Polda Aceh akui kurangnya patroli laut menyulitkan penyelamatan pengungsi Rohingya

Bakamla mengakui tidak memiliki anggaran operasional untuk mencari tahu keberadaan pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan sekitar perairan Aceh.
Pizaro Gozali Idrus & Dandy Koswaraputra
2022.12.28
Jakarta
Polda Aceh akui kurangnya patroli laut menyulitkan penyelamatan pengungsi Rohingya Sejumlah orang-orang Rohingya duduk di kapal ketika tiba di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh, pada 31 Desember 2021 setelah mereka terdampar berhari-hari di laut.
[Rahmat Mirza/AP]

Otoritas keamanan Indonesia tidak memiliki cukup kapal patroli laut untuk memungkinkan mereka menemukan dan membawa kapal Rohingya ke pantai lebih cepat, kata Kapolda Aceh kepada wartawan hari Rabu, (28/12) beberapa hari setelah kapal dengan hampir 200 pengungsi yang kelaparan mendarat di provinsi tersebut.

Dalam kondisi seperti ini, menemukan perahu pengungsi seperti “mencari jarum di tumpukan jerami,” kata Badan Keamanan Laut (Bakamla) kepada BenarNews.

“Tidak adanya patroli laut menyebabkan pengungsi Rohingya yang sempat terombang-ambing di luat luas baru hanya dapat diselamatkan setelah mereka ada di pinggir pantai,” kata Kapolda Aceh Irjen Ahmad Haydar, Rabu.

Sementara itu, juru bicara Bakamla mengatakan lembaganya sudah tidak memiliki dana operasi lagi untuk mencari para pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan.

“Satu kelemahan kita karena tidak ada patroli laut, dan terbatas, sehingga mereka ketahuannya ketika sudah di pinggir (pantai). Mau tidak mau, masyarakat itu memberikan bantuan,” kata Haydar dalam konferensi pers akhir tahun di Polda Aceh, Banda Aceh.

Aceh kedatangan dua gelombang pengungsi Rohingya dari lautan ke wilayah Aceh yakni 57 orang pengungsi Rohingya di Kabupaten Aceh Besar pada 25 Desember dan 185 orang di Kabupaten Pidie pada esok harinya.

Haydar mengatakan masyarakat awalnya juga tidak mengetahui keberadaan kapal-kapal pengungsi Rohingya di lautan dan baru menyadari setelah mereka merapat ke pinggir pantai.

“Apa yang dilakukan? Pertama, sebagai manusia pasti menolong,” terang Haydar.

Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia, berterima kasih kepada Indonesia dan masyarakat di Aceh yang telah mengizinkan para pengungsi Rohingya turun.

"Tindakan ini membantu menyelamatkan nyawa manusia, mengakhiri cobaan yang menyiksa mereka yang putus asa," katanya dalam pernyataan.

Salah satu pengungsi yang tiba di Pidie Senin, Muhammad Taher, mengatakan dia berada di laut selama 35 hari sebelum perahunya mencapai pesisir Aceh. Dia mengaku sekitar 20 orang tewas dalam perjalanan karena kelaparan.

Dia mengatakan bahwa dia meninggalkan istri dan empat anaknya di Cox's Bazar, sebuah distrik di tenggara Bangladesh, tempat sekitar 1 juta pengungsi Rohingya hidup di kamp-kamp dekat perbatasan dengan Rakhine, wilayah asal mereka di Myanmar.

“Niat saya pergi ke Indonesia,” katanya. “Saya meninggalkan keluarga saya di kamp karena saya ingin bekerja di sini dan anak-anak saya masih belajar di kamp.”

Kapal yang tiba Senin di Aceh berasal dari kapal penyelundupan manusia yang telah terombang-ambing selama berhari-hari di perairan utara Aceh, kata sejumlah organisasi kemanusiaan.

Pada tahun 2022 saja, lebih dari 2.000 orang Rohingya telah diselundupkan melalui laut di Teluk Benggala dan Laut Andaman, dan hampir 200 orang dilaporkan meninggal sejauh ini, kata UNHCR dalam pernyataannya Selasa.

“UNHCR juga menerima laporan yang belum dikonfirmasi bahwa satu kapal lain dengan sekitar 180 orang masih hilang, dengan semua penumpang diduga tewas,” kata badan tersebut.

