Pro Kontra Naiknya Iuran BPJS Kesehatan

Zahara Tiba
2016.03.30
Jakarta
160330_ID_BPJS_1000 Seorang peserta BPJS Kesehatan menunjukkan kartunya dan anggota keluarga di Jakarta, 29 Maret 2016.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Pemerintah akan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 April 2016 karena badan tersebut dilaporkan mengalami defisit anggaran sebesar Rp6 triliun tahun lalu.

Defisit itu terjadi karena pendapatan tahun 2015 sebesar Rp55 triliun tidak mampu menutupi besarnya klaim rumah sakit yang mencapai Rp61 triliun. Pendapatan itu berasal dari iuran 157,4 juta orang peserta BPJS Kesehatan.

Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi mengatakan keputusan menaikkan premi diambil melalui pembahasan panjang sejak Oktober tahun lalu.

Ada tiga opsi muncul yakni penyesuaian manfaat, penyesuaian iuran, dan tambahan alokasi dana dari pemerintah. Opsi kedua disepakati dan ditetapkan lewat Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 sebagai payung hukumnya.

“Diharapkan penyesuaian iuran bisa menutupi kekurangan yang terjadi,” kata Irfan kepada BeritaBenar, Selasa, 29 Maret 2016.

Dengan keputusan itu, maka iuran kelas I naik dari Rp 59.500 menjadi Rp80 ribu, kelas II dari Rp42.500 menjadi Rp51 ribu, dan kelas III yang semula Rp25.500 menjadi Rp30 ribu.

Jika defisit masih terjadi, Irfan menegaskan pihaknya akan menagih janji pemerintah yang telah berkomitmen untuk menutupinya.

Meski ada kenaikan iuran, Irfan optimistis target BPJS Kesehatan menambah jumlah pesertanya menjadi 188 juta orang tahun ini dapat tercapai.

Timbulkan pro kontra

Keputuan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

Deni Faisal Anwar (37) setuju dengan keputusan pemerintah. Peserta BPJS kelas II beserta istri dan seorang anaknya mengaku kenaikan iuran belum memberatkannya.

“Kalau untuk kesehatan, tidak masalah dengan nominal kenaikan (yang ditetapkan). Hanya saja pelayanannya harus diperbaiki,” tuturnya saat ditanya BeritaBenar.

“Saya belum pernah coba (memakai BPJS), namun selama ini saya lihat belum baik. Antrian (di rumah sakit) terlalu panjang, banyak yang mengeluh tentang sistem administrasinya juga,” tambahnya.

Dia berharap agar masyarakat bisa diperlakukan dengan baik bila berobat di rumah sakit bila memakai jasa BPJS Kesehatan.

“Saya berharap masyarakat tidak terlalu sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Dahulukan pelayanan, bukan administrasi,” ujarnya.

Kritik datang dari warga lain. Sandro Geri (29), yang punya istilah sendiri untuk pelayanan BPJS Kesehatan.

“Banyak Pasien Jasa Sedikit,” tukasnya.

Dia menilai pelayanan dan sistem administrasi BPJS Kesehatan masih amburadul.

“Tidak sinkron dana yang dialokasikan dengan jumlah peserta. Sebaiknya dana BPJS dikelola secara syariah. Tidak semua dana dikeluarkan untuk klaim, cukup 70 persen saja. Sisanya buat cadangan,” paparnya.

Ketua BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai langkah pemerintah belum tentu bisa mengatasi defisit.

Keputusan ini, katanya, bisa berubah jadi kontraproduktif karena banyak peserta kelas III akhirnya masuk ketegori Penerima Bantuan Iuran (PBI), sementara kelas II dan kelas I menjadi tidak mampu dan akhirnya tidak ikut lagi.

“Akibatnya potensi income yang didapat jadi hilang,” jelasnya kepada BeritaBenar.

Daripada menaikkan iuran, BPJS Watch mengusulkan manajemen BPJS Kesehatan lebih meningkatkan jumlah kepesertaan, terutama Peserta Penerima Upah (PPU) yang mayoritas berpenghasilan tetap.

BPJS Watch mencatat jumlah peserta PPU baru delapan juta orang, sementara para pekerja formal di Indonesia mencapai 35 juta orang.

Dengan menambah jumlah peserta delapan juta orang lagi, Timboel menghitung ada pemasukan untuk menutupi defisit seperti diklaim manajemen BPJS Kesehatan.

Hitungannya adalah delapan juta orang bergaji rata-rata Rp2 juta sebulan dikalikan lima persen untuk iuran dikalikan 12 bulan. Hasilnya adalah Rp. 9,5 triliun.

“Harusnya defisit sudah tertutupi,” ujarnya.

Perbaikan manajemen

Timboel juga menyarankan ada perbaikan manajemen BPJS Kesehatan, terutama di kalangan verifikator rumah sakit.

Selama ini, katanya, banyak pihak rumah sakit melakukan akal-akalan untuk menagih klaim besar ke BPJS Kesehatan karena lemahnya daya tawar verifikator rumah sakit.

“Misalnya rumah sakit mendiagnosa pasien demam ringan, tapi diklaim jadi demam tinggi. Itu biayanya beda lagi,” ujarnya memberi contoh.

“Ada lagi kasus pasien belum sehat, tetapi harus pulang karena kuota mereka sudah habis. Lalu masuk lagi sehingga klaim menjadi dua kali. Bayaran BPJS semakin besar. Banyak kejadian juga pasien harus beli obat sendiri.”

Jika pemerintah tidak mampu menangani pangkal masalah ini, lanjut Timboel, defisit akan terus terjadi.

“Pemerintah harus lebih bijak. Presiden Jokowi seharusnya menunda dulu kenaikan premi dan mengkaji kembali keputusannya. Harus ditekankan perbaikan manajemen terlebih dahulu,” tutupnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.