Indonesia Siapkan Aturan Perlindungan bagi Pelaut
2019.12.10
Jakarta
Pemerintah mengatakan tengah menyiapkan aturan baru untuk melindungi para pekerja Indonesia yang bekerja di kapal penangkapan ikan setelah laporan dari Greenpeace mendapati setidaknya 34 orang warga Indonesia yang bekerja di tempat itu mengalami perlakuan yang bisa digolongkan sebagai perbudakan modern.
Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim, Kementerian Koordinator Bidang kemaritiman, Basilio Dias Araujo, mengatakan bahwa pemerintah menyadari tidak adanya aturan bagaimana merekrut dan menempatkan pekerja di kapal penangkap ikan dalam dan luar negeri.
“Pemerintah menyadari banyaknya kasus perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan modern di laut di sektor penangkapan ikan baik di kapal nasional ataupun kapal asing,” ujar Basilio kepada BeritaBenar, Selasa, 10 Desember 2019.
Dia menambahkan Tim Nasional Perlindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan yang dibentuk pertengahan tahun lalu sedang bekerja untuk menyelaraskan berbagai aturan yang ada, membahas aspek pendidikan dan pelatihan serta perlindungan bagi awak kapal perikanan.
Beberapa Undang-undang (UU) yang sudah ada, seperti UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan dan UU No. 18 tahun 2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum membahas secara spesifik mengenai pekerja lokal atau pekerja migran yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal penangkap ikan.
“Ini pembenahan semuanya dan mendasar untuk sektor perikanan yang selama ini tidak diperhatikan. Kami sedang melihat nantinya peraturan ini akan dikeluarkan dalam bentuk peraturan pemerintah atau yang lain,” ujar Basilio.
Menurutnya, tim nasional tersebut juga mendorong agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi International Labor Organization (ILO) 188 mengenai Pekerjaan Dalam Penangkapan Ikan.
Perbudakan modern
Pernyataan Basilio menyusul laporan yang dikeluarkan Greenpeace Asia Tenggara bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sehari sebelumnya yang menyebutkan bahwa 34 ABK asal Indonesia yang bekerja di atas 13 kapal penangkap ikan asing dilaporkan mengalami kondisi kerja yang bisa dikategorikan perbudakan.
Penipuan, pemotongan upah, kerja lembur berlebihan, penganiayaan fisik dan seksual adalah keluhan utama para ABK dalam laporan yang berjudul “Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Perbudakan Modern di Laut Lepas” itu.
Biasanya para ABK tersebut dikontrak untuk dua tahun dengan perjanjian gaji kotor perbulan antara US$300 - 500 (Rp4 – 7 juta). Namun mereka tidak pernah menerima jumlah tersebut karena dipotong “uang proses” oleh agen pemasok tenaga kerja di Indonesia sebesar US$600 – 800 (Rp8-11 juta) selama 6 – 8 bulan pertama.
Disamping itu, gaji mereka juga dipotong untuk membayar jaminan. Hal ini menyebabkan mereka harus bekerja dengan waktu yang panjang dengan gaji yang sangat kecil atau tidak sama sekali.
Laporan itu juga mengutip Badan Perikanan Taiwan, yang mengatakan sekitar 21.994 ABK berasal dari Indonesia dan sekitar 7.730 dari Filipina bekerja di kapal-kapal penangkap ikan Taiwan pada Juni 2019.
Kedua negara ini merupakan mayoritas ABK migran di kapal –kapal Taiwan yang berlayar jauh ke tengah laut dalam industri bernilai US$2 milyar itu.
Zaenudin (34) seorang mantan ABK di kapal penangkap ikan Taiwan yang pernah mengalami kerja paksa selama berlayar di Fiji menceritakan pengalamannya.
Selama tujuh bulan sejak Oktober 2017, Zaenudin yang berasal dari Demangharjo, Jawa Tengah, bekerja di laut lepas tanpa kontak dengan dunia luar, dalam situasi yang tidak manusiawi, dan mengalami perlakuan kasar dari atasan serta koki di kapal tesebut.
“Kondisi untuk makan di kapal kurang layak, setiap malam pada saat kerja hanya dikasih makan ikan direbus dengan garam dan nasi. Itu pun saya makan tidak sampai habis karena menunya hanya itu dan itu saja. Untuk air minum saya minum dengan merebus dan menyimpan sendiri,” ujar Zaenudin.
Zaenudin pada akhirnya terpaksa kembali ke Indonesia dengan biaya sendiri sebelum masa kontraknya habis. Ia pulang tanpa membawa hasil apapun dari kerjanya karena gajinya selama tujuh bulan sudah habis bahkan dianggap minus karena dipotong untuk membayar biaya pemberangkatan, pembuatan dokumen perjalanan serta tiket kembali ke Indonesia.
“Upaya untuk meminta gajinya melalui agensi yang merekrutnya pun berujung buntu,” kata Arifsyah Nasution, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia.
Dia menambahkan sistem perekrutan dan penempatan di sektor ini menyebabkan para anak buah kapal tidak bisa mendapat gajinya langsung selama beberapa bulan pertama.
“Kejadian seperti ini juga membuat konflik di keluarga bahkan sampai ada yang berakibat perceraian karena ketika anak buah kapalnya pulang mereka tidak membawa hasil apa-apa dari kerja mereka selama di kapal di luar negeri,” ujar Maizidah Salas, koordinator sosialisasi dan pendidikan SBMI.
Maizidah mengatakan pihaknya juga menemukan keluhan dari ABK yang terpaksa makan daging babi karena kapal tempat mereka bekerja tidak menyediakan menu lain.
Greenpeace mengatakan berkurangnya populasi ikan memaksa kapal untuk mencari ikan semakin jauh ke tengah laut, yang menyebabkan biaya operasi yang lebih tinggi, meningkatkan kemungkinan eksploitasi pada ABK, dan pada saat yang sama impunitas bagi pelakunya.
Zaenudin kini mendedikasikan waktunya untuk mengadvokasi berbagai kasus tidak dibayarnya gaji ABK oleh perusahaan mereka.
“Saya sekarang memilih membantu kawan-kawan agar jangan sampai terjadi seperti yang saya alami. Saya sangat bisa merasakan kalau ada anak buah kapal yang tersakiti,” pungkasnya.
Video tentang kehidupan para ABK asal Indonesia itu bisa dilihat di: https://www.benarnews.org/indonesian/video?v=1_2mnbh0md .