Japan Bergeser Menuju Energi Bersih di Asia Tenggara Saat Cina Menimbun Batu bara
2021.06.25
Jepang telah meluncurkan dana 10 miliar dollar AS untuk mempromosikan energi bersih di Asia Tenggara, di tengah berkembangnya tanda-tanda bahwa ekonomi terbesar ketiga dunia itu sedang beralih dari investasi dalam pembangkit listrik tenaga batu bara yang masih banyak dipromosikan oleh Cina, yang menjadi saingan strategis utamanya untuk pengaruh regional.
Kementerian Lingkungan Hidup, Perdagangan dan Industri Jepang pada akhir Mei meluncurkan Inisiatif Transisi Energi Asia (AETI), yang bertujuan untuk memungkinkan inovasi dan investasi lebih banyak dalam efisiensi energi, energi terbarukan, dan alternatif dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Jepang akan mendorong transformasi energi yang pragmatis menggunakan semua bahan bakar dan teknologi sehingga kawasan ASEAN dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan netralitas karbon pada saat yang sama,” ujar Hiroshi Kajiyama, menteri ekonomi, perdagangan, dan keuangan Jepang, saat jumpa media di pertengahan Juni.
Menurut pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah pertemuan virtual para menteri energi Asia Tenggara pada 21 Juni, Hiroshi mempresentasikan rencana tersebut dalam pertemuan tersebut. Para menteri menyambut baik inisiatif tersebut dan “dukungannya yang luas untuk transisi energi di ASEAN”.
"Telah terjadi pergeseran besar-besaran dalam kebijakan energi Jepang," ujar Tim Buckley, analis keuangan energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis yang berbasis di Australia. “ASEAN adalah pasar yang sempurna untuk mendapat keuntungan,” ujarnya, merujuk pada 10 negara anggota ASEAN. "ASEAN memiliki salah satu prospek pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi tertinggi di dunia."
Jepang dan ekonomi terbesar kedua di dunia, Cina, adalah dua investor energi terbesar di Asia Tenggara, kawasan yang sangat bergantung pada batu bara.
Cina, Jepang, dan Korea Selatan bertanggung jawab atas 90 persen pembiayaan yang dijanjikan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang masih berjalan di Asia Tenggara, menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis dan laporan Greenpeace Jepang.
Wilayah Asia Tenggara mengalami kenaikan permintaan listrik sebanyak 6 persen per tahun, dengan pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai sumber listrik yang paling cepat pertumbuhannya. Pembangkit listrik tenaga batu bara menghasilkan sekitar 56 persen listrik di Indonesia, 34,3 persen di Vietnam dan 29,3 persen di Kamboja. .
Proyek-proyek besar yang didanai oleh lembaga keuangan Jepang termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara Vung Ang-2 dengan kekuatan 1.200 megawatt di Vietnam, dan pembangkit 660 megawatt listrik di Cirebon, Indonesia, yang telah menuai protes atas dampaknya terhadap ekosistem bakau dan pesisir laut di sekitarnya.
Pengumuman lepas dari batu bara
Namun selama setahun terakhir, beberapa bank besar Jepang termasuk Japan Bank for International Cooperation dan MUFG, bersama dengan perusahaan perdagangan Sumitomo, telah mengumumkan mereka meninggalkan investasi di batu bara dan akan membatasinya di masa depan. Pembentukan Inisiatif Transisi Energi Asia dan dana baru adalah tanda-tanda bahwa Jepang tidak hanya berencana untuk keluar dari batu bara, tetapi juga untuk memberikan negara-negara ASEAN alternatif selain investasi batu bara dari Cina.
Romain Zissler, seorang peneliti senior di Renewable Energy Institute yang berbasis di Jepang, menggambarkan perkembangan tersebut sebagai “positif.” Dia melihat ada potensi dari keahlian Jepang dalam efisiensi energi, hidrogen, dan integrasi jaringan. “Jepang dapat memainkan peran utama dalam dekarbonisasi di Asia Tenggara.”
