Indonesia Tolak Nol Deforestasi, Aktivis Pertanyakan Komitmen Iklim Pemerintah
2021.11.04
Jakarta
Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh berhenti atas nama pengurangan emisi ataupun deforestasi menuai kritik tajam dan menimbulkan keraguan akan komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.
Satu hari setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani Deklarasi Glasgow dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 di Skotlandia yang memuat komitmen lebih dari seratus negara dunia untuk menghentikan deforestasi, Siti Nurbaya mengatakan bahwa nol deforestasi tidak mungkin dilakukan Indonesia.
“Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tulis Siti Nurbaya pada akun Twitternya Rabu setelah berbicara kepada mahasiswa Indonesia di Universitas Glasgow.
Para aktivis lingkungan hidup mengatakan pernyataan tersebut bertolak belakang dengan deklarasi Indonesia untuk mengakhiri deforestasi sampai target tahun 2030.
“Sangat disayangkan Indonesia memiliki Menteri Lingkungan Hidup yang pro terhadap pembangunan skala besar yang jelas-jelas berpotensi merusak lingkungan hidup,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace, dalam pernyataannya, Kamis.
“Ini statement yang sangat mengecewakan,” katanya, melanjutkan.
Cuitan serial Siti Nurbaya itu juga banyak dikecam oleh netizen Indonesia.
Pernyataan Siti tampaknya merespons maklumat Menteri Lingkungan Hidup Inggris Zac Goldsmith hari Selasa yang mengatakan bahwa 100 negara telah sepakat untuk “mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.”
“Yang telah disepakati di Glasgow jelas merupakan titik balik untuk hutan dunia. Tapi tanggung jawab kita sekarang adalah memastikan bahwa komitmen ini ditunaikan sepenuhnya,” ujarnya dalam pernyataan yang disampaikan lewat Twitter.
Pada 2 November, Indonesia bersama negara-negara dunia lainnya seperti Brasil, Rusia, dan Kongo, mendeklarasikan komitmen untuk bekerja secara kolektif dalam menghentikan dan mengembalikan hutan yang hilang dan degrasi lahan sampai 2030.
Kesepakatan itu turut didukung pendanaan publik dan swasta senilai total U.S.$19 miliar atau setara Rp271 triliun dari negara-negara maju, investor, maupun lembaga amal global, selama periode 2021 sampai 2025.
Dalam pernyataan terbarunya yang dimuat di Facebook, Siti Nurbaya mengatakan Indonesia berkomitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon pada tahun 2030.
“Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan,” ujarnya.
Namun bukan berarti Indonesia akan sama sekali menghapuskan deforestasi, karena menurutnya ada lebih dari 34.000 desa di kawasan hutan yang memerlukan pertanian dan jalan.
“Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” ujarnya.
Tidak berarti mangkir
Pernyataan Siti didukung Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, yang mengatakan pernyataan Menteri Lingkungan Inggris “menyesatkan”.
“Pertemuan yang dilakukan 2 November di Glasgow adalah Leaders Meeting on Forest and Land Use yang menghasilkan deklarasi. Dalam deklarasi yang dihasilkan itu sama sekali tidak ada terminologi ‘end deforestation by 2030’,” kata Mahendra dalam pernyataan tertulisnya, Kamis.
Kendati demikian, Mahendra menegaskan pernyataannya tidak mengartikan Indonesia mangkir dari komitmen bersama.
“Meskipun Indonesia bersedia untuk terlibat dalam pengelolaan hutan di tingkat global untuk mengatasi perubahan iklim, penting untuk bergerak lebih dari sekadar narasi, retorika, target sewenang-wenang, dan pernyataan sensasional,” kata Mahendra.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat luas hutan Indonesia tahun 2020 mencapai 95,6 juta hektare atau 50,9 persen dari total daratan.
Pemerintah mengklaim laju deforestasi turun hingga 75 persen dari sebesar 462,46 ribu hektare pada periode 2018-2019 menjadi 115.460 hektare pada 2019-2020. Sementara, angka deforestasi Indonesia pada 2015-2016 mencapai 629.200 hektare.
Kendati demikian, sejumlah praktisi lingkungan hidup menyatakan data penurunan laju deforestasi itu memiliki interpretasi yang tidak tepat.
Greenpeace Indonesia menyebut laju deforestasi Indonesia secara akumulatif justru meningkat dari 2,45 juta hektare sepanjang 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektare selama periode 2011-2019.
