Indonesia - Vietnam sepakati batas ZEE usai 12 tahun berunding

Pakar sebut perjanjian ini akan menguntungkan Indonesia namun bisa memicu kecaman China terkait klaimnya di Laut China Selatan.
Tria Dianti
2022.12.22
Jakarta
Indonesia - Vietnam sepakati batas ZEE usai 12 tahun berunding Para nelayan Vietnam yang ditahan oleh otoritas Indonesia karena melakukan penangkapan ikan ilegal di Batam, Kepulauan Riau pada 4 Maret 2020.
[Teguh Prihatna/AFP]

Indonesia dan Vietnam telah menyepakati batas zona eksklusif ekonomi (ZEE) kedua negara yang terletak di wilayah Laut China Selatan usai 12 tahun berunding, sebuah langkah yang dipuji oleh para analis regional namun sepertinya hanya akan membuat geram China.

Vietnam dan Indonesia terlibat dalam perselisihan atas klaim ZEE yang tumpang tindih di perairan sekitar kepulauan Natuna di Laut China Selatan selama bertahun-tahun.

“Setelah melakukan perundingan intensif selama 12 tahun, Indonesia Vietnam akhirnya dapat menyelesaikan perundingan garis batas ZEE kedua negara berdasarkan UNCLOS 1982,” kata Joko “Jokowi” Widodo usai pertemuan bilateral dengan Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (22/12).

ZEE memberi negara akses eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alam di perairan dan di dasar laut.

Indonesia mengalami beberapa kali bentrokan dengan kapal nelayan ikan Vietnam yang dituduh melanggar batas ZEE Indonesia. Ratusan kapal nelayan Vietnam bahkan ditangkap dan berakhir ditenggelamkan oleh otoritas keamanan karena diduga melakukan penangkapan ikan ilegal.

Perbatasan Indonesia - Vietnam terletak di Laut China Selatan di sebelah utara Kepulauan Natuna, Indonesia.

UNCLOS adalah hasil dari konferensi PBB mengenai hukum laut yang berlangsung sejak 1973-1982. Hingga kini tak kurang dari 158 negara yang tunduk dan bergabung dengan konvensi ini, termasuk diantaranya Vietnam, Indonesia dan China.

Perundingan penetapan batas ZEE Indonesia - Vietnam pertama kali diadakan pada 21 Mei 2010. Pertemuan teknis ke-15 terkait penetapan batas ZEE ini telah diselenggarakan di Ho Chi Minh City, Vietnam pada 26-27 September 2022 lalu.

Kedua negara sebelumnya juga pernah menandatangani kesepakatan yang menetapkan batas laut untuk Zona Landas Kontinen masing-masing negara pada 26 Juni 2003 di Hanoi yang berlaku pada 2007.

Pada 2021, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pernyataannya mengatakan bahwa negosiasi dengan Vietnam mengenai batas ZEE sesuai hukum UNCLOS 1982 merupakan salah satu prioritas. “Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak berdasarkan hukum internasional,” ujar Marsudi.

Sementara itu, Phúc menyampaikan dukungan kepada Indonesia yang menjadi Ketua ASEAN tahun 2023.

"Saya sepakat bahwa ASEAN harus memainkan peran sentral dan berketahanan di ASEAN, juga mendukung sikap ASEAN terkait Laut China Selatan untuk menjamin agar Laut China Selatan menjadi lautan yang damai, stabil dan mendorong adanya kebebasan pelayaran sesuai hukum internasional dan UNCLOS 1982," tutur Phúc.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi pangkalan militer di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, di dekat Laut China Selatan pada 9 Januari 2020. [Antara Foto/via Reuters]
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi pangkalan militer di Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, di dekat Laut China Selatan pada 9 Januari 2020. [Antara Foto/via Reuters]

Tonggak penting

Berakhirnya negosiasi ZEE kedua negara disambut baik pengamat dan analis kawasan yang menyebut itu sebagai pencapaian penting kedua negara. “Ini tonggak penting,” kata Shahriman Lockman, Direktur Institut Kajian Strategis dan Internasional (ISIS) Malaysia.

