Polisi selidiki dugaan serangan terhadap mahasiswa Katolik yang berdoa di kos
2024.05.06
Jakarta
Kepolisian di Tangerang Selatan, Banten, mengatakan Senin (6/5) bahwa mereka sedang menyelidiki dugaan serangan oleh sejumlah warga terhadap mahasiswa Katolik di Universitas Pamulang yang berdoa di tempat kos dengan menggunakan rosario.
Tiga orang mengalami luka dalam kejadian pada Minggu malam itu, kata kuasa hukum korban, Edi Hardum.
"Saat ini korban dan mahasiswa sudah diamankan ke Paroki Barnabas Karawaci Tangerang," kata Edi kepada BenarNews. Edi mengatakan polisi sudah menangkap dua orang yang diduga melakukan penyerangan, salah satunya adalah ketua RT setempat.
Video berdurasi 50 detik yang beredar di berbagai media sosial menunjukkan sekelompok warga berkumpul di depan rumah warga. Beberapa dari mereka berlarian dan berusaha mendobrak pintu rumah yang diduga menjadi tempat mahasiswa Katolik itu beribadah.
Seorang warga berteriak dari dalam “Tolong.. tolong..” sementara warga lainnya berusaha melerai dengan berteriak “Sudah.., sudah!” Edi mengonfirmasi kebenaran video tersebut.
“Terkait dugaan tindakan pengeroyokan dan penganiayaan tersebut masih diselidiki fakta-fakta di TKP (tempat kejadian perkara),” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangerang Selatan, AKB Alvino Cahyadi kepada BenarNews.
Para pelaku bisa dijerat dengan pasal tentang pengeroyokan dan penganiayaan dengan ancaman pidana lima hingga sembilan tahun penjara, kata Alvino.
Ia menjelaskan pihaknya juga sudah berupaya memanggil pihak terkait dari ketua RT hingga tokoh masyarakat setempat.
“Sedang berkoordinasi dengan ketua RT, ketua RW dan tokoh pemuda masyarakat setempat,” kata dia.
Aktivis hak asasi manusia mengecam tindakan penyerangan itu.
“Kami menyayangkan aksi sebagian warga yang diduga menggeruduk sekelompok mahasiswa yang menggelar ibadah doa Rosario di Tangerang Selatan, seperti yang diberitakan di media,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, kepada BenarNews.
“Bila demikian halnya, ini adalah bentuk intoleransi terhadap kebebasan beragama,” ujarnya.
Menurut Usman, kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945. Namun, insiden tersebut merupakan contoh nyata bagaimana hak ini masih belum sepenuhnya dihormati oleh sebagian warga negara, ujarnya.
“Kami mendesak kepolisian dan pihak-pihak yang berwenang di Tangerang Selatan untuk mengusut tuntas insiden tersebut. Kami meminta agar pelaku intoleransi ini ditangkap dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Dewan Nasional Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, yang mendesak kepolisian untuk segera mengusut tuntas pelaku kekerasan.
“Kami mengecam dan kasus ini berarti sudah tahap kebencian terhadap umat agama tertentu. Polisi harus menangkap para pelaku karena kejadian ini melanggar orang yang beribadah. Apalagi sampai melukai seseorang bisa dikenakan pasal lainnya,” ujar Bonar kepada BenarNews.
Ia menyayangkan kejadian seperti ini berulang terjadi hanya karena kekeliruan persepsi bahwa umat non-Muslim hanya bisa beribadah di tempat ibadahnya saja.
“Ini yang harus diperbaiki agar tidak dijadikan contoh bagi kelompok intoleran lainnya. Ini tugas pemerintah melakukan sosialisasinya bahwa hak setiap orang beribadah dimana saja, tidak hanya di gereja, tapi di rumah juga dibolehkan,” kata dia.
“Kita lihat saja nanti berani nggak polisi menangkap ketua RT atau RW yang diduga menjadi pelakunya. Hal ini harus dilakukan agar menimbulkan efek jera dan tidak terjadi di tempat lain,” kata dia.
Kronologi kejadian
Kuasa hukum korban, Edi Hardum, menjelaskan peristiwa tersebut terjadi saat mahasiswa Katolik dari Universitas Pamulang sedang berdoa Rosario di salah satu tempat kos salah satu korban di Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Gang Ampera Poncol, Tangerang Selatan.
Edi mengatakan pada Minggu jam 19.30 WIB, massa mulai berkumpul setelah mendengar provokasi dari Ketua RT di lokasi itu yang berteriak “Hei bangsat kalau kalian tidak bubar saya akan panggil warga!”
Para mahasiswa yang beribadah itu kemudian dibubarkan paksa oleh masa terprovokasi yang datang membawa balok, dan senjata tajam berupa samurai dan celurit, ujarnya.
Seluruh korban mahasiswa berjumlah 12 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dua korban perempuan mengalami luka sayatan senjata tajam dari masa penyerang dan satu orang lelaki muslim ikut dibacok karena membela dan melindungi para mahasiswa yang sedang beribadah, kata Edi.
Kejadian itu berhenti karena ada massa warga sekitar menyelamatkan para korban. Mendengar kasus tersebut kelompok bernama Persatuan Indonesia Timur (Petir) yang terdiri dari berbagai agama melaporkan kasus tersebut ke Polres Tangerang Selatan.
Kuasa hukum korban mendesak kepolisian agar segera menangkap provokator dan pelaku penyerangan terhadap para mahasiswa itu.
“Ini negara beragama. Siapapun bebas menjalankan ibadahnya. Orang-orang yang mengganggu orang yang sedang beribadah termasuk dalam hama (perusak) negara, perusak negara Indonesia sebagai negara demokrasi,” kata Edi dalam rilis yang diterima BenarNews.
“Oleh karena itu, polisi sebagai alat negara segera tangkap provokator dan pelaku penyerangan tersebut,” ujar dia.
Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) yang salah satu anggotanya adalah Yayasan Lembahaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam laporan tahun 2023 mengatakan kebebasan beribadah bagi sejumlah kelompok minoritas masih menjadi tantangan di Indonesia.
YLBHI mencatat beberapa kasus terutama terkait penolakan pembangunan rumah ibadah pada tahun 2023 seperti penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur; penutupan tempat ibadat Gereja Kristen Protestan Simalungun di Purwakarta, Jawa Barat, penutupan (sementara) Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah; penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat; dan penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, Aceh Darussalam.
Peristiwa-peristiwa sejenis pernah terjadi sebelumnya dan hingga sekarang penyelesaiannya masih terkatung-katung, seperti kasus terkait nasib beberapa gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh Darussalam; atau kasus terkait masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di beberapa tempat.