Dengan Korea Selatan juga menjajaki untuk meninggalkan investasi luar negerinya di batu bara, Cina dapat menjadi satu-satunya pemodal pembangkit listrik tenaga batu bara, dan importir utama bahan bakar fosil dari Asia Tenggara, termasuk batu bara dari Indonesia dan minyak dari Malaysia.
China telah menggelontorkan miliaran dolar untuk menbiayai proyek-proyek industri dan batu bara karbon tinggi di Asia Tenggara melalui inisiatif strategis pembangunan infrastruktur globalnya, One Belt, One Road (OBOR), yang diadopsi pada tahun 2013. Namun investasi Cina sangat sedikit untuk energi bersih seperti matahari dan angin, yang relatif masih belum banyak dibangun di wilayah tersebut.
“ASEAN benar-benar menjadi penghambat dunia dalam mengembangkan energi terbarukan. Hal itu dikombinasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan emisi gas rumah kaca yang terus bertambah besar,” ujar Buckley, merujuk pada tersedianya pembiayaan yang cukup untuk batu bara, standar lingkungan yang lemah, dan pasar regional yang lemah untuk energi terbarukan.
Buckley melihat ada hubungan langsung antara perluasan pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang terbatas di Asia Tenggara dan investasi bahan bakar fosil Cina, Jepang, dan Korea. “Jika Anda mencoba melakukan energi terbarukan, Anda berkompetisi dengan batu bara asing bersubsidi,” ujar Buckley. “Sebelum tahun 2020, tidak ada contoh investasi yang cukup besar dalam energi terbarukan di mana pun di ASEAN.”
Mengunci emisi
Para pakar khawatir bahwa investasi Cina yang terus berlanjut di pembangkit listrik tenaga batu bara, yang kebanyakan dibangun dengan pembayaran yang dijamin dan masa operasional selama dua sampai empat dekade, dapat mengunci emisi gas rumah kaca, dan membuat energi terbarukan sulit bersaing.
Ada terlihat tanda-tanda pergeseran, tetapi bukan karena keputusan yang dibuat di Beijing. Laporan yang dikeluarkan oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) awal bulan ini menemukan bahwa proyek yang ditangguhkan atau dibatalkan karena masalah ekonomi dan lingkungan berdampak pada proyek batu bara yang didanai China di Asia Tenggara, dan bahwa penyebab utamanya adalah dari dalam negeri.
“[Pembatalan] lebih didorong oleh negara penerima daripada keragu-raguan Cina untuk menghentikan pembiayaan batu bara,” ujar Isabella Suarez, analis energi CREA yang berbasis di Filipina.
Tetapi hal itu tidak akan cukup untuk memenuhi target iklim yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius. Asia Tenggara sejauh ini tertinggal dari kawasan lain dalam upaya mengurangi emisi.
Walaupun ada retorika bertahun-tahun tentang penghijauan melalui inisiatif OBOR, batu bara tetap menjadi investasi luar negeri yang utama bagi Cina, terutama di Asia Tenggara.
Laporan yang dirilis oleh International Institute of Green Finance pada Januari lalu menemukan bahwa meskipun ada penurunan secara keseluruhan dalam investasi bahan bakar fosil di inistiatif OBOR, proporsi investasi batu bara tetap stabil, dan belum ada pertumbuhan yang sama dalam investasi di tenaga surya dan angin.
Suarez berharap bahwa dana dekarbonisasi Jepang dan dana “Build Back Better” yang berfokus pada iklim, yang diumumkan pada pertemuan puncak negara-negara industri G7 pada bulan Juni dengan tujuan untuk melawan OBOR, dapat mendorong Cina untuk mempertimbangkan kembali dampak lingkungan dan iklim dari portofolio investasinya di Asia Tenggara yang sarat dengan batu bara.
Suarez mengatakan bisa jadi bahwa upaya-upaya Jepang dan G7 untuk menandingi program investasi OBOR “dapat menimbulkan tekanan” untuk membuat Cina pada akhirnya mengeluarkan pedoman penghijauan dari program One Belt, One Road-nya.