Pemblokiran 11 Situs Dianggap Sewenang-wenang
2016.11.04
Jakarta
Sejumlah organisasi mengecam keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir 11 situs yang dinilai provokatif dan diduga menyebarkan kebencian terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) karena dinilai dilakukan sewenang-wenang.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan pihaknya menolak cara-cara pemblokiran tersebut.
“Beberapa situs tersebut diketahui telah beroperasi sejak lama, dan kalaupun dianggap melakukan penyebaran kebencian, mestinya pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap operator-operator situs tersebut,” ujar Anggara, penelitu ICJR kepada BeritaBenar, Jumat, 4 November 2016.
ICJR, kata Anggara, sejak lama mengingatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terutama saat proses revisi UU ITE, agar pemblokiran situs dilakukan berdasarkan proses hukum yang adil dan terkait penegakan hukum pidana.
“Tanpa ada tindakan penegakan hukum, upaya pemerintah menutup akses terhadap situs-situs tersebut hanya perbuatan sia-sia dan menjurus pada upaya pembungkaman kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mempertanyakan mekanisme pengujian atas kebijakan pemblokiran tersebut.
AJI menyerukan dihormatinya kaidah-kaidah pelaksanaan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Konvenan Sipil dan Politik.
“Tetapi, pelaksanaan kebebasan berekspresi harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang diatur DUHAM maupun Konvenan Sipil dan Politik,” kata ketua AJI, Suwarjono, dalam pernyataan tertulis yang diterima BeritaBenar.
Dugaan konten SARA
Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo mengirim surat ke sejumlah penyedia layanan internet atau ISP dan meminta mereka memblokir sementara 11 situs karena diduga telah menyebarluaskan konten yang mengandung unsur SARA.
Kesebelas situs yang diblokir itu adalah; Lemahirengmedia.com; portalpiyungan.com; suara-islam.com; smstauhiid.com; beritaislam24h.com; bersatupos.com; pos-metro.com; jurnalmuslim.com; media-nkri.net; lontaranews.com; dan nusanews.com.
Pemblokiran ke-11 situs tersebut dilakukan sehari menjelang aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan ormas-ormas Islam untuk menuntut proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang diduga menistakan Al-Quran.
Jurubicara Kominfo Noor Iza kepada wartawan, Kamis, 3 November 2016, menyatakan pemblokiran itu atas “permintaan beberapa instansi terkait, kolaborasi antara pihak kepolisian, BIN (Badan Intelijen Negara) dan laporan warga”.
Tidak ada mekanisme baku
Suwarjono mengatakan karena medium internet yang bersifat seketika dan lintas batas geografis, maka dapat dibenarkan adanya pembatasan seperti pemblokiran situs yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
“Tetapi, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif,” ujarnya.
“Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa,” tambahnya.
Pengamat media, yang juga mantan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan mekanisme baku tentang cara untuk pemblokiran suatu situs yang dianggap berbahaya belum ada.
“Misalnya proses mengontak pemilik atau pengelola situs, memberikan peringatan, mengadakan dialog dan sebagainya. Mekanisme seperti itu yang saya lihat belum ada,” ujar Agus kepada BeritaBenar.
“Kecuali untuk situs yang tidak ada pengelolanya, bisa langsung diblokir. Tapi kalau ada dan aktif bisa dikontak, seharusnya diperingatkan dulu,” tambahnya.
Menurut Agus, dengan tak adanya mekanisme baku, akan berpotensi merugikan situs-situs lain yang belum tentu dianggap berbahaya, padahal pemblokiran itu harus adil diberlakukan pada semua situs yang bersifat provokatif.
Tak terkait demonstrasi
Menteri Kominfo Rudiantara menampik pemblokiran situs itu terkait dengan aksi masa puluhan ribu Muslim yang menuntut proses hukum atas kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Menurutnya, pemerintah rutin memantau dan menyaring situs-situs yang kontennya berhubungan dengan pornografi, penipuan melalui internet, kejahatan perdagangan, pelanggaran hak cipta, dan isu SARA.
"Itu sesuatu yang rutin. Itu sudah ada dari dulu, yang di-filter ada 700 ribu lebih. Ada masalah pornografi, masalah penipuan, perdagangan, ada pelanggaran hak cipta. Ada yang berkaitan dengan SARA, macam macam," ujar Rudiantara seperti dikutip dari Republika.
Sebelumnya tahun lalu, Kominfo pernah memblokir 22 situs, termasuk arrahmah.com dan voa-islam.com, karena dianggap radikal. Pemblokiran itu dilakukan setelah adanya pengaduan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.