Indonesia Protes China Terkait Pelanggaran ZEE di Natuna
2019.12.30
Jakarta
Pemerintah Indonesia memprotes keras pelanggaran Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) oleh puluhan kapal ikan asing dan kapal coast guard China di perairan Natuna, dengan memanggil duta besar China di Jakarta, Xian Qian.
“Hasil rapat antar-kementerian di Kemlu (Kementerian Luar Negeri) mengonfirmasi terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU (illegal, unreported and unregulated) fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh coast guard RRT (Republik Rakyat Tiongkok/China) di perairan Natuna,” demikian pernyataan Kemlu, Senin, 30 Desember 2019.
“Kemlu telah memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan.”
Menurut laporan Badan Keamanan Laut (Bakamla), setidaknya 63 kapal ikan berbendera China dan dua kapal coast guard masuk ke wilayah perairan ZEE Indonesia pada 19 Desember – 30 Desember 2019.
“ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea). RRT sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya,” tambah pernyataan itu.
Kemlu menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China.
“Indonesia tak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis itu bertentangan dengan UNCLOS seperti diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016,” katanya.
Kemlu menambahkan China merupakan salah satu mitra strategis Indonesia dan kewajiban kedua pihak untuk terus meningkatkan hubungan saling menghormati, dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan.
“Dubes RRT mencatat berbagai hal yang disampaikan dan akan segera melaporkan ke Beijing. Kedua pihak sepakat untuk terus menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia,” kata Kemlu.
Kedutaan Besar China tidak menanggapi permintaan BeritaBenar untuk memberikan komentar.
Ketegangan antara China dan negara-negara tetangganya meningkat dalam beberapa tahun terakhir karena Beijing telah berupaya untuk menegaskan kontrolnya atas Laut Cina Selatan dalam menghadapi persaingan klaim teritorial dengan sejumlah negara di kawasan itu.
China mengklaim sebagian besar laut tersebut sebagai miliknya, sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah tersebut.
Aktivitas China meningkat di Natuna terjadi setelah Malaysia memutuskan membatasi wilayah landas kontinen di Laut China Selatan – tindakan yang diprotes Beijing.
Indonesia bukan merupakan pihak pengklaim dalam perselisihan di wilayah perairan itu, tetapi tahun lalu telah mengganti nama wilayah tersebut sebagai Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terpadu dalam rantai kepulauan tersebut.
Indonesia selalu mengklaim tidak ada perselisihan dengan China meskipun adanya klaim 9 garis putus China yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna.
Intensif
Kepala Bakamla, Achmad Taufiqoerrohman, mengatakan pihaknya akan mengintensifkan patroli keamanan di sekitar laut Natuna menyusul ada 65 kapal asing China yang beraktivitas tanpa izin sejak pertengahan bulan lalu.
“Kami akan menambah kekuatan keamanan dengan bekerja sama dengan berbagai instansi seperti Kementerian Pertahanan, TNI AL dan Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP),” katanya kepada BeritaBenar.
Dia tak menyebutkan personel keamanan dan jumlah kapal yang dikerahkan untuk berpatroli tapi pihaknya bekerja sama dengan TNI AL dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya KKP.
“Dari Bakamla ada lebih dari dua kapal patroli, belum lagi dari TNI AL dan PSDKP. Kami rutin patroli di sana, kami sudah mewaspadai ini sejak dua bulan lalu,” jelasnya.
Menurutnya, kapal-kapal China bergerak menuju perairan Natuna pada 10 Desember 2019 dan tiba pada 13 Desember. Namun setelah patroli keliling, pihaknya baru menemukan kapal-kapal tersebut tanggal 19 Desember.
“Kami usir, tapi tidak lama pada 24 Desember mereka (kapal China) balik lagi ke wilayah ZEE kita, mereka bersikukuh kalau itu wilayah tangkap ikan mereka,” katanya.
Pihaknya telah melapor kasus itu ke Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (polhukam), Kemlu dan bahkan presiden.
“Kedaulatan tidak bisa ditawar lagi, tidak bisa diganggu gugat namun tindakannya harus terukur artinya melihat situasi di lapangan apakah bahaya ombaknya besar, keselamatan kru, jumlahnya kalah sedikit, karena kita tidak bisa mencegah sendiri kalau jumlah kita kalah banyak dari mereka,” ujarnya.
Menurutnya, dunia internasional seharusnya bertindak karena China menyalahi ketentuan hukum.
“Karena mereka mengacak-acak hukum internasional, bahkan sampai saat ini kapal mereka masih ada di ZEE kita, namun sebagian sudah bergerak menjauh ke utara, akan kita dorong terus keluar,” katanya.
Tegas
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan protes keras Kemlu kepada China tidak ada artinya selama peraturan di perairan Natuna belum tegak.
“Seribu kali protes terhadap China juga kerap berulang kalau di sana kosong dan tidak ada aktivitas nelayan, jangan kendor ketegasan Indonesia, seharusnya tidak hanya di usir tapi ditangkap kapal-kapal tersebut,” katanya.
“Terkait ZEE Indonesia seharusnya tidak hanya klaim tapi bertindak seperti China yaitu mendorong kapal nelayan Indonesia untuk mengeksploitasi wilayah ZEE itu. Ini sudah dilakukan tapi mereka sering diganggu oleh kapal coast guard China.”
“Seharusnya pemerintah lebih tegas, terutama KKP bisa menerapkan peraturan seperti Ibu Susi (Pudjiastuti saat menjadi Menteri KKP) seperti penenggelaman kapal,” katanya.
Indonesia memulai tindakan keras terhadap penangkapan ikan ilegal pada tahun 2014 setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkuasa dan di bawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti, sebagai menteri KKP. Dalam masa periode kepemimpinan Susi, 550 kapal yang secara ilegal menangkap ikan di perairan Indonesia ditangkap dan dite nggelamkan.
Tetapi kebijakan menenggelamkan kapal asing diragukan di bawah menteri baru, Edhy Prabowo, yang mulai bekerja Oktober lalu.
Edhy mengatakan bulan lalu bahwa menenggelamkan kapal yang disita adalah "kebijakan yang baik, tetapi itu tidak cukup."
“Apa yang harus dilakukan setelah itu? Kami harus mengembangkan industri. Bagaimana nasib industri perikanan kita? Bagaimana dengan hasil nelayan kita? Ini adalah hal-hal yang harus kita tingkatkan,” katanya.
Edhy mengatakan kementeriannya mempertimbangkan untuk menyumbangkan kapal yang disita kepada nelayan setempat dengan persetujuan pengadilan, alih-alih menghancurkan kapal-kapal itu..