.

Terkait putusan tersebut, Farid berencana mengajukan banding sementara Anung masih pikir-pikir, kata kuasa hukum keduanya, Ismar.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVe) Indonesia, Dete Alijah, mengatakan JI memang menerapkan strategi baru yakni mempersilakan anggota untuk terlibat kegiatan politik di Indonesia, salah satunya membentuk PDRI, untuk memperluas jaringan

Mereka juga berkamuflase dengan mendirikan organisasi berkedok lembaga amal seperti Syam Organizer dan Lembaga Baitul Maal Abdurrahman bin Auf (BM-ABA).

"JI memang mulai berubah dengan mempersilakan anggota terlibat kegiatan politik. Mereka mulai sadar untuk masuk ke dalam sistem pelan-pelan untuk mengambil kekuasaan," kata Dete kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa sejumlah simpatisan JI diketahui juga sempat terlibat dalam rangkaian unjuk rasa mendesak mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama untuk dipenjara terkait penistaan agama menjelang Pilkada DKI pada 2017.

PDRI tidak akan berpartisipasi dalam pemilihan umum 2024.

Perihal perubahan pola JI seperti membentuk partai politik juga terungkap dalam persidangan salah seorang tokoh senior JI, Abu Rusydan.

Fakta persidangan mengungkap bahwa anggota JI yakni Arif Siswanto dan Sirojudin pernah menemui Rusydan di kediamannya di Kudus, Jawa Tengah, guna menyampaikan bahwa JI hendak membuat wadah dan nama baru melalui partai dengan melibatkan Farid Okbah dan Ahmad Zain An-Najah.

Kala itu, Rusydan mempersilakan dengan catatan bahwa kegiatan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati agar para pengikut tidak terpengaruh sistem demokrasi yang dinilai tidak sesuai syariat Islam.

Rusydan yang merupakan residivis kasus terorisme kembali divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 14 September lalu.

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.