Indonesia Mengamankan 45 Korban Budak Kapal Di Ambon
2015.08.05
Indonesia telah mengevakuasi 45 warga negara Myanmar yang diduga telah menjadi korban perdagangan manusia di Ambon, menurut Kepala Unit Perdagangan Manusia Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) Arie Dharmanto.
“Mereka dievakuasi pagi ini. Pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan kedutaan Myanmar. Kasus ini tidak baru. Hal itu terjadi sejak April lalu di Ambon. Kami akan mengirim mereka pulang. Mereka adalah korban dari perdagangan manusia,” kata Arie kepada BeritaBenar tanggal 5 Agustus.
Arie mengatakan kasus ini kemungkinan besar terhubung dengan kasus perbudakan dan perdagangan manusia yang sebelumnya terjadi di Pulau Benjina, yang juga terletak di Maluku.
Dalam hal ini, perusahaan Thailand PT Pusaka Benjina Sumber Daya (PBR) diduga bertanggung jawab untuk atas perbudakan pekerjanya.
“Sama-sama mereka dijadikan anak buah kapal (ABK), tidak digaji, dan identitas mereka dipalsukan,” kata Arie kepada wartawan di Jakarta.
Kasus perbudakan anak kapal di Ambon hanyalah satu yang telah terungkap diantara beberapa kasus perdagangan manusia yang masih belum terungkap.
“Menjijikkan”
Pemerintah Indonesia telah mengetahui adanya 33 kapal pukat Thailand yang pernah dilacak di Daru, daerah Pantai Selatan Papua Nugini, menurut pejabat.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Indonesia akan mengirim permintaan ke Papua Nugini untuk mengirim tersangka kasus pukat Thailand ke Indonesia.
“Jelas ini terkait dengan kasus perdagangan manusia di Benjina, tetapi kita akan terus menyelidiki,” katanya.
Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill menjanjikan dukungan negaranya dalam menanggulangi perdagangan manusia saat mengetahui berita tentang penyitaan salah satu kapal yang diduga membawa budak dari Kamboja dan Myanmar.
“Perdagangan manusia memaksa manusia, ini adalah salah satu praktek yang paling menjijikkan di dunia saat ini,” katanya seperti dikutip oleh Agence France-Presse (AFP).
Minggu lalu, seorang pejabat Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Jakarta Paul Dillon mengatakan bahwa dari 240 kapal telah yang sedang mendarat di Ambon, ia telah mewawancarai lebih dari 350 korban perdagangan manusia yang mayoritas berasal dari Myanmar.
“Jika kita mempunyai akses untuk mewawancarai jumlah korban yang tersisa, kita bisa melihat jumlahnya sampai 1.000 [orang],” katanya seperti dikutip oleh The Guardian.
Arie mengatakan bahwa besarnya jumlah korban perdagangan manusia di wilayah Indonesia Timur baru-baru ini mengharuskan Indonesia untuk bekerjasama dengan berbagai pihak.
“Kami juga bekerjasama dengan IOM. Cerita perdagangan manusia telah melibatkan banyak negara termasuk Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar dan Thailand,” kata Arie seraya menjelaskan bahwa sebagian korban perdagangan manusia di Ambon dan Benjina telah dipulangkan.
Pelanggaran HAM
Koordinator Komnas HAM untuk Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga mengatakan bahwa Komnas HAM telah mengadakan pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus perbudakan awak kapal di Indonesia bagian timur, khususnya di Benjina.
Sandrayati menambahkan bahwa tersangka pelaku perbudakan ABK telah melanggar HAM.
“Mereka telah melanggar 11 HAM termasuk perampasan hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga serta melanjutkan keturunan, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk beragama dan beribadah, hak untuk merasa aman, hak atas kesejahteraan,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 3 Agustus lalu.
Laporan tentang perbudakan ABK di Benjina terungkap setelah investigasi Associated Press (AP) dalam artikel berjudul Are Slaves Catching the Fish You Buy?
PBR dikenal telah memproduksi banyak makanan kaleng untuk hewan yang terkenal seperti Fancy Feast, Meow Mix dan Iams.
Dalam laporan tersebut menyebutkan PBR telah melakukan kejahatan terhadap ABK.
Sebelumya Kepolisian Indonesia tidak mengakui adanya laporan tentang perbudakan yang terjadi di perairan Indonesia yang terpencil, terletak di Kepulauan Aru, Maluku.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi kemudian membawa kasus ini kepada DPR tanggal 1 April lalu.
“Indonesia tak bisa membantah karena produk kita bisa diboikot,” kata Susi saat mengadukan persoalan Benjina kepada Komisi IV DPR, dalam rapat kerja tanggal 1 April 2015 lalu di Jakarta.
Jumlah budak ABK di Benjina menurut Susi mencapai 1.185 orang.
“Sebagian besar sudah dipulangkan ke negara asal. Masih ada sekitar 680 yang tersisa [di Benjina] dan IOM membantu persediaan makanan serta kebutuhan hidup mereka selama menunggu repatriasi,” kata Susi kepada BertaBenar tanggal 3 Agustus.
Sulit dan berbahaya
Menurut Kepala IOM Indonesia Mark Getchell, persoalan utama kasus perdagangan manusia merebak antara lain karena masuknya kapal-kapal ikan luar negeri ke Indonesia. Mereka membutuhkan awak kapal dengan upah rendah untuk melakukan pekerjaan yang sulit dan berbahaya.
“Banyak kapal-kapal ini susah untuk mendapatkan ABK di negara mereka sehingga memperdagangkan orang dan melakukan kerja paksa untuk menangkap ikan,” katanya di Jakarta tanggal 3 Agustus.
Menurut Mark ada beberapa tekhnik yang dilakukan untuk menjebak pekerja dan mengubahnya menjadi budak.
“Pemalsuan identitas ABK dan proses perekrutan yang mengandung unsur penipuan. Buku pelaut, dokumen identitas ABK, ditahan perusahaan sehingga membuat ABK tidak berdaya dan tidak punya kebebasan,” katanya.
Yenny Herawati dan Imran Vittachi ikut memberikan konstribusi dalam artikel ini.