Setelah laporan penyiksaan, Indonesia minta segera pulangkan TKI di tahanan Malaysia
2022.06.30
Jakarta
Pemerintah meminta Malaysia untuk segera memulangkan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tidak berdokumen menyusul setidaknya 25 orang meninggal di pusat-pusat penahanan migran ilegal di Sabah sejak tahun lalu akibat dugaan penyiksaan dan penelantaran.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) itu disampaikan dalam pertemuan antara perwakilan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Sabah, Malaysia dengan Pengarah Imigresen Wilayah Sabah dan Jabatan Kesihatan Negeri Sabah, Malaysia.
"Dalam pertemuan dengan Imigresen itu Pemerintah RI meminta agar proses pemulangan para deportan dapat segera dilakukan karena risiko pandemi yang sudah rendah, atas biaya negara," kata Kemlu alam siaran pers, Kamis (30/6).
Pertemuan itu mengklarifikasi data buruh migran Indonesia yang meninggal di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Sabah dalam kurun 2021 hingga Juni tahun ini yang mencapai 25 orang.
Angka itu meralat informasi sebelumnya yang dikeluarkan oleh Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) –sebuah LSM di Makassar mengutip data Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta – bahwa jumlah kematian pekerja migran Indonesia di DTI Sabah mencapai 149.
“(Sebanyak) 18 yang meninggal di 2021 dan tujuh (orang) per Juni 2022,” kata Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah kepada BenarNews, Kamis.
Menurut Kemlu, angka 149 orang seperti informasi sebelumnya adalah jumlah seluruh buruh migran yang meninggal pada periode itu dari berbagai negara.
Sementara KBMB sendiri mencatat dalam laporannya bahwa kematian buruh migran Indonesia yang meninggal di DTI Sabah pada periode Januari 2021 - Maret 2022 sebanyak 18 orang.
Koordinator KBMB Abu Mufakir mengatakan angka dalam laporan tersebut merupakan estimasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para migran di dua blok dalam satu DTI Sabah.
Abu mengungkapkan bahwa para buruh migran diperlakukan sangat buruk, mulai makanan tidak sehat, tidur di lantai dengan ruangan yang sesak serta jika sakit tidak dilayani secara manusiawi.
Abu yang juga anggota tim pencari fakta KBMB, mengakui angka kematian yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar karena jumlah kematian di DTI sulit diungkap, dan selama ini hanya mengandalkan data dari otoritas imigrasi Malaysia.
“Mereka hanya ingat ada kematian di blok ini, pada rentang waktu tertentu. Jadi sulit dikuantifikasi,” ujarnya meragukan angka kematian buruh migran Indonesia sebanyak 25 orang yang dikeluarkan Kemlu.
Seorang perempuan yang ditahan 14 bulan di pusat penahanan di Tawau seperti dikutip dalam laporan KBMB, mengaku “Apa yang tidak pernah saya alami di luar, saya alami semua dalam penahanan. Mungkin itu yang kita sebut neraka di bumi.”
Ia menambahkan, “Semua jenis kesengsaraan ada di sana. Terkadang tidak ada air selama beberapa hari. Kami kesulitan mandi, minum, dan tidur. Saat kami mengeluh sakit, kami dimarahi.”
KBMB melaporkan bahwa Malaysia telah mendeportasi lebih dari hampir 2.200 pekerja Indonesia tidak berdokumen antara Maret 2021 - Juni tahun ini
Beberapa dari mereka yang ditahan ditangkap di perbatasan ketika mencoba untuk kembali ke Indonesia.
Menteri Dalam Negeri Zainudin dalam konferensi pers pada Kamis di markas besar Polisi Federal di Kuala Lumpur mengatakan kementeriannya akan melakukan razia kepada siapa saja yang bekerja di negara itu tanpa dokumen yang sah.
“Siapa pun yang melanggar undang-undang keimigrasian bisa kita tangkap dan ketika kita tangkap, mereka akan dimasukkan ke dalam rumah detensi dan, jangan salahkan pihak imigrasi atau kementerian dalam negeri jika terjadi apa-apa dengan mereka,” kata Zainudin.
Penyiksaan
Aktivis buruh migran dan pendiri Migrant Care Indonesia, Anis Hidayah, menilai hasil temuan dari KBMB harus ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah Indonesia, terutama bagi yang meninggal akibat penyiksaan di depo imigrasi Malaysia.
“Soalnya yang saya tahu selama ini dari riset Migrant Care maupun deportan dari Malaysia, memang banyak sekali kasus penyiksaan yang terjadi di dalam depo imigrasi,” kata Anis kepada BenarNews, Kamis.
Senada dengan Anis, Deputi Direktur Asia Human Rights Watch Phil Robertson mengatakan – dengan mengutip laporan LSM Indonesia – bahwa telah terjadi kebrutalan di pusat-pusat penahanan imigrasi Malaysia, di mana para migran diperlakukan tidak lebih baik daripada hewan.
“Dengan makanan berkualitas buruk, kekurangan air minum, sanitasi yang buruk, kondisi yang sangat sempit, dan tidak ada layanan perawatan kesehatan yang nyata,” kata Robertson kepada BenarNews.
“Jadi, tidak heran jika puluhan migran yang ditahan sakit parah dan meninggal dalam kondisi penahanan yang barbar.”
Dia menyoroti sikap Menteri Dalam Negeri Hamzah Zainudin yang seharusnya bertanggung jawab atas perlakuan buruk terhadap buruh migran di negaranya dengan mengundurkan diri jabatannya.
“Tapi kenyataan yang menyedihkan adalah Zainudin tidak peduli karena dia tampaknya tidak melihat para migran yang ditahan ini sebagai manusia,” kata Robertson.
Kegagalan Menteri Zainudin untuk memperlakukan orang dengan martabat dasar adalah noda pada reputasi internasional pemerintahan Perdana Menteri Ismail Sabri, dan harus terus disuarakan oleh masyarakat internasional sampai perbaikan kondisi penahanan dilakukan, ucap Robertson.
Pemerintah Indonesia dan aktivis juga mengecam keputusan Pengadilan Federal Malaysia yang pada minggu lalu membebaskan seorang majikan Malaysia dari tuduhan pembunuhan terhadap Adelina Lisao, seorang tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal sehari setelah ditemukan di rumah majikannya dalam keadaan penuh luka pada Februari 2018.
Pada April, Indonesia dan Malaysia menandatangani kesepakatan untuk memberikan perlindungan yang lebih besar kepada pekerja migran di Malaysia, di mana sekitar 3,1 juta berasal dari Indonesia.
Muzliza Mustafa di Kuala Lumpur, Malaysia berkontribusi dalam laporan ini.