Pakar: Pendidikan Islam Indonesia Promosikan Islam Moderat
2016.04.29
Washington DC
Pendidikan Islam di Indonesia aktif mempromosikan Islam moderat dan menerapkan pendidikan formal dalam rangka memerangi ekstrimisme agama dalam masyarakat, demikian disampaikan pakar pendidikan Islam, Fauziah Fauzan, di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis, 27 April 2016.
Dalam diskusi “Ekstrimisme Agama: Perspektif Indonesia” di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington DC, pimpinan Pondok Pesantren (ponpes) Diniyyah Putri di Padang Panjang itu, mengatakan bahwa pendidikan Islam di tanah air didasarkan pada Islam yang moderat, ramah dan sopan (Wasathiyah).
“Presiden Jokowi telah mengadakan pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dalam pertemuan tersebut mereka mendeklarasikan program Islam Wasathiyah, untuk semua wilayah Indonesia termasuk ke sekolah-sekolah Islam,” kata Fauziah.
Selain Fauziah, sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Imam Shamsi Ali, diaspora Indonesia yang menjadi pemimpin Masjid Al-Hikmah, New York, dan Shaariq H. Zaafar, Utusan Khusus Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat untuk komunitas Muslim.
“Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, kami punya lebih dari 200 juta Muslim dan kami adalah negara demokratis,” ujar Shamsi Ali, “jadi Indonesia menurut saya adalah negara terbaik yang bisa mewakili fakta bahwa Islam dan demokrasi bisa jalan beriringan.”
Hal serupa disampaikan Shaariq Zaafar. Menurutnya, jaringan pesantren di Indonesia adalah model yang baik dalam melihat Islam dan demokrasi bisa sejalan.
“Jaringan pesantren, madrasah. Ya, mereka belajar Al-Quran dan Sunnah, tapi mereka juga belajar filsafat, ekonomi, kalkulus…. Anda bahkan bisa membawa sertifikat dari pesantren ke universitas di Indonesia, ke kampus manapun. Itu adalah sebuah model,” kata Shaariq.
Ekstrimisme masalah bersama
Menurut Shamsi Ali, ekstrimisme adalah masalah besar di masyarakat kita saat ini dan ini tidak hanya menyangkut agama. “Ekstrimisme di semua bidang sangatlah berbahaya, termasuk di bidang politik,” kata imam asal Bulukumba Sulawesi Selatan ini, yang juga adalah pimpinan Jamaica Muslim Center di Queens New York. Menurutnya, ada empat faktor utama yang menyebabkan ekstrimisme, yaitu ketidakpedulian, media yang berat sebelah, politik, dan interpretasi ayat suci di luar konteks.
“Kita harus memiliki informasi yang benar. Informasi tersebut harus dibangun dari pemahaman yang benar pula. Informasi dan pemahaman akan membentuk pengetahuan, tapi pengetahuan tanpa aplikasi adalah percuma,” ujar Ali.
Fauziah menekankan bahwa ekstrimisme bertentangan dengan Islam, khususnya Islam di Indonesia.
“Islam bisa diterima karena disampaikan dengan cara yang baik, dengan prinsip kesetaraan antar manusia,” ujarnya.
Pendidikan Islam sebagai solusi
Fauziah mengatakan bahwa pesantren modern bisa menjadi model pendidikan dalam membuat santri menjadi bagian dari masyarakat global. “(Pesantren) kami memiliki program yang menggabungkan penganut-penganut agama lain dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Australia, Jepang, dan Eropa,” paparnya.
Ia menjelaskan bahwa pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah Islam sedang dalam proses menerapkan kurikulum baru yang modern, toleran dan anti-bullying bernama QUBA, singkatan dari Quran, Sunnah, Brain (otak) dan Attitude (perilaku).
“Yang terpenting adalah perilaku. Dalam kurikulum QUBA, semua mata pelajaran terhubung dengan perilaku. Anda tak bisa lulus hanya dengan menjadi pintar,” kata Fauziah.
Ia juga mengatakan bahwa sekolahnya tegas pada guru yang menggunakan kekerasan baik verbal ataupun fisik. “Jika ada guru yang menggunakan kekerasan, maka kami akan bilang, ‘ini hari terakhir Anda mengajar di sini.’”
“Kurikulum QUBA saat ini banyak diikuti oleh ponpes-ponpes dan sekolah-sekolah Islam lain di seluruh Indonesia,” tutur Fauzia.
Di sisi lain, Shamsi Ali berpendapat bahwa selain pendidikan Islam yang baik, Muslim dan umat beragama harus berani untuk meninggalkan ketidakpedulian dan meningkatkan hubungan antar agama.
“Tantangannya ada di luar sana. Yang tersulit adalah saya harus berhadapan dengan komunitas Muslim saya sendiri,” kata Ali yang mengaku seringkali dituduh secara negatif karena bersahabat dengan berbagai kalangan dari agama-agama yang berbeda.
“Sebagai umat beragama kita harus jujur bahwa kita mau solusi. Kita harus menyiapkan lahannya. Kita harus berubah,” kata Ali menyimpulkan.