Indonesia panggil perwakilan PBB terkait kecaman atas KUHP
2022.12.12
Jakarta
Pemerintah telah memanggil perwakilan PBB di Jakarta untuk mengklarifikasi berbagai kritik yang disampaikan lembaga tersebut terkait disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kata pejabat Kementerian Luar Negeri, Senin (12/12).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah mengatakan kementerian memanggil perwakilan PBB di Jakarta atas kritik lembaga tersebut yang mengatakan bahwa KUHP yang disahkan oleh DPR pada 6 Desember itu dapat mengancam kebebasan sipil, mengikis kebebasan pers, mencampuri masalah privasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Seharusnya mereka datang untuk berkonsultasi, sama seperti perwakilan internasional lainnya. Kami berharap mereka tidak terburu-buru menyampaikan pandangan, atau ketika tidak ada informasi yang cukup," kata Faizasyah dalam konferensi pers, Senin.
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu Achsanul Habib menambahkan pihak PBB diwakili Kepala Perwakilan Tetap PBB (UNRC) didampingi oleh pejabat dari lembaga PBB untuk Dana Penduduk (UNFP), lembaga PBB untuk Perempuan (UN Women) dan lembaga PBB untuk AIDS (UNAIDS).
“Mereka datang untuk mengklarifikasi dan menyampaikan penyesalan. UNRC akan bekerja sama lebih lanjut secara konstruktif dengan pemerintah Indonesia,” ujar Achsanul tanpa menjelaskan secara detil.
Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan surat keberatan PBB tersebut menawarkan bantuan terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan kaitan dengan HAM.
Namun surat itu disampaikan kepada Komisi III DPR RI pada 25 November 2022, sehari setelah DPR dan pemerintah menyetujui untuk disahkan di tingkat Paripurna, sehingga dinilainya sangat terlambat.
“Kami telah cukup berembuk serta menerima masukan dari masyarakat terkait hal yang disampaikan mengenai kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Kantor PBB di Jakarta tak memberikan respons saat dihubungi.
Warga Asing tak bisa dijerat
Eddy menambahkan penerapan KUHP ini yang berlaku tiga tahun lagi diyakini tidak akan mengganggu masyarakat, pelaku usaha, wisatawan dan investasi selama diterapkan sesuai peraturan yang berlaku.
Hal ini dikarenakan pasal yang selama ini diributkan terkait pemidanaan perzinaan dan kohabitasi baru berlaku, sebutnya, jika ada delik aduan absolut sehingga wisatawan tidak bisa dijerat dengan pasal ini.
Ia mencontohkan ketika ada sepasang turis datang berlibur ke Indonesia dan memilih berada dalam satu kamar namun tak terikat perkawinan, maka yang bisa melaporkan hanya anak atau orang tua. Sementara, mereka tidak ada di Indonesia dan berada di luar negeri.
“Kecuali orang tuanya melaporkan. Jadi ini kekhawatiran yang berlebihan. Yang sebetulnya tidak paham terhadap pasal ini,” kata dia dalam press briefing di Jakarta.
Selain itu, Eddy mengatakan kalau dengan berlakunya pasal KUHP maka peraturan daerah (perda) di bawahnya tidak akan berlaku lagi. “Jadi satpol PP yang sering melakukan sweeping, razia, penggerebekan tak bisa lagi melakukan itu karena ini merupakan delik aduan yang absolut,” kata dia.
Pernyataan senanda disampaikan oleh Gubernur Bali Wayan Koster. “Mereka yang berkunjung atau tinggal di Bali tidak perlu khawatir dengan berlakunya KUHP,” kata dia dalam pernyataan pers-nya.
Dia mengatakan "tidak akan ada pemeriksaan status perkawinan saat check-in di setiap akomodasi pariwisata, seperti hotel, vila, apartemen, wisma, penginapan, dan spa," kata Koster.
Kemunduran HAM
Pemanggilan perwakilan PBB itu dinilai tepat oleh guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, yang mengatakan, “Perwakilan PBB di Indonesia semestinya menghormati proses demokrasi di Indonesia."
Namun demikian sebagian besar ahli hukum lainnya tidak sependapat.
Pakar hukum Universitas Parahyangan Liona Nanang Supriatna menilai protes dunia internasional terhadap RKUHP menunjukkan bahwa terjadi kemunduran dalam penghormatan atas HAM dan demokrasi di Indonesia.
"Maka wajar banyak kecaman internasional terhadap KUHP baru, dalam konteks penghormatan HAM dan demokrasi," kata Liona kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa pemanggilan terhadap perwakilan PBB di Indonesia sejatinya tidak mampu menutupi kelemahan substansi pada KUHP baru.
"Negara sampai mengintervensi urusan pribadi warga negaranya yang notabene adalah melanggar HAM," ujarnya, terkait pasal kohabitasi.
"Saya melihat perspektif HAM pada KUHP lama lebih baik dari yang baru tentang penghormatan HAM dan kebebasan berpendapat."
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatkan hal yang sama.
"Sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang publik itu akan membawa masyarakat ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri," kata Isnur kepada BenarNews.
Hingga pengesahan di DPR, terang Isnur, pemerintah tidak mengakomodasi protes pasal-pasal bermasalah yang disuarakan masyarakat, seperti Pasal 240 dan 241 KUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang berpotensi menjerat siapa pun yang mengkritik pemerintah karena tidak mencantumkan definisi soal penghinaan.
Ada pula sejumlah pasal yang anti demokrasi, melanggengkan korupsi, membungkam kebebasan pers, dan menyentuh ruang privat masyarakat, kata Isnur.
Luh De Suriyani di Bali berkontribusi dalam artikel ini.