Paradigma pembangunan
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono meminta pemerintah dan seluruh pihak berkepentingan untuk meluruskan paradigma pembangunan yang bukan hanya soal peningkatan kualitas hidup manusia tetapi alamnya juga.
“Pembangunan harusnya bukan ditopang infrastruktur skala besar, bukan oleh food estate, sawah dan pertanian skala besar, bukan oleh pertambangan, perkebunan sawit,” kata Yuyun melalui sambungan telepon.
Pemerintah, menurutnya, perlu memikirkan keberlangsungan lingkungan hidup bagi generasi muda yang akan menjadi pemimpin pada tahun emas 2045.
Survei Indikator Politik Indonesia pada awal Oktober, menemukan sebanyak 82 persen dari 4.824 generasi milenial dan Z, usia 17-35 tahun, yang terpilih sebagai responden mengaku khawatir atas isu perubahan iklim, dengan 52 persen di antaranya sangat khawatir terhadap kerusakan lingkungan.
“Harusnya pemerintah melihatnya bukan soal mendorong ekonomi, tapi juga mempertimbangkan aspirasi anak muda yang menjadi pewaris masa depan,” katanya.
Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia mengatakan pernyataan yang dibuat pemerintah itu menunjukkan niatan untuk melanjutkan program biodiesel atau bahan bakar campuran bensin dengan sawit hingga baurannya menjadi 100 persen untuk bahan nabati.
“Yang kami khawatirkan ketika statement itu dikeluarkan, seakan-akan ada upaya mengalihkan upaya pelepasan karbon dari deforestasi dialihkan ke hal-hal lain seperti misalnya yang sekarang ramai penggunaan biodiesel,” kata Mufti, saat dihubungi.
Data dari Auriga, LSM yang bergerak untuk melindungi sumber daya alam, menyebutkan luas areal perkebunan sawit Indonesia terus meningkat dari 11,2 juta hektare pada 2015 menjadi 14,9 juta hektare pada 2020.
Sementara, hasil evaluasi terakhir pemerintah menyebutkan terdapat sedikitnya 3,4 juta hektare lahan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung, lahan basah, hingga areal yang ditetapkan sebagai taman nasional UNESCO.
Di sisi lain, pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan moratorium izin perkebunan sawit yang berlaku sejak 2018 dan berakhir pertengahan September kemarin.
“Celakanya ada luasan kelapa sawit yang dibutuhkan. Lebih celaka lagi sekarang ada upaya memutihkan izin-izin kelapa sawit yg sudah terlanjur ada di dalam kawasan hutan,” kata Mufti.
“Kalau begitu kan artinya, kebun-kebun sawit bisa diklaim pemerintah Indonesia sebagai hutan; jadi apa yang mereka lakukan terhadap hutan primer bisa diklaim sebagai reboisasi,” tukasnya.
Negara tetangga tidak menandatangani
Sementara Indonesia dan juga Filipina merupakan dua dari sekitar 100 negara penandatangan pakta global COP 26, sejumlah negara lainnya di Asia Tenggara memilih tidak menandatangani kesepakatan untuk menghentikan deforestasi pada tenggat 2030 itu. Negara-negara tetangga Indonesia tersebut di antaranya adalah Malaysia, Thailand, Cambodia, Laos, dan Myanmar.
Sejumlah alasan yang diungkapkan antara lain keberadaan sebagai negara berkembang yang masih membutuhkan hutan untuk meningkatkan ekonominya, seperti disampaikan seorang pejabat dari Laos yang tidak mau disebutkan identitasnya untuk alasan keamanan.
“Laos tidak menandatangani kesepakatan karena masih negara berkembang dan masih membutuhkan hutan untuk mengembangkan ekonominya. Kami masih mengandalkan hutan dan pertanian untuk menghasilkan pangan dan mengurangi kemiskinan,” sebut pejabat Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Laos, kepada RFA Lao Service, yang terafiliasi dengan BenarNews, pada 4 November 2021.
Hal-hal inilah yang menyebabkan mustahil untuk tidak menghancurkan sumber daya alam sama sekali, paparnya.
“Laos masih perlu membuka lahan dan hutan untuk pembangunan infrastruktur termasuk jalan, kereta api, sekolah dan rumah sakit. Pemerintah kita ingin membangun negaranya untuk lulus dari status negara kurang berkembang pada tahun 2026 juga,” tambahnya dengan menegaskan bahwa pemerintah mereka menggunakan sumber daya alam “secara bijaksana”.
RFA Lao Service turut berkontribusi dalam laporan ini.