Pemerintah Katakan Tak Intervensi China Soal Uighur
2019.12.23
Jakarta
Indonesia tidak akan mencampuri urusan dalam negeri China, demikian Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Senin, terkait pernyataan tentang sikap Indonesia yang dinilai cenderung diam atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, China.
Pemerintah China diyakini telah menahan sekitar 1,8 juta etnis Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp pengasingan sejak April 2017 ketika Negara Tirai Bambu itu melakukan penindakan keras terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sebagai ekstremis Islam di Xinjiang.
"Saya pikir dalam standar internasional, kita tidak memasuki urusan dalam negeri masing-masing negara. Masing-masing punya kedaulatan untuk mengatur warga negaranya," ujar Moeldoko kepada wartawan di Jakarta, Senin, 23 Desember 2019.
Sebelumnya, Selasa pekan lalu, Moeldoko telah bertemu dengan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian di Jakarta, yang membantah tuduhan telah terjadi tindakan represif atas etnis Uighur.
Pertemuan itu terjadi setelah isu Uyghur itu kembali menghangat pasca sebuah artikel di Wall Street Journal menuliskan bahwa Beijing telah melakukan “kampanye terkoordinasi” untuk meyakinkan para tokoh pimpinan Muslim dan wartawan Indonesia bahwa kamp-kamp di Xinjiang itu memiliki tujuan baik untuk menyediakan latihan kerja.
"Persoalan di Xinjiang itu sama dengan kondisi dunia lain. Upaya kami memerangi radikalisme dan terorisme,” kata Xiao.
"Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat Muslim Uighur," katanya kepada wartawan.
‘Diplomasi lunak’
Pernyataan tak akan mencampuri urusan dalam negeri China menyoal Uighur sebelumnya juga disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Kamis lalu.
Hal itu dilontarkan Mahfud setelah juga menggelar pertemuan dengan Xian Qian di kantornya.
Lewat pertemuan, Mahfud mengaku juga telah menyampaikan protes sejumlah kelompok masyarakat di Indonesia mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis Uighur.
"Dia (Xian Qian) menjelaskan di China itu banyak sekali orang Islam, di berbagai penjuru, tapi ndak apa-apa. Kecuali Uighur, katanya. Kenapa Uighur? Itu mempunya agenda sendiri di luar kerangka negara, seperti separatislah kalau istilahnya," ujar Mahfud kepada wartawan.
Maka, lanjutnya, semua pihak di Indonesia semestinya dapat mempercayakan Kementerian Luar Negeri untuk membantu penyelesaian polemik Uighur.
"Diplomasi kita itu diplomasi lunak. Kita tidak mencampuri, tapi melihatnya secara objektif," terang Mahfud lagi.
"Kita menjadi penengah dan mencari jalan terbaik. Bukan konfrontatif begitu."
Dalam laporan Wall Street Journal pada 11 Desember menyebut pemerintah China telah memberikan donasi kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam besar Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah agar bersikap lunak terhadap persoalan Uighur.
NU dan Muhammadiyah telah menolak kebenaran laporan media yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut.
Unjuk rasa terkait Uighur sendiri telah digelar di Jakarta, salah satunya pada Jumat pekan lalu di depan Kedutaan Besar China di Jakarta Selatan serta beberapa kota di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Demonstrasi di depan Kedutaan Besar China itu dihadiri belasan orang dari beragam kelompok masyarakat, seperti Laskar Mujahidin Syuhada Indonesia dan Persaudaraan Alumni (PA) 212.
Dalam aksi, massa mendesak Beijing menghentikan penyiksaan atas etnis Uighur, memboikot produk China di Indonesia, serta mendesak pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan China.
Komentar analis
Berbeda dengan Indonesia yang tak mau mengintervensi China terkait Uighur, pemerintah negara-negara seperti AS, Australia, dan Turki telah menyuarakan kecaman terbuka kepada Beijing.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai pemerintah Indonesia semestinya dapat menunjukkan sikap tegas kepada China, meski secara aturan memang tidak bisa mengintervensi persoalan dalam negeri negara tersebut.
"Sekadar mengecam dan prihatin atas tindakan China, saya rasa masih tetap bisa dilakukan," kata Ujang kepada BeritaBenar.
Perihal tak adanya ketegasan itu, diduga Ujang, karena rasa sungkan Jakarta atas kerja sama yang terjalin dengan China selama ini.
Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi China di Indonesia pada semester I 2019 tercatat sebesar USD2,3 miliar, atau setara 16,2 persen total penanaman modal asing di Indonesia.
Jumlah ini merupakan ketiga terbesar di Indonesia, setelah Singapura yang senilai USD3,4 miliar dan Jepang sejumlah USD2,4 miliar.
Sebelumnya, lembaga riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporan terbaru berjudul "Explaining Indonesia's Silence on the Uyghur Issue" yang dirilis Juni lalu juga menyebut ketergantungan Indonesia terhadap modal China sebagai salah satu penyebab diamnya Jakarta atas masalah Uighur.
"Fakta bahwa China adalah mitra dagang dan juga investor besar menambah keengganan Indonesia untuk mengangkat isu Uighur," demikian tulis IPAC.
IPAC pun menganggap Indonesia masih memiliki beberapa isu prioritas lain China, seperti perkara Laut China Selatan dan proyek Sabuk dan Jalan Ekonomi (Belt and Road Initiative), ketimbang meributkan masalah Uighur.
Pernyataan senada juga dikatakan guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang mengatakan Jakarta semestinya berani bersuara lantang terhadap permasalahan Uighur, terlepas dari relasi kedua negara selama ini.
Hal ini, terangnya, guna menunjukkan bahwa Indonesia menjunjung tinggi HAM, melebihi solidaritas Muslim.
Apalagi, masalah Uighur ini juga telah menjadi pembahasan Dewan HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Jadi pemerintah Indonesia harus bersikap, karena ini menyangkut pelanggaran HAM," pungkasnya.
Seruan dukungan atas Muslim Uighur juga terdengar dalam KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI ) di Kuala Lumpur minggu lalu, setelah sebelumnya organisasi Islam tersebut dikecam karena kebisuannya atas perlakuan pemerintah China terhadap etnis Uighur.
"Kita perlu melakukan boikot sampai tingkat produk China. Mereka tahu kekuatan daya beli kita," kata Mohd. Asri bin Zainul Abidin, seorang ahli hukum Islam Malaysia, kepada Al Jazeera di sela-sela KTT OKI.