RKUHP dan Buruh Migran Jadi Fokus Peringatan IWD
2018.03.08
Jakarta
Desakan untuk pembatalan Revisi Undang-Undang KUHP dan perlindungan terhadap buruh migran menjadi fokus yang disoroti sekitar 1.000 pengunjuk rasa dalam puncak peringatan Hari Perempuan Internasional di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis, 8 Maret 2018.
Sambil meneriakkan yel-yel, “UU RKUHP, cabut sekarang juga!”, para pengunjuk rasa yang tergabung dalam “Parade Juang Perempuan Indonesia” menilai bahwa RUU KUHP berpotensi menjadi ancaman terhadap warga negara.
Mereka berasal dari berbagai kelompok masyarakat di antaranya buruh, nelayan, komunitas penghayat, kelompok difabel, korban kekerasan HAM, remaja dan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), serta kelompok lain.
Mereka menilai RUU KUHP bertentangan dengan semangat perlindungan anak, khususnya UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan belum mempertimbangkan dampak kelembagaan jangka panjang pada upaya reformasi kehidupan perempuan dan kelompok marjinal.
“Jika disahkan, RKUHP akan berdampak lebih luas yang mempengaruhi ketenteraman, keamanan, dan kesejahteraan hidup semua warga negara Indonesia tanpa melihat usia, jenis kelamin, agama, suku, dan golongan,” ujar Koordinator Lapangan Aksi, Jumisih.
DPR pada Februari lalu memutuskan untuk menunda pengesahan rancangan KUHP karena masih ada sejumlah pasal yang diperdebatkan dalam Panitia Kerja sehingga pembahasannya diperpanjang.
Para pengunjuk rasa juga menuntut perlindungan terhadap kaum perempuan buruh migran yang kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan berlapis.
Berbagai bentuk pelanggaran tersebut – termasuk eksploitasi jam kerja, pemotongan gaji atau gaji yang tak dibayarkan, perpindahan majikan yang ilegal, kekerasan fisik, psikis dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa.
LGBT
Isu lain yang disoroti adalah tentang diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum LGBT.
“Mereka tidak hanya menjadi kelompok yang mendapatkan kekerasan, bahkan dianggap sebagai kelompok yang dilarang hidup di Indonesia di masa sekarang ini,” ujar Jumisih.
“Di tengah-tengah kita sekarang ada kawan-kawan LBT [Lesbian, Biseksual, Transgender] yang juga menuntut kebebasan demokrasi. Mereka di sini juga bagian dari kita, untuk menuntut hak hidup, bernapas, dan berkembang.”
Para pengunjuk rasa juga menuntut agar beberapa RUU segera disahkan, termasuk RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kebijakan yang berpotensi melindungi perempuan dan kelompok marginal di masyarakat justru diabaikan,” ujar Jumisih.
Menurutnya, RUU PPRT dan RUU KKG tidak menjadi prioritas program legislasi nasional 2018.
“Padahal keduanya merupakan RUU yang strategis untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di Indonesia, dan telah terlalu lama tertunda,” ujarnya.
Memasuki tahun politik 2018 dan 2019, pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah tidak membiarkan intoleransi merajalela.
“Wujudkan politik Pemilu dan Pilkada yang bebas dari SARA,” tuntut mereka.
Aksi Kamisan
Ada yang berbeda pada peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini. Sejumlah orang yang kerap terlihat dalam Aksi Kamisan, untuk menuntut penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bergabung dengan para pengunjuk rasa.
Salah satunya adalah Maria Catharina Sumarsih, ibunda Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa yang menjadi korban Tragedi Semanggi 1998. Sumarsih berharap agar Presiden Joko “Jokowi” Widodo konsisten dalam pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Ketika hari ini Presiden mengucapkan selamat kepada kaum perempuan, Jokowi juga harus menghormati hak-hak perempuan. Kami di sini para perempuan, termasuk saya seorang ibu yang melahirkan Wawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi 1, menuntut komitmen Jokowi saat kampanye calon presiden. Namun sampai sekarang tidak diwujudkan,” ujar Sumarsih kepada BeritaBenar.
“Menuju 20 tahun reformasi, kami berharap negara melaksanakan enam agenda reformasi. Selama agenda reformasi yang diperjuangkan Gerakan Mahasiswa 98 tidak dilaksanakan pemerintah, masyarakat sulit mencapai kondisi makmur dan sejahtera sebagai mana yang disuarakan Presiden Jokowi,” tegas Sumarsih.
Jokowi lewat akun Twitternya menuliskan, “Selamat Hari Perempuan Internasional kepada ibu-ibu dan seluruh perempuan Indonesia yang saya banggakan dan hormati. Saatnya perempuan makin aktif berkarya dan bisa mendapatkan hak-haknya untuk kehidupan lebih tentram, makmur, dan kehidupan yang semakin berkeadilan.”
Kekerasan meningkat
Sementara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 25 persen sepanjang tahun 2017 dari tahun sebelumnya.
Dari 348.446 kasus tercatat, kekerasan siber (maya) dan kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga kandung mendominasi jumlah kasus.
Sedangkan pada 2016, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada tahun ini, kasus kekerasan tertinggi tercatat di Jakarta, dengan jumlah 1.999 kasus. Jawa Timur menyusul di posisi kedua (1.536 kasus), kemudian Jawa Barat (1.460 kasus) dan Jawa Tengah (1.191 kasus).
"Kenaikan jumlah tidak dapat disimpulkan bertambahnya kekerasan atas perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin kepada wartawan, Rabu, 7 Maret 2018.
Komnas Perempuan melihat peningkatan kasus justru menunjukkan semakin beraninya korban melaporkan kekerasan yang menimpa mereka.