“Ini adalah langkah besar untuk memiliki demarkasi batas laut yang lebih jelas antara negara-negara Asia Tenggara,” kata Lockman.

Nguyen The Phuong, seorang analis keamanan Vietnam dan Dosen di Universitas Ekonomi dan Keuangan di Ho Chi Minh, mengatakan langkah tersebut membuktikan bahwa negara-negara di ASEAN juga dapat menyelesaikan sengketa maritim di antara mereka.

“Ini akan membantu meredakan ketegangan, terutama masalah yang berkaitan dengan penangkapan ikan ilegal (IUU fishing), yang selama ini menjadi masalah panas antara Vietnam dan Indonesia,” kata Phuong kepada RFA, media yang terafiliasi dengan BenarNews.

“Kesepakatan ini juga akan mendorong negosiasi yang saat ini masih berlangsung antara Vietnam, Malaysia dan Filipina,” tambahnya.

China mengklaim sebagian besar laut tersebut sebagai miliknya, sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah tersebut.

Indonesia tidak menganggap dirinya sebagai pihak dalam sengketa wilayah di Laut China Selatan, bagian utara Laut Natuna yang tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus yang diklaim China itu.  

Detail belum diumumkan terkait isi dari perjanjian Indonesia-Vietnam yang baru disepakati tapi ZEE kedua negara berada di wilayah yang diklaim China sebagai "sembilan garis putus-putus", yang selama ini digunakan Beijing untuk membatasi "hak historisnya" di hampir 90 persen Laut China Selatan.

Klaim historis China menganggap sejak dulu nelayan China telah lama beraktivitas di perairan tersebut. Argumen ini pernah dibawa China ke Mahkamah Tribunal 2016 namun klaim itu dimentahkan oleh Mahkamah Internasional dan dinyatakan melanggar hukum

Beijing sejauh ini menolak keputusan tersebut dan menyebutnya “batal demi hukum”.

Menurut Lockman kemungkinan China akan mengecam kesepakatan Indonesia-Vietnam ini.

“China akan bersikeras bahwa mereka memiliki yurisdiksi atas wilayah ini,” kata Lockman,

Pakar Hukum Laut Internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, mengatakan keuntungan Indonesia dalam kesepakatan ini adalah kepastian dalam pemanfaatan sumber daya alam di wilayah ZEE sesuai dengan aturan UNCLOS.

“Dengan asumsi sesuai klaim Indonesia selama ini yang batasnya lebih menjorok kearah Vietnam, tentu secara kewilayahan ZEE, Indonesia diuntungkan karena tidak disamakan dengan batas landas kontinennya,” kata dia.

Sementara itu, katanya, khusus terhadap China, Indonesia dan Vietnam bisa bersama dalam menghadapi gangguan atas wilayah yang diklaim China.

“Nelayan tidak perlu takut- takut lagi menangkap ikan di wilayah tersebut. Aparatur penegakan hukum laut Indonesia juga bisa lebih tegas dalam menegakkan hukum,” katanya.

Perdagangan dan investasi

Kedua negara juga akan meningkatkan perdagangan dengan menetapkan target baru sebesar $15 miliar pada 2028 atau naik dari target perdagangan sebelumnya yang mencapai $10 miliar pada 2023.

“Target ini telah tercapai pada 2021 dengan angka USD 11,06 miliar,” kata Jokowi.

Ia menyambut baik kerjasama Indonesia-Vietnam di bidang energi dan sumber daya mineral salah satunya untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga matahari, tenaga hidrogen, dan smart grid.

“Prioritas keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 akan menekankan peran sentral ASEAN dalam menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan, serta peran sentral ASEAN untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” kata Jokowi.

Staf Radio Free Asia (RFA) turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.