Dentum Kemenangan di Pinggir Sungai Kapuas
2017.06.28
Pontianak
Malam baru saja lewat, subuh mulai menapak. Kota Pontianak sepintas terlihat lengang, jalanan protokol mulai sepi. Gema takbiran telah lama usai, sementara rinai hujan turun pelan-pelan.
Tapi di sepanjang pinggiran Sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), kehidupan masih menggeliat, bernuansa sukaria, jelang subuh Minggu, 26 Juni 2017, saat Idul Fitri 1438 Hijriah telah menjejak.
Di pinggiran jalan, ribuan sepeda motor dan mobil terparkir. Embun membahasi. Para pemilik kendaraan berjalan kaki memasuki gang-gang kecil ke tepian Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, 1.143 kilometer dengan lebar 400 hingga 700 meter.
Panggung khusus untuk menyusun meriam berdiri di sisi geretak, sebutan Melayu untuk jembatan kayu atau semen yang menjejeri pinggir sungai. Orang-orang, dewasa bahkan anak-anak, berkelompok, menikmati berbagai hidangan, atau berlalu lalang di geretak, yang sebagian bergoyang dan berderak saat dilewati.
Bum! Bum-bum! Bum! Bum!
Lima dentuman memecah keheningan subuh. Orang-orang menyambut dengan seruan kegembiraan, sesekali terdengar teriakan takbir, “Alahu akbar!”
Sekitar 15 meter dari panggung, kibasan angin hangat dan getaran terasa. Dentuman yang merambat melalui udara terpantul ke tembok gedung dan bergemuruh di angkasa, bisa terdengar dalam radius hingga 10 kilometer.
Sementara perahu-perahu hias, dengan meja-meja makan di geladaknya, lalu-lalang di tengah sungai. Lampu aneka warna membias di kegelapan air. Tak ketinggalan perahu-perahu kecil bermesin tempel, mengangkut warga menikmati kegembiraan malam.
Tak sekadar permainan
Sebanyak 259 meriam dari 44 komunitas, terpasang di kedua sisi sungai. Dentuman bergemuruh bersahutan, sesekali pijar-pijar terang kembang api di angkasa, memecah kegelapan beberapa jenak.
“Tanpa dentuman meriam, lebaran terasa kurang afdol,” ucap Sri Supriyanti kepada BeritaBenar, beberapa jam sebelum seremoni penyalaan meriam karbit digelar para pejabat setempat.
Kepala Seksi Sejarah dan Pelestarian Budaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak itu menuturkan, tradisi meriam karbit sudah sangat melekat dalam budaya Melayu setempat.
Raja Kesultanan Kadriyah bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie membuka kawasan itu, pada 1771. Dulu, meriam dibunyikan sebagai pengingat waktu salat, membangun warga untuk sahur, dan penanda berakhirnya Ramadan.
“Menurut sejarah, meriam dibunyikan saat Sultan mendirikan Kota Pontianak, untuk menakut-nakuti perompak, binatang buas, dan mahluk halus seperti kuntilanak, yang menganggu para pekerja. Kala itu daerah ini masih rimba belantara,” jelas Sri.
Tak sekadar permainan, tradisi ini mewariskan nilai seni, budaya, dan historis, sehingga tidak punah di tengah arus globalisasi.
Batang meriam diberi aksesoris berbagai motif, yang mencolok berupa corak insang, bentuk kotak-kotak aneka warna, yang juga menjadi khas kain-kain Pontianak. Bendera Merah Putih dan umbul-umbul, dipadu hiasan daun kelapa, terpasang di panggung.
Sri menuturkan, kebiasaan masa lalu diwariskan dengan membuat meriam dari kayu, dilestarikan bertahun-tahun dan telah menjadi pesta rakyat, pesta kota.
Setiap Ramadan berakhir, ratusan pucuk meriam mampu menyedot animo pengunjung dalam dan luar daerah. Warga pinggiran sungai memetik rezeki dari warung-warung dadakan yang mereka buat di teras rumah.
Meriam karbit harus memenuhi syarat diameter 40 hingga 100 meter sepanjang empat sampai tujuh meter. Batang kayu dibeli mulai Rp2 juta lebih, dibelah dan dikeruk bagian tengah secara memanjang. Pipa besi diletakkan di tengahnya, sepanjang hampir sama dengan panjang meriam.
Kayu yang sudah dikeruk, ditutup, diikat pakai rotan dan besi. Pada bagian pangkalnya, dilubangi dengan diameter 10 cm untuk menyalakannya. Pada bagian bawah dipasang sumbat dari kayu untuk mengeringkan airnya.
“Merian karbit sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,” ucap Sri, sambil menunjukkan sertifikat tertanggal 27 Oktober 2016 yang ditandatangani Menteri Mahadjir Effendy.
Penerus Raja Kesultanan Kadriyah Pontianak, Syarif Melvin Alkadrie (depan, pakaian hijau) disertai pengiringnya menyusuri geretak semen ke tempat menyalakan meriam karbit. (Severianus Endi/ BeritaBenar)
Memacu adrenalin
Gubernur Kalbar, Cornelis, menyerahkan sertifikat ke Walikota Pontianak, Sutarmidji. Cornelis, seorang Dayak beragama Katolik, mengenakan stelan putih hitam dan kopiah hitam. Telah 10 tahun dia memimpin Kalbar, dan 10 kali pula melepas pawai malam Takbiran.
“Berbahagialah Anda, orang-orang Melayu, sebab meriam karbit sebagai bagian budaya Melayu telah diakui negara. Warisan budaya dan etnik-etnik di Indonesia tak boleh ada yang hilang,” kata Cornelis.
Orang berbagai latar belakang tumpah di pinggiran sungai. Berhimpitan, sambil was-was menatap ke tengah sungai, tiba-tiba terkaget oleh dentuman yang menggetarkan dan memacu adrenalin.
A Thok, pria blasteran Dayak-Thionghoa, satu di antara pengunjung. Dia merasa meriam karbit telah melekat dengan ciri khas kotanya. Tak ada lagi eksklusif bagi etnis tertentu, tradisi ini telah jadi milik semua orang.
“Ada sensasi tersendiri ketika mencoba menyalakan meriam karbit. Antara takut, berani, takut, dan ketika dentumannya memecah, rasanya wah susah diceritakan,” ucap A Thok, yang mengabadikan momen itu dengan kamera digitalnya.
Setiap meriam memiliki karakter berbeda sesuai ukurannya, menentukan banyaknya air dan karbit yang digunakan maupun dentuman dihasilkan. Butir-butir karbit dimasukkan melalui lubang di pangkal, yang juga sebagai tempat menyulut.
Anak-anak menutup moncong meriam dengan kertas koran yang basah, agar udara tak masuk. Butuh waktu 10 menit hingga siap disulut dengan tongkat bersumbu semeter.
Beberapa pria berpakaian telok belanga, khas Melayu berupa baju koko, celana panjang dengan kain di pinggang serta peci siap memandu.
Cara menyalakan pun unik. Orang-orang berdiri di pangkal meriam, memegang tongkat bersumbu telah dinyalakan. Ada komando memukul sumbu ke lubang pangkal meriam, bergiliran sehingga memunculkan dentuman berirama, penuh kemenangan.