Indonesia telah membantu menyelamatkan hampir 500 Rohingya yang tiba dengan empat perahu terpisah selama enam minggu terakhir, kata UNHCR.

Amnesty International mengatakan kedatangan terakhir pengungsi Rohingya situasi yang memburuk di Myanmar setelah kudeta militer pada Februari 2021, serta kondisi kamp yang keras di Bangladesh.

Satgas pengungsi

Terkait keberadaan para pengungsi tersebut, Haydar mengaku telah berdiskusi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan tentang pembentukan satuan tugas penanganan pengungsi.

“Kita sudah komunikasi dengan pusat dari pihak Menkopolhukam itu sudah datang ke kita dan mereka menginginkan agar di provinsi dibentuk … dinas penanganan pengungsi ini,” sebut Haydar.

Menurut Haydar, ketika satgas tersebut sudah dibentuk, maka penanganan pengungsi etnis Rohingya di Aceh akan lebih terarah karena akan ada dana dan perangkat-perangkat yang mengaturnya.

Juru bicara Polda Aceh Winardy menegaskan pemerintah tidak memiliki kebijakan menolak pengungsi yang terkatung-katung di lautan.

“Karena tidak ada satu pun pasal dalam konvensi pengungsi 1951, protokol pengungsi 1967, dan Perpres 125 tahun 2016 yang memperbolehkan polisi menolak, menghalau, atau mengusir pengungsi,” ucap Winardy saat dikonfirmasi BenarNews.

“Bahkan dalam protokol pengungsi tahun 1967, disebutkan kita harus menerima pengungsi apabila di negara asalnya mengalami penindasan, minoritas, pelanggaran HAM.”

Indonesia tidak termasuk dalam 149 negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan menjalankan Protokol 1967, sehingga hak-hak pengungsi untuk akses pada pekerjaan, rumah, pendidikan, dan lain-lain tidak dilindungi di Tanah Air.

Namun, Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2016 terkait penanganan pengungsi luar negeri yang mewajibkan aparat pemerintah untuk menyelamatkan pengungsi ke kapal penolong jika akan tenggelam dan membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika keselamatan pengungsi terancam.

Sementara itu, juru bicara Bakamla Wisnu Pramandita mengakui pihaknya sudah tidak memiliki anggaran operasional untuk mencari tahu keberadaan pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan sekitar perairan Aceh.

“Kapal (Bakamla) ada di sekitar Bintan dan Natuna, Kepulauan Riau. Mencari posisi mereka seperti mencari jarum ditumpukan jerami karena tidak ada posisi pasti dan lautan sangat luas. Dan juga posisi mereka jauh di luar teritorial Indonesia,” ucap Wisnu kepada BenarNews.

Staf khusus bidang komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Rizal Mustary membenarkan kementeriannya menginisiasi pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri di Aceh meski belum dibicarakan secara rinci.

“Pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri di Aceh kemungkinan menjadi pembicaraan Menkopolhukam Mahfud MD dengan Kapolda Aceh sewaktu kunjungan ke Aceh beberapa hari lalu,” kata Rizal kepada BenarNews.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theo Litaay menyatakan upaya pembentukan Satgas perlindungan pengungsi di Aceh dilakukan untuk memudahkan koordinasi dan dananya diambil dari berbagai lembaga terkait.

“Karena yang namanya satgas itu kan dibentuk dari berbagai instansi. Jadi masing-masing instansi akan mengidentifikasi masalah apa yang masuk dalam portofolio masing-masing,” ujar Theo kepada BenarNews.

Koordinator LSM hak asasi manusia KontraS Aceh, Azharul Husna, mendukung pembentukan satuan tugas pengungsi di Aceh agar manajemen penanganan pengungsi menjadi lebih baik dan komprehensif.

“Sejauh ini penanganan pengungsi Rohingya di Aceh ini berbasis kemanusiaan. Penanganan darurat. Padahal kalau berbasis aturan tentu akan lebih baik. Kita tidak seperti pemadam yang kelabakan saat kebakaran,” ucap Husna kepada BenarNews.

Husna juga mendorong Indonesia sebagai negara yang menghormati hak asasi manusia untuk segera meratifikasi konvensi 51 ter kait penanganan pengungsi.

Sejak 2009 hingga 2022, KontraS mencatat total 3.710 pengungsi Rohingya mendarat ke Aceh dari lautan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.