Penegakan Hukum Lemah, Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat

Arie Firdaus
2016.02.25
Jakarta
160225_ID_Intolerance_1000 Anak-anak pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang direlokasi dari Kalimantan, sedang bermain di tempat penampungan di Jakarta, 26 Januari 2016. Meningkatnya kasus intoleransi di Indonesia dinilai akibat lemahnya penegakan hukum.
AFP

Meningkatnya jumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sebesar 23% dalam setahun terakhir dinilai kalangan aktivis hak asasi manusia disebabkan lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah.

Sehingga, para pelaku pelanggaran tak merasa jera untuk mengulangi perbuatannya.

"Misalnya, ada minoritas tak disukai kelompok intoleran dan mereka mengamuk, yang diamankan biasanya kelompok minoritasnya," tutur Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat saat diwawancara BeritaBenar, Kamis, 25 Februari 2016.

Namun dia mengatakan tidak ada penegakan hukum terhadap pihak yang melakukan kekerasan.

"Ini pemikiran terbalik. Harusnya kelompok intoleran yang melakukan pelanggaran harus dicegah dan diproses hukum," tambahnya.

Imdadun memberi tanggapan menyusul laporan Amnesty International (AI) yang dirilis sehari sebelumnya. Menurut laporan lembaga yang berbasis di London itu, kasus pembatasan kebebasan beragama di Indonesia meningkat secara mengkhawatirkan sepanjang tahun lalu.

Pendapat tak jauh berbeda diutarakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Haris Azhar. Menurut dia, pemerintah dan aparat keamanan hampir selalu mengamankan kelompok minoritas yang diserang jika terjadi suatu pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Tetapi yang sering terjadi kemudian, kebebasan mereka untuk beribadah dibatasi atas alasan keamanan.

"Alasan keamanan masih seringkali digunakan untuk membungkam ekspresi," ujarnya. "Jadi belum ada perubahan sikap aparat keamanaan dalam menjalankan penegakan hukum."

Pada kasus kekerasan yang menimpa para pengikut aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat pertengahan Januari lalu, ribuan massa menyerang dan membakar pemukiman Gafatar di Kabupaten Mempawah karena menganggap mereka sesat.

Pemerintah mengatakan terpaksa mengevakuasi para pengikut aliran itu dari Kalimantan. Namun kalangan aktivis menyebut evakuasi itu sebagai pengusiran warga negara Indonesia dari rumah mereka sendiri.

Angka pelanggaran meningkat

Meningkatnya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia juga dilaporkan oleh The Wahid Institute Selasa lalu. Menurut lembaga yang ingin mewujudkan prinsip dan cita-cita intelektual mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, pelanggaran kebebasan beragama meningkat lebih dari 23% dibandingkan setahun lalu.

Menurut laporan organisasi itu, pada tahun 2014 pelanggaran kebebasan beragama tercatat sebanyak 154 kasus, namun jumlah itu naik menjadi 190 kasus pada 2015.

Sedangkan dari 190 kasus tersebut 130 diantaranya dilakukan pelaku dari unsur aparat negara.

"Padahal, dalam kurun 2012 hingga 2014, angkanya terus turun," ujar Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid, seperti dilansir laman Bisnis.com.

Yenny juga berpandangan bahwa meningkatnya angka pelanggaran itu akibat penegakan hukum yang lemah di Indonesia.

"Tidak ada perubahan dalam pola penanganan kasus, seperti penegakan hukum dan pemulihan hak korban," kata putri Gus Dur tersebut.

"Meskipun ada keinginan kuat, khususnya dari pemerintah pusat, untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, sayangnya niat itu tak diimplementasikan secara nyata," ujar Yenni menambahkan.

Berdasarkan catatan lembaga tersebut, terdapat beberapa kelompok minoritas yang seringkali menjadi korban seperti Ahmadiyah, Syiah dan Gafatar.

“Di kasus-kasus itu aparat pemerintahan justru menginternalisasi pemahaman mengenai toleransi dan justru melakukan tindakan-tindakan yang kita anggap melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tutur Yenny.

Tidak hanya lemahnya penegakan hukum, namun terkadang peraturan yang ada justru diskriminatif. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 misalnya menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Ini semakin melegitimasi kesewenang-wenangan di masyarakat terhadap Ahmadiyah.

Laporan AI

Laporan Amnesty Internasional juga mengatakan bahwa aksi kekerasan lain yang tidak berhubungan dengan agama juga meningkat. Menurut AI, polisi dan militer masih terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran itu.

Organisasi itu mencontohkan insiden penyerangan oleh beberapa anggota Brigade Mobil (Brimob) terhadap Kampung Morekau, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Maret 2015. Sebanyak 13 orang mengalami luka serius akibat penyerangan itu.

“Meski pimpinan kepolisian setempat berjanji menyelidiki insiden itu, tapi tak seorang pelaku yang diproses hukum,” ujar Deputi Direktur Kampanye AI untuk Asia Tenggara, Josef Benedict.

“Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya punya banyak hal untuk dilakukan jika mereka mau memenuhi janji-janjinya untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia,” tambahnya.

Benedict menambahkan meski pemerintah telah berulang kali membuat janji-janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM serius masa lalu, tetapi “mereka masih keras kepala untuk melanjutkan komitmen-komitmen tersebut.”

AI mengapresiasi langkah pemerintah yang membebaskan aktivis pro-kemerdekaan Papua Filep Karma, November lalu, setelah dipenjara lebih dari satu dekade karena ekspresi politik damainya.

Tapi, tambah AI, lebih dari 50 tahanan masih berada di balik jeruji di Papua dan Maluku, sementara penangkapan ratusan aktivis damai di Papua dan Papua Barat tetap terjadi sepanjang tahun lalu.

“Pemerintah Indonesia harus berhenti menangkap dan mengkriminalisasikan mereka yang berbicara secara damai. Semua tahanan harus segera dan tanpa syarat dibebaskan. Ketentuan hukum yang dipakai untuk memenjarakan mereka harus dicabut,” ujar Benedict.

Pemerintah siapkan aturan

Mengomentari meningkatnya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2015, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hanya memberi tanggapan singkat.

"Kami sedang siapkan aturan," katanya melalui pesan singkat, tanpa merinci lebih detil tentang aturan yang dimaksud.

Namun merujuk pada pernyataan-pernyataan sebelumnya, Kementerian Agama tengah menggodok Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama.

Draf aturan itu, menurut pemerintah, diharapkan selesai tahun ini sehingga dapat dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2017.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.