Membawa Bendera ISIS Seorang Laki-Laki Membunuh Polisi di Kalsel
2020.06.01
Banjarmasin & Jakarta

Seorang lelaki yang membawa bendera kelompok ekstremis ISIS membunuh seorang polisi dan melukai seorang lainnya dengan samurai, sebelum dirinya sendiri akhirnya tewas ditembak, di Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Daha Selatan, Kalimantan Selatan, Senin (1/6) dini hari, demikian pihak berwenang.
Pelaku yang diketahui bernama Ana Abdurrahman (19) itu tewas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hasan Basry Kandangan akibat peluru yang ditembakkan aparat saat hendak meringkusnya di tempat kejadian, kata Kabid Humas Polda Kalimantan Selatan, Mochamad Rifai, menambahkan motif pelaku masih ditelusuri.
“Saat ini sudah diperiksa saksi-saksi dari masyarakat setempat dan keluarga korban. Pelaku hanya satu orang,” kata Rifai kepada BenarNews.
Rifai mengatakan, pelaku lebih dulu membakar satu unit mobil patroli yang terparkir di halaman Polsek Daha Selatan sebelum menyerang aparat yang sedang melakukan jaga malam.
Setelah membakar, sambung Rifai, pelaku lalu masuk ke ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di dalam polsek dan menyerang Brigadir Leonardo Latupapua dengan samurai. Setelahnya pelaku mengejar dua anggota lainnya, Brigadir Djoman Sahat Manik Raja dan Bripda M Azmi, di ruang reserse kriminal.
“Brigadir Leonardo mengalami luka bacok dan meninggal di tempat kejadian,” kata Rifai.
Brigadir Azmi saat ini sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat luka bacok oleh pelaku, kata polisi.
Dari tempat kejadian, aparat kepolisian menemukan sejumlah barang bukti seperti satu bilah samurai, satu sepeda motor, satu bendera hitam ISIS dan kartu keanggotaan kelompok radikal itu, dan satu Alquran kecil, kata Rifai.
Pelaku juga meninggalkan selembar surat wasiat ditulis dengan tangan berisi ajakan jihad melawan thogut (orang yang dianggap kafir).
“Dokumennya terkait ISIS. Tapi kami belum bisa memastikan apakah dia anggota ISIS atau bukan,” tukas Rifai.
Adhe Bakti, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Deradikalisasi (PAKAR) mengakui bahwa pola serangan yang digunakan identik dengan kelompok yang terafiliasi dengan ISIS, namun mengatakan saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan afiliasi dan motif pelaku.
“Kalau kami lihat polanya memang tidak baru ya. Ketika mereka menyerang polisi ya seperti membabi buta itu. Tapi masih belum bisa dinyatakan demikian sampai ada dokumen resmi dari kepolisian,” kata Adhe dalam diskusi daring, Senin.
Orang asing
Kepolisian Daha Selatan menyebut pelaku adalah warga Desa Bayanan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
“Pelaku tinggal satu kampung dengan korban, Brigadir Leo. Namun tidak saling mengenal,” kata Rifai.
Kepala Desa Bayanan yang terletak di antara perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, mengaku tidak mengetahui jika Abdurrahman adalah warga di wilayahnya.
“Saya tidak pernah melihat atau mendengar pelaku ini. Bahkan fotonya juga terasa asing bagi saya,” kata Kepala Desa Bayanan, Hasan, saat dihubungi BenarNews, Senin (6/1).
Sebaliknya, Hasan mengakui bahwa dirinya mengenal personil Polsek Daha Selatan, almarhum Brigadir Leonardo Latupapua yang menjadi korban serangan Abdurrahman. Menurutnya, Leonardo adalah seorang mualaf setelah mempersunting seorang perawat Desa Sungai Pinang, kampung sebelah Desa Bayanan.
“Sekarang ini (istrinya) menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan Pak Leo,” kata Leo.
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, Irjen Nico Afinta, mengonfirmasi pemberian penghargaan kepada almarhum Leonardo dengan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) oleh Kepala Kepolisian RI, Jenderal Idham Azis.
“Kapolri sudah berikan penghargaan KPLB kepada almarhum,” kata Nico, dalam pernyataan tertulis yang diterima BenarNews, Senin.
Kapolri, menurut Nico, juga meminta jajaran Polda Kalimantan Selatan untuk membantu dan memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan korban.
"Anak korban ada 2 masih kecil-kecil. Satu umur 7 tahun dan satu 4 tahun, saya ke kediamannya menyampaikan duka cita dari Kapolri," kata Nico.
Incaran sejak 2010
Mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsauri, mengatakan masifnya pemberantasan terorisme oleh pemerintah menyebabkan aparat keamanan menjadi sasaran serangan kelompok radikal sejak tahun 2010.
“Satu dekade sebelumnya sasaran mereka adalah simbol asing dari negara Barat, karena Osama bin Laden,” kata Sofyan dalam diskusi daring, Senin.
Pada 2010, aparat kepolisian telah menjaring lebih dari 100 orang yang terafiliasi dengan kelompok radikal di Aceh, selain itu, lebih dari 30 orang ditembak mati. “Hasrat untuk balas dendam pasti tinggi,” ucapnya.
Selain aparat kepolisian, pada Oktober 2019, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto juga jadi sasaran aksi teror melalui aksi penusukan oleh pasangan suami istri simpatisan ISIS di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten.
Sang suami, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara (51) yang menusuk Wiranto, serta Fitri Diana yang menusuk polisi yang di sampingnya, didakwa melanggar Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2018 tentang pemufakatan jahat dan penggunaan kekerasan, dengan ancaman maksimum hukuman mati.
Adhe Bakti, menyatakan kelompok pengusung kekerasan, termasuk yang terafiliasi dengan ISIS, pada dasarnya memiliki pola pikir yang sederhana terhadap target-targetnya.
“Selama mereka punya kesempatan, ya tidak peduli siapa saja yang ada di depannya. Kebetulan kasus yang di Banten itu yang muncul di depan mereka Pak Wiranto, jadi ya seperti hadiah bagi mereka,” kata Adhe.
“Bahkan, di saat wabah seperti saat ini, ada peluang sekecil apapun menyerang musuh, ya itu yang akan mereka lakukan,” tukasnya.