Indonesia minta pengurangan biaya patungan proyek jet tempur bersama Korea
2024.05.07
Jakarta
Pemerintah Indonesia telah meminta pengurangan besaran pembiayaan bersama kepada Korea Selatan dalam program pengembangan jet tempur generasi baru, menurut keterangan Kementerian Pertahanan.
Indonesia pada awalnya sepakat untuk membayar 20% dari total biaya proyek 8,8 triliun won (US$6,5 miliar), yakni 1,6 triliun won (Rp18,9 triliun), namun kemudian meminta pengurangan porsi biaya, dengan alasan tidak semua kegiatan program tersebut dapat diikuti teknisi Indonesia.
"Penyesuaian pembayaran ini merupakan sebuah langkah yang logis dan rasional, mengingat terdapat beberapa kegiatan dalam program yang tidak dapat diikuti oleh teknisi Indonesia," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Edwin Adrian Sumantha kepada BenarNews pada Senin (6/5) malam.
Kantor berita Korea Selatan, Yonhap, pada Senin menyebut Indonesia telah mengajukan kepada Korea Selatan bahwa Jakarta akan membayar sekitar 600 miliar won (Rp7,1 triliun) untuk proyek jet tempur gabungan KF-21 – sekitar sepertiga dari jumlah yang disepakati semula..
Edwin tidak menyebut angka, tapi menurutnya, pembayaran yang dilakukan pemerintah Indonesia disesuaikan dengan manfaat yang diperoleh dari kerja sama ini.
"Adalah wajar dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas bahwa untuk program atau kegiatan yang tidak diikuti oleh teknisi Indonesia, pihak Indonesia tidak perlu menanggung biaya, yang pada gilirannya mengurangi jumlah pembayaran yang telah direncanakan," sambung dia.
Menurut Edwin, pengajuan penurunan porsi pembayaran tersebut menyesuaikan dengan kemampuan fiskal kementerian keuangan Indonesia, yang ditetapkan sebesar Rp1,32 triliun per tahun hingga tahun 2026.
Sementara Korea Selatan, tambah Edwin, hanya menerima tenggat waktu pembayaran pada 2026. Setelah tahun tersebut, kata dia, proyek KF-21 akan memasuki fase produksi dan biaya bersama dari Indonesia.
“Ini merupakan upaya pemerintah untuk memastikan bahwa kewajiban finansial pemerintah dalam proyek ini tetap dalam batas kemampuan anggaran negara,” jelas Edwin.
Pemerintah Indonesia, jelas Edwin, berkomitmen penuh terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kerja sama internasional, termasuk dalam proyek KF-21 tersebut.
"Langkah penyesuaian pembayaran ini untuk memastikan bahwa investasi yang dilakukan oleh Pemerintah memberikan hasil yang optimal dan penggunaan keuangan negara untuk proyek KF-21 dapat dipertanggungjawabkan kepada publik," kata Edwin.
Proyek yang diluncurkan pada 2015 untuk memodernisasi pesawat tempur Korea Selatan, menggantikan armada jet F-4 dan F-5, kata kantor berita Yonhap. Sementara Indonesia terlibat dalam proyek tersebut untuk menyerap teknologinya, kata Edwin.
BenarNews kembali menghubungi kementerian pertahanan Indonesia untuk mendapatkan detail jadwal pelaksanaan program tersebut namun tidak mendapatkan jawaban.
Jatah pesawat Indonesia berkurang
Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies Erik Purnama Putra mengatakan bahwa pengurangan pembiayaan akan menyebabkan berkurangnya pesawat KF-21 yang akan dimiliki pemerintah.
Dia mencontohkan jika anggaran proyek pesawat sebanyak Rp1 triliun, maka Korea Selatan menanggung Rp800 miliar, dan Indonesia Rp200 miliar. Dari jumlah itu, Korea Selatan mendapat delapan pesawat, sementara Indonesia mendapat dua unit.
“Kesepakatan awalnya begitu. Indonesia pasti akan lebih sedikit mendapat pesawat jika biaya dikurangi,” ujar Erik kepada BenarNews.
Dia menilai pengurangan biaya ini terjadi karena pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sekarang tidak memprioritaskan proyek KF-21.
Erik mengatakan bahwa target pembiayaan ini seharusnya rampung tahun 2026, lalu uji coba oleh angkatan udara Korea Selatan dan Indonesia, setelah itu baru produksi.
“Tapi produksi itu juga bergantung apakah Indonesia bisa melunasi shared cost pada tahun 2026,” terang dia.
Pengamat pertahanan Universitas Al Azhar Indonesia Raden Mokhamad Luthfi mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia mengurangi shared cost KF-21, antara lain menurunnya komitmen pemerintah yang menurun dalam proyek kerja sama proyek ini.
Menurut dia, proyek ambisius warisan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini tampaknya tidak menjadi prioritas bagi Pemerintahan Jokowi.
“Pemerintahan SBY lebih banyak memberikan perhatian kepada upaya Indonesia mengejar ketertinggalan teknologi militer melalui upaya transfer teknologi dari negara-negara yang dianggap memiliki teknologi yang dibutuhkan,” ujar Luthfi kepada BenarNews.
Faktor lainnya, kata Luthfi, adalah kemesraan hubungan kerja sama pertahanan Indonesia dan Korea Selatan sudah tidak sehangat dulu. Indonesia tampaknya tidak puas dengan transfer teknologi mengenai KF-21 terutama di teknologi-teknologi inti yang justru Indonesia perlukan.
“Dari dulu terdapat isu bahwa Amerika Serikat memberikan batasan kepada Korea Selatan untuk tidak mengalihkan teknologi inti dalam proyek KF-21 kepada negara lain, termasuk ke Indonesia,” ujar dia.
Situasi ini, jelas Luthfi, sangat mungkin membuat partisipasi Indonesia menjadi tidak lagi mendesak.
Kerja sama dengan Korea tetap penting
Pengamat militer dari Marapi Consulting, Beni Sukadis, mengatakan langkah kementerian pertahanan tak lepas dari keterbatasan anggaran yang dihadapi pemerintah, yang membutuhkan strategi pengeluaran lebih efisien untuk memprioritaskan kebutuhan pertahanan nasional lainnya.
“Meski pengurangan ini dapat mengindikasikan keterbatasan keuangan, namun kerja sama dengan Korea Aerospace Industry tetap menjadi prioritas untuk mengembangkan jet tempur KF-21 yang merupakan proyek strategis bagi Indonesia,” jelasnya.
Dengan mempertahankan kolaborasi ini, kata dia, Indonesia berharap tetap memperoleh akses terhadap dan pengetahuan terbaru dalam industri kedirgantaraan, sambil mengurangi beban keuangan yang terlalu berat.
“Kerja sama yang konsisten dan bertahap dengan industri pertahanan Korsel dapat mewujudkan industri pertahanan nasional yang mandiri dari ketergantungan pada negara-negara besar seperti AS, dan Eropa Barat yang memiliki persyaratan yang lebih kaku,” ujar Beni.
April lalu, kementerian pertahanan mengumumkan kesepakatan senilai US$1,2 miliar untuk membeli dua kapal fregat angkatan laut buatan Italia, guna memodernisasi angkatan bersenjatanya sebagai tanggapan terhadap meningkatnya tantangan maritim regional, termasuk di sekitar kepulauan Natuna.
Berdasarkan kontrak yang telah disepakati ini, kapal pertama akan dikirimkan pada Oktober 2024, sementara kapal kedua dijadwalkan tiba pada April 2025.